x

Sumber: Pixabay

Iklan

Dita Nurhayati

penulisindonesiana
Bergabung Sejak: 10 April 2022

Jumat, 15 Juli 2022 22:10 WIB

Sastra Indonesia Periode 1933 – 1942

Bagian ini menjelaskan periode perkembangan Kesusastraan Indonesia yang singkat. Namun, rentang waktu yang singkat tersebut melahirkan banyak pemikiran terutama dalam Kesusatraan Indonesia yang ditonggaki oleh majalah Pujangga Baru, majalah yang sangat berpengaruh pada periode ini. Majalah yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana ini senantiasa melahirkan banyak polemik tentang berbagai pemikiran terutama kebudayaan Indonesia dan pendidikan. Begitu besarnya pengaruh majalah ini sehingga setiap polemik senantiasa meluas menjadi skala nasional. Berbagai polemik itu sendiri akhirnya berhenti dengan kedatangan Jepang yang menghentikan majalah Pujangga Baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1. PUJANGGA BARU

Ada beberapa majalah yang sudah terbit sebelum Pujangga Baru, yaitu

  • majalah Sri Po estaka (1919-1942)
  • Panji Poestaka (1919-1942)
  • Jong Java (1920- 1926)
  • Timboel (1930-1933)                

Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930- 1933) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sutan Takdir Alisyahbana sebagai direktur. Sehabis perang Takdir pernah menerbitkan dan memimpin majalah Pembina

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahasa Indonesia (1947-1952 ).

Setelah menerbitkan beberapa majalah, Mei 1933 Sutan Takdir Alisyahabana menerbitkan Majalah Pujangga Baru. Tujuan pendiriannya adalah untuk menubuhkan kesuastraan baru yang sesuai semangat zamannya dan mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya boleh dikatakan cerai berai dengan menulis di berbagai majalah.

Berdirinya majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada zaman itu akan suatu media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan kebudayaan. Awalnya majalah tersebut di cetak oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang Belanda. Kemudian Sutan Takdir Alisyahbana menerbitkan sendiri. Janganlah dibayangkan majalah tersebut seperti majalah sastra Horison yang dewasa ini tercetak bagus dan tersebar luas. Majalah ini beroplah 500 eksemplar dengan penyebaran terbatas ke kalangan guru dan mereka yang dianggap memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan dan kesusastraan. Pernah juga dikirim kepada para sultan , tetapi tidak disambut hangat. Di antara yang terbatas itu ada juga yang sampai ke Malaysia hingga ikut berpengaruh terhadap perkembangan sastra Melayu. Adapun yang membayar hanya 150 orang. Karena itu tidak ada honor untuk penulis dan tim redaksi.

Meskipun pembaca Majalah itu tidak banyak, tapi pengaruhnya besar sekali. Banyak ahli yang menyumbangkan tulisan, di antaranya Prof. Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta. Ada sekitar 20 orang intelektual Indonesia yang menjadi inti gerakan itu.

Banyak terobosan yang dikeluarkan Pujangga Baru misalnya masalah penggunaan bahasa yang ditawarkan STA yang mengesampingkan bahasa Melayu

yang kemudian digantikan dengan perpaduan bahasa daerah masing-masing pengarang dan bahasa asing.

Hal itulah yang dikritik oleh kaum bangsawan Melayu dan para guru yang setia pada kepada pemerintah kolonial Belanda termasuk beberapa tokoh bahasa pun seperti H. Agus Salim, Sutan Moh. Zain dan S.M. Latif.                                                                            Mereka beranggapan bahasa dalam majalah itu merusak bahasa Melayu.

Pujangga Baru terbit sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran bangsa. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elitis.

Dalam edisi pertama Pujangga Baru, dinyatakan bahwa majalah yang dikelola Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana itu, untuk sementara terbit dua bulan sekali. Kemudian adanya tawaran untuk berlangganan “agar dapatlah kami mengira-ngira djoemlah lembar ‘Poedjangga Baroe’ jang akan ditjetak” menunjukkan bahwa majalah itu terbit tanpa persiapan dana yang memadai. Ada sekitar 150-an orang yang kemudian menjadi pelanggan majalah itu. Tentu saja jumlah itu terlalu sedikit dibandingkan majalah lain yang terbit pada zamannya. Sekadar menyebut dua contoh, majalah Panji Pustaka (1922– 1945) dan Pedoman Masyarakat (1935–1942), misalnya, merupakan majalah mingguan dengan tiras yang jauh lebih banyak dibandingkan Pujangga Baru. Penyebarannya, terutama Pedoman Masyarakat, juga lebih luas, tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung Melayu, Mesir, dan Belanda.

Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan muda. Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. Lahirnya majalah Pujangga Baru itu sendiri, di samping memang dimaksudkan untuk menampung aspirasi sastrawanan yang tersebar di pelosok Nusantara, juga sesungguhnya merupakan salah satu bentuk reaksi atas keberadaan Panji Pustaka yang dinilai tidak memberi ruang yang lebih luas bagi sastrawan dalam mengembangkan kreativitasnya.

Sebagai media yang berada di bawah pengawasan lembaga Balai Pustaka yang menerapkan kebijaksanaannya secara ketat, Panji Pustaka, dalam beberapa hal, dianggap memasung kreativitas para sastrawan. Sementara itu, Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya) dengan titik berat agama Islam. Dengan demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan mengangkat kebudayaan sebagai isu sentral. Dalam hal inilah, Pujangga Baru secara cerdas berhasil menggiring dari persoalan kesusastraan ke persoalan kebudayaan yang kemudian menjadi problem bangsa yang waktu itu disadari perlu segera dirumuskan.

Demikianlah, bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-kiran, Pujangga Baru tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan Sutan Takdir Alisjahbana tidak dapat diabaikan. Begitu pentingnya peran yang telah di-mainkan tokoh ini, sehingga membicarakan Pujangga Baru, khususnya tentang polemik kebudayaannya, hampir tidak mungkin tanpa melibatkan nama itu. Dan memang dia pula yang menjadi tokoh kuncinya.

 

Sejumlah artikel yang terdapat di dalamnya juga mencerminkan misi tersebut. Artikel Alisjahbana, “Menuju Seni Baru” atau Armijn Pane, “Kesusasteraan Baru” memperlihatkan, betapa bersemangatnya para pengelola majalah itu mengangkat sastra Indonesia agar terlepas dari bentuk sastra tradisional. Kata pujangga sendiri dijelaskan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut diri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Dalam setahun penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal kesusastraan.

Dalam tahun kedua penerbitannya, soal kebudayaan juga belum mendapat perha-tian yang memadai meskipun dalam pengantarnya disebutkan, “tambahan ‘keboedajaan oemoem’ itu boekanlah tempelan jang tiada berarti….” Hanya Alisjahbana yang begitu bersemangat mengangkat soal itu, seperti tampak dalam artikelnya, “Menghadapi Kebu-dayaan Baru” (PB, 12/I/Juni 1933). Sementara itu, tulisan Muhammad Yamin, “Perguruan Tinggi Indonesia” (PB, 1/II/Juli 1934) memperlihatkan pandangan Yamin yang jauh ke depan bahwa syarat mendirikan kebudayaan baru untuk kesempurnaan kemajuan bangsa Indonesia, pendirian perguruan tinggi merupakan suatu kemestian. Inilah artikel pertama yang menyinggung pentingnya perguruan tinggi bagi bangsa Indonesia agar “segera akan terbentanglah fadjar kebangoenan Indonesia dikaki langit Asia Baroe jang mempengaroehi sedjarah seloeroeh doenia.”

Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesusastraan ke kebuda-yaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam subjudulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Redaksi edisi itu: “…dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat persatoean jang akan datang.”

 

Beberapa pengarang yang aktif menulis melalui Pujangga Baru yang karya- karya muncul pada tahun 30-an dan awal tahun 40-an di antaranya

  • Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus dirundung Malang (1929)
  • Dian yang Tak Kunjung Padam, (1932), Tebaran Mega (1935)
  • Layar Terkembang (1937)
  • Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
  • Puisi Lama (1941)
  • Puisi Baru (1946)
  • Pelangi (1946)
  • Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969)
  • Grotta Azzura (1970 dan 1971)
  • Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977)
  • Lagu Pemacu Ombak (1978)
  • Amir Hamzah Sebagai Penyair dan Uraian Sajak Nyanyi Sunyi (1978)
  • Kalah dan Menang (1978)

Karyanya yang lain :

  • Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
  • Pembimbing ke Filsafat (1946)
  • Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
  • The Indonesian Langguage and literature (1962)
  • Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
  • Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture (1974)
  • The Failure of Modern Linguistik.

 Adapun terjemahannya ialah : Nelayan di Laut Utara (Karya Piere Lotti) dan Nikudan Korban Manusia (Karya Tadayosih Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrotomo, 1944).

Salah satu karya STA yang penting adalah novel Layar Terkembang. Novel yang dianggap mencerminkan cita-cita STA ini diterbitkan Balai Pustaka untuk

pertama kalinya tahun 1936, dan tahun 1984 mengalami cetak ulang untuk kelima belas kalinya. Pada tahun 1963 novel ini terbit di Kuala Lumpur dengan edisi bahasa Melayu.

Layar Terkembang menceritakan seorang Tokoh yang bernama Tuti. Seorang gadis yang berpendirian teguh, aktivis pergerakan dan persamaan wanita serta aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Ia ketua organisasi wanita Putri Sedar cabang Jakarta. Beberapa pengamat sastra melihat sikap dan pemikiran Tuti sebagai sikap Takdir Alisyahbana khususnya usaha mengangkat harkat wanita Indonesia,

Prinsip Tuti mengenai kemandirian, kedudukan perempuan, dan arti perkawinan menyebabkan ia menolak Hambali (anak Bupati Serang) dan Supomo (Guru HIS tamatan Belanda) yang mendekati. Tuti sering melontarkan gagasan-gagasan progresif dan merasa terpanggil untuk memajukan bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.

Namun, diujung novel diceritakan Tuti akan menikah dengan Yusuf yang pada awalnya bertunangan dengan Maria, adiknya yang memiliki sifat berbeda dengan Tuti. Maria mengidap penyakit Malaria dan TBC sehingga ia meninggal dunia. Sebelum meninggalkan ia berpesan agar Tuti menikah dengan Yusuf.

Pengarang lain yang muncul pada periode ini ialah Amir Hamzah yang oleh

H.B. Jassin dijuluki “Raja Penyair Pejangga Baru”.

- Karya-karya pengarang yang merupakan salah satu pendiri majalah Pujangga Baru ialah Nyanyian Sunyi (1937)

- Buah Rindu (1941) dan Sastra Melayu dan Raja-rajanya (1942), dan Esai dan Prosa (1982). Sedangkan terjemahannya ialah Bhagawad Gita (1933) dan Setanggi Timur (1939). Kisah tragedi kehidupan penyair yang menurut Ajip Rosidi seakan-akan menjadi tokoh roman adat yang dihasilkan oleh para pengarang dari Sumatera pada tahun 1920 – an dan 1930 20 ini diceritakan dalam novel Amir Hamzah Pangeran dari Seberang yang ditulis N.H. Dini.

Pengarang lain yang juga pendiri majalah Pujangga Baru ialah Sanusi Pane yang banyak menulis drama seperti Airlangga (1928), Eenzame Garoedavlucht (drama berbahasa Belanda, 1929) Kertajaya (1932), Sandyakala ning Majapahit (1933), Manusia Jiwa (1940). Sedangkan kumpulan puisinya adalah Pancaran Cinta (1927), Puspa Mega (1927), dan Madah Kelana (1931). Karya lainnya ialah Sejarah Indonesia (1942), Indonesia Sepanjang Masa (1952), dan Gamelan Jiwa (1960). Umumnya drama-drama yang ditulis berlatar pada sejarah bangsa Indonesia dan merupakan bentuk closet drama, drama yang sekadar untuk dibaca bukan di pentaskan karena lebih banyak percakapan dibanding petunjuk gerak atau laku.

Pengarang lainnya ialah J.E Tatenteng dengan karangannya Rindu Dendam (1934), M, R. Dayoh dengan karangannya Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931), Pahlawan Minahasa (1935), Syair untuk ASIB (1935), Putera Budinan (1941), Ratna Rakyat (1951), Koobangan (1953), dan Mamanua (1969). Rifa’i Ali dengan karangannya Kata Hati (1941) dan Tuhan Ada (1968). OR Mandank dengan karyanya Narumalina (1932), Pantun Orang Muda (1939), Sebab Aku Tediam...(1939), Sutomo Djauhar Arifin yang menulis Andang Teruna (1941), dan A. Hasmy yang menulis novel : Bermandi Cahaya Bulan (1938), Suara Azan dan Gereja (1940), Dibawah Naungan Pohon Kemuning (1940), Tanah Merah (1980), Dewi Fajar (1943) sedangkan puisinya ialah Kisah Seorang Pengembaran (1936), Dewan Sajak (1940), Rindu Bahagia (1960) dan sebuah otobiografi Semangat Merdeka (1985).

Pengarang perempuan yang muncul pada periode ini adalah Hamidah yang merupakan nama lain Fatimah Hasan Delais yang menulis novel Kehilangan Mestika (1935) dan Selasih alias Sariamin atau Seluguri yang menulis novel Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), dan Rangkaian Sastra (1952) dan Panca Juara (1981).

Periode ini juga memunculkan pengarang yang juga ulama besar yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang biasa dikenal Hamka. Sebelum menjadi ulama

 

ia adalah murid H.O.S. Tjokroaminoto dan pernah mendapat Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo (Mesir).

Karya Hamka yang dianggap penting ialah            Di Bawah Lindungan Kabah (1938). Novel dianggap lebih kuat dan bernas dalam napas keislaman dibandingkan karya pertamanya Dijemput mamaknya (1930). Di Bawah Lindungan Kabah mengisahkan cinta yang tak sampai antara dua orang yang terhalang oleh adat. Yang membedakan dengan novel-novel yang membicarakan adat ialah pengarangnya membawa pelakunya dibawa ke Mekah dan meninggal di saat mengelilingi Kabah. Novel lainya ialah Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939), mengisahkan cinta yang tak sampai dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh itu pula. Dalam novel ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan campuran Minang Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin kemudian menjadi pengarang terkenal dan dalam sebuah kecelakaan kapal, gadis dicintainya meninggal.

Novel ini sempat heboh karena sebuah artikel di Harian Bintang Timur, harian yang biasa memuat karya-karya seniman Lekra, tanggal 7 September 1962 yang ditulis Abdullah SP. Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa karya Hamka tersebut sangat mirip dengan karya pujangga Mesir Al-Manfaluthi. Kesamaan tersebut dalam jalan pikiran, gaya bahasanya, perasaannya, filsafatnya dan lain- lain. Hamka dianggap mentah-mentah menjiplak karya pengarang Mesir dengan hanya mengganti tokoh dan tempat yang sesuai dengan warna setempat.

Untuk menguatkan tuduhannya bahwa Hamka menjiplak, dalam harian Bintang Timur, 14 September 1962, Abdullah SP, memberikan fakta-fakta dengan membandingkan karya Hamka tersebut dengan karya Alphonso Karr, Magdaline. Yang dibandingkan itu beberapa paragraf kisah cerita yang dianggap sebuah kemiripan. Tuduhan Abdullah SP diperkuat oleh komenter Pramodya Ananta Toer dalam sebuah wawancara dalam harian Berita Minggu, 30 September 1962. Ia menyarankan agar Hamka segera minta maaf.

Menghadapi tuduhan tentang plagiat yang dihadapi Hamka, H.B. Jassin menyatakan bahwa karya Hamka tersebut bukan plagiat atau jiplakan. “Menjiplak” berarti menerjemahkan tanpa menyebut sumbernya, sedangkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut masih ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka. Novel tersebut bukan jiplakan, bukan pula saduran karena terlalu banyak perlainan peristiwa yang bersumber pada pengalaman dan pengetahuan pengarang.

Pendapat H.B. Jassin didukung oleh pengarang dan pakar sastra lainnya seperti A. Rahim Mufti yang diungkap dalam Suluh Indonesia, 3 Oktober 1963 dan Zuber Usman, pengamat sastra dari Fakultas Sastra Unas Jakarta dalam harian yang sama.

Kalangan akademik yang menanggapi konflik tersebut adalah dosen-dosen Fakultas Sastra UI dengan menerjemahkan karya Al Manfaluthi dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia sehingga terbitlah terjemahan berjudul Magdalena dengan pengantar H.B. Jassin yang kembali melakukan pembelaan terhadap Hamka.

Demikian beberapa peranan yang telah diperlihatkan Pujangga Baru yang dengan tiras terbatas dan dana pas-pas dapat memberikan pengaruh besar

terhadap perkembangan kebudayaan terutama kesusastraan Indonesia secara konsinten sampai akhirnya berhenti terbit pada Februari 1942 karena kedatangan Jepang ke Indonesia. Penguasa Jepang melarang Pujangga Baru karena dianggap kebarat-baratan dan progesif.

Setelah Indonesia merdeka majalah terbit kembali di bawah kendali Sutan Takdir Alisjahbana dengan dukungan tenaga baru seperti Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani, Chairil Anwar, Dodong Djiwaparadja, Harijadi S. Hartowardoyo, dan Rivai Apin. Kondisi sosial dan politik yang berubah menyebabkan semangat tahun 1930-an tidak bisa lagi muncul pada masa selanjutnya.

 

2. Polemik Kebudayaan

Sumbangan Pujangga baru terhadap pemikiran kebudayaan Indonesia adalah diberikannya kesempatan pada sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapatnya sehingga menjadi polemik yang hebat dan meluas.

Dalam perjalanannya, golongan Pujangga Baru berpolemik dengan kaum tua dalam berbagai hal termasuk diantaranya masalah bahasa dan sastra, kebudayaan, pendidikan, dan pandangan hidup bermasyarakat.

Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang p melebar dari Pujangga Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).

Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya dan sekalian melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya. Serangkaian perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).

Dalam Kata Pengantarnya disebutkan bahwa polemik itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara Alisjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita (Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli (Juni 1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.

Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidak memberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu. Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya merumuskan kebudayaan Indonesia.

Alisjahbana menegaskan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh Barat sepuas-puasnyalah kita dapat mengimbangi Barat. Ia berhadapan dengan Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara dan lain-lain yang hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap kepribadian bangsa. Sanusi Pane yang juga turut serta dalam polemik-polemik itu akhirnya menyatakan bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru haruslah merupakan campuran antara Faust (yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat) dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian Timur). Sikap ini dinyatakan dalam dramanya Manusia Baru (1940). Sebelumnya Sanusi Pane dikenal sebagai seorang yang sangat mempertahankan Timur dalam menghadapi S. Takdir.

Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk keboedajaan baroe, ke-boedajaan persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan adanya pergeseran perhatian: “Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-han-lahan Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjahbana melanjutkan gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”

Dalam Nomor Peringatan Pujangga Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.” Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional. Soetan Sjahrir yang juga menulis dalam Nomor Peringatan itu, menegaskan konsekuensi Pujangga Baru: “pergerakan Poedjangga Baroe hanja soeatoe roepa dari keboedajaan universeel jang ada didoenia.” Sesungguhnya, perjuangan Pujangga Baru dalam mengangkat harkat kebudayaan persatuan Indonesia, justru di dalam kerangka universalitas itu. Dan sikap itu terus dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan penerbitannya.

 

Ikuti tulisan menarik Dita Nurhayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu