x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 10 Desember 2022 16:47 WIB

Lihatlah, Anggota DPR Sendiri Tak Mampu Menjaga Kehormatan Institusi

Menghadapi kritik dari rakyat, anggota DPR kerap merasa sewot dan menganggap rakyat tidak menghargai institusi DPR. Benarkah begitu? Bagaimana pula jika yang (dalam tanda kutip) ‘menghina’ institusi DPR itu adalah anggota DPR sendiri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terdapat pasal yang memberikan sanksi pada siapapun yang menghina lembaga negara. Bila penghinaan dilakukan di muka umum, ancaman hukumannya tidak main-main, 6-12 bulan. Kritik, kata para akademisi di pemerintah yang menggodog RUU ini maupun kata politikus yang duduk di DPR, diperbolehkan. Soalnya ialah kemudian pasal mengenai hal ini berpotensi mulur-mengkeret seperti karet: apa yang oleh rakyat disebut sebagai kritik, oleh pemerintah dan DPR dianggap penghinaan.

Menghadapi kritik dari rakyat, anggota DPR kerap merasa sewot dan menganggap rakyat tidak menghargai institusi DPR. Benarkah begitu? Bagaimana pula jika yang (dalam tanda kutip) ‘menghina’ institusi DPR itu adalah anggota DPR sendiri? Dan contoh tentang hal ini justru terjadi pada saat pengesahan RKUHP yang berlangsung di ruang sidang paripurna DPR, Selasa, 6 Desember 2022 lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Foto-foto yang dipublikasikan berbagai media massa memperlihatkan ruang sidang paripurna yang megah dan berukuran besar itu nyaris kosong melompong. Mayoritas kursi sidang tidak terisi. Berbagai media massa (antara lain cnnindonesia.com, yang mengutip pidato Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di awal sidang) melaporkan, hanya 18 anggota DPR yang hadir secara fisik di rapat paripurna ini. Diberitakan, yang menyatakan hadir secara virtual sebanyak 108 orang, sedangkan yang izin sebanyak 164 orang. Padahal, anggota DPR untuk periode 2019-2024 mencapai 575 orang.

Tingat kehadiran anggota DPR yang sangat rendah itu menunjukkan bahwa para anggota DPR sendiri tidak menganggap penting pengesahan RKUHP. Mereka tampak bermain-main dengan kewajibannya sebagai anggota DPR. Bila anggota DPR menganggap undang-undang ini sangat penting, mengapa hanya minoritas yang sangat sedikit yang menghadiri sidang paripurna?

Mereka yang menyatakan diri hadir secara virtual itupun tidak dapat diketahui oleh masyarakat apakah memang benar-benar mengikuti sidang paripurna atau hanya sekedar log-in ke ruang virtual untuk kemudian tidur atau ngopi dan makan enak entah dimana. Kehadiran secara virtual ini juga memperlihatkan betapa mereka tidak peduli seratus persen pada aturan yang berdampak luas terhadap rakyat.

Sangat menggelikan bahwa cara-cara bersidang yang seperti ini dianggap oleh pimpinan sidang sebagai sudah memenuhi kuorum dari hasil penjumlahan yang hadir fisik 18 orang, hadir virtual 108 orang, dan yang izin 164 orang—bagaimana mungkin anggota yang izin kemudian dianggap hadir? Bagaimana tanggungjawab pimpinan dan anggota DPR terhadap rakyat? Ataukah karena para anggota DPR yang membuat aturan lantas berhak menafsirkan sendiri aturannya tersebut dan mengabaikan keberatan rakyat banyak?

Apakah dengan cara sidang paripurna dilakukan seperti itu masih dapat dianggap bahwa pimpinan dan anggota DPR telah menegakkan marwah dan martabat institusi DPR? Salahkah bila rakyat mengatakan bahwa perilaku pimpinan dan anggota DPR itu justru merupakan contoh konkret penghinaan terhadap institusi DPR, sebagaimana diatur dalam KUHP yang ketika itu sedang disidangkan untuk disahkan?

Bila pimpinan dan anggota DPR sendiri tidak mampu menegakkan dan menjaga martabat institusi DPR, mengapa hendak menghukum rakyat?

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler