x

Surat Kabar SinPo Tahun 1941

Iklan

Irmawati Alfarisi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Mei 2022

Minggu, 29 Mei 2022 18:00 WIB

Pengaruh Kolonialisme dalam Cerpen Klenteng di Antjaran Karya Goerz Pada Surat Kabar SinPo 1941

Gambaran masyarakat Tinghoa pada tahun 1941 yang masih banyak mempercayai kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh leluhurnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kehidupan sosial masyarakat seringkali membentuk sebuah jalinan yang menjadi budaya dalam masyarakat. Kebudayaan sosial yang tidak sesuai dengan pedoman kemanusiaan akan dapat merugikan sebagian masyarakat, seperti mempercayai suatu benda dapat menentukan tentang baik atau buruknya seseorang untuk kita. Padahal itu semua belum tentu benar adanya. Kepercayaan masyarakat dibentuk hasil dari kebiasaan nenek moyang yang menurunkan kepercayaan tersebut. Hal seperti ini misalnya seperti kepercayaan yang ditemukan dalam cerpen Klenteng di Antjaran karya Goerz tahun 1941.

Menurut Edwar Said, kolonialisme disebut sebagai imperialisme, yaitu suatu dampak dari praktik dan dominasi yang sengaja diciptakan. Sedangkan menurut (Ratna, 2015:210), kolonialisme yang terkandung dalam teks dapat digunakan untuk menyadarkan  masyarakat bahwa teks tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan terhadap bangsa Eropa bahwa orientalisme mengandung gambar kebudayaan.

Dalam cerpen Klenteng di Antjaran menceritakan bagaimana perjuangan tokoh utama dalam memperjuangkan cintanya, walau lamarannya sudah berkali-kali ditolak oleh orang tua si wanita namun ia tidak pernah merasa putus asa. Sampai suatu ketika ia merasa kecewa dengan ucapan yang dilontarkan oleh orang tua si wanita. Tokoh utama yang diperankan oleh Tjong Hie seorang pemuda yang berasal dari Cirebon, dan Soen Nio gadis cantik yang dicintai oleh Tjong Hie, ia berasal dari Jatiwangi. Mereka bertemu disebuah Klenteng di Antjaran, pada saat itu Tjong Hie pun langsung jatuh hati pada Soen Nio.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rupanya mengapa lamarannya Tjong Hie selalu ditolak oleh orang tua Soen Nio karena sudah ada seorang pemuda kaya yang melamar Soen Nio, pemuda itu berasal dari Bogor. Setelah mengetahui itu, Tjong Hie pun merasa dirinya bukan apa-apa dibandingkan dengan Anak Bogor yang kaya itu. Mau tidak mau, rela tidak rela ia pun harus melupakan Soen Nio meski sebenarnya tidak bisa dilupakan begitu saja. Disini bisa kita lihat bahwa pengaruh kolonial yang terjadi antara kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi kebawah, tentu selalu dimenangkan oleh kelas ekonomi atas.

Pada suatu ketika Tjong Hie duduk disebuah batu besar yang menghadap ke Kali, saat itu ia sedang melamun dan dikagetkan dengan suara Soen Nio, mereka tak sengaja bertemu dipinggir kali, kala itu Tjong Hie menyadari bahwa Soen Nio sepertinya baru saja mengambil Tjiam dari Klenteng di Antjaran. Tjong Hie pun mencoba menasehati Soen Nio untuk jangan terlalu percaya dengan Tjiam, karena benda tersebut hanyalah kepercayaan kuno saja yang belum tentu benar adanya. Tjong Hie pun berpesan jika ingin mencari tahu kebenarannya lebih baik diselidiki sendiri seperti apa kebenarannya. Saat itu Soen Nio pun bertanya kepada Tjong Hie, apa ia mengetahui seperti apa tunangannya. Pelan-pelan Tjong Hie pun menceritakan apa yang ia ketahui dari kerabatnya tentang berita buruk tunangannya itu, dan ia pun langsung melontarkan nasehat untuk jangan terlalu percaya juga dengan apa yang ia sampaikan itu, karena bisa saja betul dan bisa juga tidak. Mendengar semua perkataan yang diucapkan Tjong Hie terlihat sekali bagaimana raut kesedihan di wajahnya Soen Nio, yang ternyata ia baru saja mendapatkan Tjiam yang mengeluarkan bunyi buruk.

Tak lama dari pertemuan yang tidak disengaja itu, Tjong Hie pun mendengar kabar bahwa Soen Nio tidak jadi dinikahkan oleh Anak Bogor, hatinya pun sangat senang sekali dan segera mengabarkan ibunya untuk minta melamarkan Soen Nio. Penyebab Soen Nio tidak jadi dinikahkan oleh Anak Bogor itu karena orang tua Soen Nio sangat mempercayai Tjiam yang dibawakan oleh anaknya itu mengeluarkan bunyi yang buruk, akhirnya orang tua Soen Nio pun segera membatalkan pertunangannya Soen Nio dengan Anank Bogor itu. Dari sini bisa kita lihat bagaiman masyarakat Tionghoa masih sangat meyakini kepercayaan-kepercayaan yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Jika dilihat di zaman sekarang kepercayaan tersebut hanyalah sebuah mitos, yang tidak selalu benar terbukti adanya. Namun semuanya balik lagi kepada pikiran atau sugesti masing-masing manusianya, seperti halnya mempercayai Tuhan, Kita meyakini janji Tuhan itu nyata, jika kita berbuat baik kepada seseorang, maka akan dibalas dengan kebaikan juga. Tetapi berbeda halnya jika kita mempercayai namun masih adanya keraguan dihati, tentu semua itu tidak akan terbukti adanya.

Ikuti tulisan menarik Irmawati Alfarisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu