x

Image by Google, digital image by Me.

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Rabu, 29 Maret 2023 06:53 WIB

Siluet

Cerpen Siluet. Termangu aku memandagi lanskap tempat awal, aku, menyatakan cinta sepenuh jiwa padamu. Fei, kalau benar kau sudah di langit Ilahi, peluk jauh boleh? Aku tahu kau pasti sedang rindu kuaci kesukaanmu kan? Nih, aku makan satu persatu, masih ada satu bungkus lagi, aku letakkan di sini ya, di pohon besar taman cintamu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terpandang atau memandang, sekalipun tidak terpandang, terpenting berpandangan untuk saling memandang bulat bola matamu. Hipnosis, terkesima, terkulai hati terbakar bara asmara, gelora langit memerah senja marun tak terbilang kata, tak terucap, terkatup bibirmu, membiru sukma. Oh, bianglala angkara suka duka. Jangan biarkan semboyan itu merampas isi kepala. 

Aku tidak mau terluka. Lagi tak terucap apapun ketika siksa menajam pandang matamu, menghujam, ingin aku kau rengkuh seperti madu asli hutan tropis. Menuai badai mengalun ombak asmara malam sepia, lagi, pejamkan sesuka seperti kata susastra merayu gombal, tapi aku suka sekali. Teruskan lagi, sekali lagi berkali-kali. Biarkan grafiti mencoret-coret aum mengguncang dada ini. Aku, memang semarah rindu tak terhingga.

Kecuplah langit merekah senja, biarkan temaram setelahnya. Lalu, kisahkan padaku penyair bunga, tentang didih anggur malam, bangkitkan lagi cuaca semerah-merahnya, tak ingin kalah sekali, aku, ingin kalah berkali-kali. Kalaupun mati biarkan mati berkali-kali, hidup berulang kali tak mau sekali mati. Khazanah dahaga mengarungi jazirah selewat waktu berulang musim..

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenangan itu, simpang siur di batok kepalaku. Sepersekian detik aku terlambat menyelamatkanmu, dari bajingan barbarian itu. Tidak ada apapun bisa mengembalikanmu. Tak ada cara lain, aku, menghimpun kekuatanku. Tahapan latihan ini tak bisa aku percepat. Patuh pada prosedur fisik, mental, inteligensi.

"Kau, mau mati sia-sia, atau mampu bertahan menghadapi gerombolan barbarian itu," perlahan meyakinkan.

"Ya Suhu. Saya patuh."

"Tak hanya kesabaran. Kepekaan inteligensimu, penting, untuk membaca tanda-tanda, dalam bentuk apapun itu." 

**

Tak seperti biasanya Fei, memintaku bertemu di kios penganan di tengah pasar tradisional macam ini. Sudah satu jam tak juga muncul. "Pindah lokasi ke tempat awal kau menyatakan cinta," bunyi pesan di telepon genggamku. Fei, sudah menunggu di balik pohon besar di taman itu. Bergegas menghampirinya. Segera dia memelukku, erat, hangat, terasa aneh.

"Berita utama, akan menui risiko," setelah, Fei menjelaskan panjang lebar padaku.

"Risiko independensi jurnalis publik, sayang." Fei, meyakinkan.

"Oke. Aku, mengawalmu berjarak, sampai batas aman setelah berita itu tayang."

"Enggak. Jangan. Kami, bersama beberapa media bersih, belum dikuasai para cukong, telah sepakat menghadapi berbagai risiko. Justru aku meminta kau menjauh, untuk beberapa waktu."

"Permintaanmu aneh."

"Pikirkan dengan matang, kalau menurutmu permintaanku aneh. Aku, kembali kekantor. Berita sudah naik cetak, liputan, media online, talk show akan marak malam ini." Kecupan ringan di pipi kiriku. Fei, memeluk sejenak. "Tolong turuti permintaanku ya. Jaga kesehatan ibumu, sungkem untuk beliau."

Trending topik, berita dari media grup tempat Fei, bekerja, juga media rekan pendukung, membuncah fakta kunci, terus menerus, membongkar kebohongan dibalik isu bodong, beberapa bulan terakhir. Beberapa kelompok organisasi dibubarkan, biangkeladi kelas pelaksana alias narahubung receh ditangkap. 

Siapa cukong di balik isu itu, molos bagai gaib. Entah kenapa pihak-pihak tertentu tak mampu bersuara terang. Aku, terus menjaga Fei, dari jarak aman, kemanapun tanpa sepengetahuannya.

**

Konspirasi. Kata dalam bentuk keruh macam itu hadir di Bumi. Suhu, mengijinkan penyelesaian secara saksama. Aku, master penggantinya kelak, setelah mencerap kitab kuno perguruan dari Suhu, entah kenapa dia menyampaikan hal tersebut secara terbuka di arena pertemuan khusus, para master penjaga perpustakaan, para master perguruan. Pengukuhanku kelak memimpin perguruan di hadapan semua murid, para sesepuh perguruan. Hal langka, apa sesungguhnya tengah bergejolak di balik semua peristiwa. 

Isu, pemicu kekacauan, perlindungan dari biro, menghijrahkan keluarga Fei, setelah detik itu tak sampai aku menyelamatkanmu Fei, jenazahmu bagai sirna, tercecer, tas punggung, beberapa penanda identitas, kartu pers, dompet lipatmu, si hitam buku harianmu. Lipstik, kado ulang tahun dariku bulan lalu, kecupanmu masih terasa membekas, di pipi kiriku, itu kebiasaanmu. Sampai kerabat mediamu memberi kabar tak berapa lama setelah keterlambatanku menyelamatkanmu, jenazahmu di terbangkan ke benua tetangga tempat keluargamu bermukim, anonim segala hal tetang keberadaan kalian.

Penangkapan kelompok pelaku isu berjalan cepat tanpa hambatan, konon pula satu cukong sudah di jebloskan ke hotel prodeo. Ini membuatku mencari celah di lubang jarum. Mengapa, apa. siapa, waktu tempuh berjalan cepat, aneh, tak nalar, secara pratinjau dalam sistem kebiroan. 

Setelah menempuh sekian jam perjalanan dari perguruan, pesawat mendarat. Bergegas, taktis siluman, masuk arena konspirasi. Satu persatu penghakiman, selesaikan secara tertutup dalam sunyi. Menghadapi kaum barbarian itu. Sampai waktunya puncak dari pimpinan mereka sekalipun membunglon adaptif di sistem formal, kebohongan itu terbongkar di angkasa semua media tanpa kecuali. Gegar budaya semua negeri hingga benua jauh. Tujuan akhir dari kaum barbarian bagai cerita kasih tak sampai. 

**

Termangu aku memandagi lanskap tempat awal, aku, menyatakan cinta sepenuh jiwa padamu. Fei, kalau benar kau sudah di langit Ilahi, peluk jauh boleh? Aku tahu kau pasti sedang rindu kuaci kesukaanmu kan? Nih, aku makan satu persatu, masih ada satu bungkus lagi, aku letakkan di sini ya, di pohon besar taman cintamu.

Tadinya, aku akan menyampaikannya di hari ulang tahunmu berikutnya. Fei? Ada satu rahasia, kusimpan untuk kado pernikahan kita. Cinta, akan utuh kalau kau kecup pipi kananku. Kau mau kan, kekasih. Kau pernah bilang, bintang jatuh waktunya, kita, masing-masing meminta dalam doa pada Ilahi, tentang hal mustahil sekalipun, tapi sayangnya, tak satupun tahu rencana Ilahi. 

Lalu aku bilang ketika itu. Aku, tak percaya pada bintang jatuh. Sekarang saja kita, di sini, berdoa bersama sepenuh cinta kepada Ilahi. Kedua tanganmu memegang lembut pipiku, yuk, sekarang berdoa dalam rahasia hati masing-masing, terpejam mata, membuka rahasia hati pada Ilahi. Menerawang cinta itu sekarang, sendirian, kelangit mana aku mencarimu Fei? Di langit mana kau sekarang?

"Aku di sini. Aku tahu doamu sekarang," suara itu. Terkesiap membisu, muskil. Pelukan hangat merengkuh tubuhku dari belakang, teramat lembut.

Batinku bergetar. "Kekasih ... " Jemarimu, lenganmu, pelukan ini aku kenal ... Kecupan di bahu kiri. "Fei? Ini kau seutuhnya," berbalik memeluknya. 

"Ini kan doamu. Iya kan?" netra coklatmu adem memandangiku.

"Iya. Aku tak ingin kau pergi duluan meninggalkanku sendirian. Iya, itu doaku. Bagaimana mungkin ..."

"Mungkin dong. Panjang ceritanya. Bisa jadi cerbung. Ogah kata pengarangnya," ngakak bareng. 

***

Jakarta Indonesiana, Maret 29, 2023. 

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler