x

Pendidikan islam sejak dini

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Selasa, 30 Agustus 2022 17:59 WIB

Kesaksian Warga Tentang Kota Pendidikan yang (tak) Mendidik

artikel ini merupakan sepenggal kisah kesaksian beberapa warga dampingan MCW Malang yang giat melakukan pembelaan terhadap hak pendidikan dasar bagi anak-anak mereka. biasanya mereka melakukan pendampingan dan pemantauan terhadap proses seleksi PPDB di Kota Malang. ada banyak temuan dan kejanggal yang mereka saksikan. pada kesempatan diskusi santai bersama mereka, penulis memperoleh informasi tentang sejumlah prblem: diskriminasi PPDB, Pungli, serta mereka menagkan pernyataan seorang DPRD yang sangat kontroversi. serta banyak lagi keganjilan yang mereka temukan, penulis sajikan dalam artikel ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bermula dari percakapan di grup whatsapp (WA), sebuah grup komunikasi dan koordinasi antara para orang tua wali yang resah dengan kebijakan dan implementasi pendidikan di Kota Malang. Dalam percakapan sehari-hari di grup itu, para orang tua wali berbagi kisah tentang problem pendidikan yang tiada hentinya. Layaknya sebuah siklus yang terus berputar setiap saat, atau seperti hukum gerak manusia yang sudah pasti terjadi meski tak selalu diindahkan. Dari permasalahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), masalah pungutan, hingga iklim sekolah yang tak lagi jernih dari relasi kekuasaan.

Soal PPDB mereka bertutur tentang praktik diskriminasi selama proses penerimaan berlangsung, zonasi dan kuota khusus bagai para pejabat hingga problem teknis administratif dapat menunda, bahkan mengangkangi hak beberapa anak untuk melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya. Beberapa warga lainnya berkisah tentang pengalaman “dipaksa membayar ini itu” atas nama sumbangan. Padahal, nyatanya praktik itu adalah pungutan. Semua itu terjadi begitu saja meski mereka telah berulang kali mengadvokasi, tetapi hubungan kekuasaan yang kuat nan koruptif di antara para penguasa membuat mereka seringkali kehabisan energi untuk sekedar mengkritisi.

Grup whatsapp itu tak pernah sepi. Mengulik pendidikan, hingga pernyataan para penyelenggaranya yang kontroversial. Bahkan, ada juga yang bercerita tentang seorang anggota dewan pendidikan yang tak bisa membedakan pungutan dan sumbangan. Paguyuban sekolah dibuat untuk memudahkan kepentingan para petinggi sekolah, demikian komite sekolah dijadikan stempel pengajauan dan pelaporan. Beberapa warga yang menjadi komite sekolah pernah menyaksikan perbuatan manipulasi tersebut, bahkan beberapa lainnya menjadi korban atas kepentingan kekuasaan birokrat sekolah.

Masalah lain datang dari seorang anggota DPRD. Salah satu warga berkisah, pada PPDB tahun 2022, dirinya pernah menyampaikan problem PPDB kepada salah satu anggota DPRD. Tujuannya agar DPRD dapat memperjuangkan masalah mereka dengan tepat. Naasnya, pertemuan itu mengecewakan. Kekecewaan itu muncul ketika mendengar respon anggota DPRD yang seolah menyederhanakan problem yang menjadi aduan warga. “itu masalah sistem sehingga tidak perlu diributkan” ucap salah seorang anggota DPRD itu. Pernyataan ini nampak benar, dan nyatanya memang sistem elektronik yang dilengkapi perangkat teknologi dengan biaya tinggi, ternyata tak dapat mengurai problem di atas. Semua orang juga tau, lebih-lebih DPRD, bahwa sistem itu alat, tujuannya untuk mempermudah proses pendaftaran yang njlimet, memangkas birokrasi yang panjang, dan mencegah penyelewengan. Tetapi menyepelekan persoalan tanpa berkomitmen untuk berbenah adalah sebuah alasan yang tak dapat dibenarkan, lebih-lebih disampaikan oleh seorang wakil rakyat daerah, dan seakan hendak membungkam protes warga.

Seharusnya, DPRD tampil lebih cerdas. Jika pun ingin mempolitisir masalah, paling tidak lebih cakap dan bijak sehingga sedikit elegan di mata warga. Saya curiga, pernyataan itu dilontarkan secara terburu-buru karena kepanikan, atau memang sedari awal tuan dewan itu tak punya pengetahuan dan keterampilan menghadapi problem di masyarakat. Meski begitu, nyatanya, masalah tetaplah masalah, tak ada kemauan politik dari para penyelenggara untuk berbenah. Padahal, sebagai anggota DPRD, seharusnya mereka mampu mengevaluasi kinerja Dinas Pendidikan serta mendorong perbaikan sistem yang bermasalah sebagai wujud pertanggungjawaban mereka terhadap warga selaku pemberi mandat.

Menyoal Kesetaraan Pendidikan.

Salah satu problem yang paling disorot oleh warga setiap kali memasuki musim pendaftaran siswa baru (PPDB) di Kota Malang, adalah perihal jatah kursi bagi putra-putri bagi mereka yang memiliki jabatan di pemerintahan. Dalam bahasa petunjuk teknis (juknis) disebut kuota khusus pada jalur perpindahan tugas orang tua dengan hanya memfasilitasi putra dari ASN, TNI/Polri dan karyawan BUMN/BUMD. Artinya, tidak ada peluang bagi orang tua/wali yang bekerja di sektor swasta untuk menyekolahkan putranya melalui jalur perpindahan tugas orang tua ini. Padahal peraturan diatasnya, yakni Perwali Kota Malang No. 5 Tahun 2021 Tentang PPDB, dalam pasal 22 menyebutkan bahwa perpindahan tugas dibuktikan dengan surat penugasan dari instansi,lembaga, kantor, atau perusahaan yang mempekerjakannya. Pendaftaran jalur pindah orang tua terbuka untuk semua, tidak hanya dari golongan tertentu saja. Kebijakan tersebut membuka luka lama sekaligus memperburuk wajah pendidikan di Kota Pendidikan. 

Bagi warga yang selalu menghabiskan waktu untuk memantau proses PPDB, juknis tersebut sangat bermasalah dan bersifat diskriminatif. Tak ada keadilan dan kesetaraan pendidikan di Kota Malang. Perintah Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Secara lebih lanjut, ayat 2 menjelaskan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” dan Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” Ayat 5 pada pasal yang sama mengamanatkan, “Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat” Hanyalah sebuah teks, belum sama sekali berlaku bagi seluruh warga Kota Malang.

Sekalipun, bentuk-bentuk diskriminatif dalam penyelenggaraan PPDB terus berulang, dan bertentangan dengan pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 1 tahun 2021 tentang PPDB, sayangnya tak pernah dievaluasi. Hasil monitoring Malang Corruption Watch (MCW) bersama Forum Warga Peduli Pelayanan Publik Dasar (FMP3D) dan beberapa warga yang tergabung dalam Forum Komite Sekolah melaporkan bahwa, praktik diskriminatif dalam PPDB kota Malang telah terjadi bertahun-tahun sejak tahun 2017-2022. Sebagai contoh, pada tahun 2020, siswa yang masuk di jalur Perpindahan Tugas Orang Tua di salah satu SMPN Kota Malang didiskriminasi dengan pelaksanaan yang hanya untuk putra dari guru atau tenaga pendidik. 

Sekalipun kenyataannya demikian, alih-alih mengakuinya sebagai sebuah kesalahan sehingga perlu dibenahi, sebaliknya pemerintah dan DPRD justru berupaya membenarkan tindakan mereka dengan berbagai cara dan dalih. Misalnya, salah satu anggota DPRD Kota Malang di Komisi D yang membidangi Kesejahteraan Sosial dengan PPDB sebagai salah satu urusan utamanya, justru membenarkan Juknis tersebut dengan dalih sudah sesuai dengan Permendikbud.

Suara Mereka Valid dan Mengandung Daya Dobrak.

Cerita warga perihal pengalaman dan kesaksian mereka atas problem pendidikan dasar dan menengah di atas merupakan suara kritis dan memiliki daya dobrak tersendiri. Sebagai warga korban atas ketimpangan pendidikan, mereka telah berupaya semampu mungkin memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak mereka. Sebuah praktik atas teori sudut pandang sebagaimana dijelaskan oleh Au (2021) yang dikutip Edi Subhan (2018) dalam sebuah jurnal bertajuk “Pendidikan Antikorupsi Perspektif Pedagogi Kritis”, bahwa teori sudut pandang merupakan suara dari kelompok sosial yang memperoleh perlakuan tidak adil, tertindas, dan terpinggirkan.

Suara tersebut valid dan punya daya kritis serta daya dobrak karena mereka betul-betul mengalami kondisi ketidakadilan. Mereka mengalami ketertindasan dan peminggiran. Upaya warga dalam mempertahankan hak kesamaan pendidikan dihadapan hukum bagi anak-anak mereka, seperti halnya mengadukan masalah kepada pihak sekolah, Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, dan DPRD kota Malang, merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya membangun daya kritis dan daya dobrak. Sebab, berbagai upaya pembelaan yang dilakukan berangkat dari problem-problem mendasar yang mengancam hak masa depan generasi bangsa (anak-anak mereka), jika tidak dilakukan, dan cerita itu didiamkan, akan semakin memposisikan mereka pada kondisi ketertindasan sistem dan ancaman keterpinggiran mereka dari kewajiban negara menjamin hak pendidikan bagi setiap warga negara semakin meluas.

Keberanian beberapa warga dalam memprotes problem pendidikan secara umum dan pelaksanaan PPDB secara khusus di Kota Malang setiap tahunnya, merupakan peringatan kepada penguasa. Suara-suara itu valid dan memiliki daya dobrak yang kuat. Mereka yang sedang mengeraskan suara protes, melakukan pendampingan atas hak anak-anak mereka, menghabiskan waktu dan tenaga untuk bertemu dengan para petinggi yang membidangi pendidikan namun selalu mengecewakan, mengeluarkan sebagian uangnya untuk ongkos transportasi selama proses perjuangan berlangsung adalah mereka yang sadar atas penindasan dan peminggiran hak-hak dasar pendidikan. Kesadaran itu terbentuk dari sebuah realitas di mana mereka hidup dan menyaksikan berbagai ketimpangan di dunia pendidikan kini. Kondisi keterdesakan ini mengharuskan mereka mengambil jalan pedang melawan rezim pendidikan yang tidak adil. Sebuah refleksi atas ketimpangan yang sedang mereka saksikan, dengarkan, dan alami secara langsung selama bertahun-tahun. Mengambil jalan pedang adalah sebuah pilihan yang tak mudah di tengah dinamika sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan yang tergerus oleh arus modernisasi, individualisme, dan konsumerisme sebagai budaya modern. oleh karena itu, pilihan ini mesti didukung.

Salah satu upaya untuk mendukung perjuangan mereka adalah mengupayakan konsolidasi kekuatan rakyat pro keadilan dan kesetaraan pendidikan. Bahkan, jika perlu, upaya-upaya itu diperluas melampaui sekat-sekat yang telah lama tegak membentengi suara kritis warga. Membangun sekutu dari beragam lapisan masyarakat, melakukan pemetaan dan pengorganisiran terhadap kanal-kanal perjuangan di setiap sudut kampung perkotaan. Di mana, setiap sudut kampung memiliki kelompok potensial yang dapat dilibatkan, paling tidak melalui forum/organisasi sosial ada. Jika pun memungkinkan, pembentukan forum warga secara organik dengan menempatkan warga korban ketimpangan pendidikan sebagai motor penggerak, dibekali perspektif kritis, keterampilan, keberanian dan militan sebagai sebuah alternatif strategis perjuangan jangka panjang.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler