x

Ilustrasi Kelompok Burakumin (flickr.com)

Iklan

Alya Briliana

Mahasiswa Studi Kejepangan - Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Airlangga
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Minggu, 9 April 2023 08:51 WIB

Burakumin, Kelompok yang Terdiskriminasi di Jepang

Meskipun Jepang dikenal sebagai negara maju, namun Jepang tidak luput dari masalah diskriminasi. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai diskriminasi terhadap kelompok burakumin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Negara Jepang dikenal sebagai negara homogen. Hal tersebut dikarenakan masyarakatnya memiliki persamaan kebiasaan dan budaya. Jepang sendiri juga bangga akan kemurnian etnis dan homogenitasnya. Tetapi, jika ditilik lebih mendalam, sebenarnya di Jepang juga terdapat etnis-etnis lain, meskipun berjumlah sedikit dan menjadi minoritas.
 
Mungkin dikarenakan homogenitasnya, masyarakat Jepang jadi susah atau bahkan tidak mau, untuk menerima perbedaan. Perbedaan yang dimaksud yaitu perbedaan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Sering terjadi bentrok yang menyebabkan kelompok minoritas mengalami diskriminasi. Kelompok-kelompok minoritas di Jepang antara lain; kelompok burakumin, suku Ainu, suku Ryukyu, Zainichi, dan pekerja asing. Pada artikel kali ini, akan dibahas mengenai kelompok burakumin secara lebih mendalam.
 
Burakumin berasal dari kata buraku yang berarti desa dan min yang berarti penduduk. Secara harfiah burakumin berarti penduduk desa. Istilah burakumin mulai digunakan pada abad ke 19. Asal-usul burakumin berasal dari eta dan hinin. Pada zaman Edo, eta dan hinin menempati kasta terendah dalam struktur masyarakat Jepang, di bawah Shinōkōshō. Shinōkōshō merupakan singkatan dari, shi artinya bushi atau militer, artinya nōmin atau petani, artinya kōsakunin atau tukang dan shō artinya shōnin atau pedagang.
 
Eta memiliki arti berlimpah kotoran. Karena hal tersebut, semakin memperkuat orang-orang untuk tidak mendekati apalagi menyentuh orang-orang eta. Pekerjaan orang-orang eta pada saat itu erat dengan penyamakan kulit dan penjagalan hewan. Pada tahun 1869, dikatakan bahwa nilai eta sama dengan 1/7 orang biasa di Jepang. Saat itu eta dianggap lebih rendah daripada hinin.
 
Sedangkan, hinin memiliki arti bukan manusia. Istilah tersebut digunakan untuk menunjuk pengemis, gelandangan, mantan narapidana, algojo, tukang bersih-bersih, dan penghibur. Kemudian pada abad ke 19, karena eta dan hinin sama-sama memiliki derajat yang rendah, keduanya melebur menjadi 1 dan masyarakat mulai menyebut mereka sebagai burakumin.
 
Sebenarnya, diskriminasi yang dialami oleh kelompok Burakumin berkaitan dengan ajaran Shinto dan Buddha. Dalam kedua ajaran agama tersebut, darah dianggap tidak suci. Darah dianggap pembawa sial dan nasib buruk. Oleh karena itulah pekerjaan yang berhubungan dengan darah secara langsung dianggap kotor dan rendahan. Hal tersebut yang menyebabkan kelompok Burakumin dianggap kotor, rendahan, dan menjijikkan.
 
Orang-orang burakumin terutama hinin, pada awalnya masih bisa naik kasta melalui pernikahan dengan orang biasa dan memiliki pekerjaan lain. Tapi, pada abad 16 Toyotomi Hideyoshi memberlakukan sistem kasta secara resmi, untuk membatasi interaksi antar kasta di Jepang.
 
Lalu pada zaman Edo, Tokugawa Ieyasu memperkuat diskriminasi terhadap kelompok Burakumin. Dengan memberlakukan aturan bahwa orang burakumin dilarang menikah dengan orang di luar kastanya. Tidak hanya itu, orang burakumin juga hanya boleh bekerja sebagai penyamak kulit, penjagal hewan, algojo, pengemis, dsb. Bahkan, jika mengemis pun hanya boleh dilakukan di titik tertentu, dan tidak boleh berpindah-pindah. Diskriminasi ini telah berlangsung selama 265 tahun.
 
Pada saat Restorasi Meiji, dimana liberalisme mulai masuk ke Jepang, sistem kasta secara resmi dihapus kecuali pada keluarga kekaisaran. Tepatnya pada tahun 1871, pemerintah Jepang mengeluarkan dekrit senmin haishirei yang berarti dekrit yang menghapus kasta tercela, atau yang dikenal sebagai kaihorei alias dekrit emansipasi.
 
Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut, diharapkan orang-orang burakumin dapat terbebas dari diskriminasi dan memiliki pekerjaan lain yang lebih layak. Namun sayangnya, kehidupan orang-orang burakumin justru jauh lebih memburuk. Hal tersebut dikarenakan orang-orang burakumin tidak lagi dapat memonopoli pekerjaan sebagai penyamak kulit dan penjagal. Di sisi lain, orang-orang burakumin juga tidak dapat bekerja di perusahaan karena perusahaan-perusahaan di Jepang tidak ingin menerima orang-orang burakumin sebagai karyawan mereka.
 
Terlebih terdapat koseki (Registrasi Keluarga) yang mengacu kepada alamat nenek moyang sampai saat ini. Koseki sendiri berisi identitas kelahiran, pernikahan, dan kematian setiap leluhur masyarakat Jepang. Karena hal tersebutlah orang lain dapat melihat dan mengetahui keanggotaan keluarga burakumin. Hal-hal tersebut yang membuat perekonomian orang-orang burakumin semakin memburuk bahkan tidak jarang juga yang menjadi pengangguran.
 
Karena masih mendapat diskriminasi, dan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, orang-orang burakumin akhirnya mendirikan komunitas dan organisasi untuk melindungi diri mereka. Contohnya, Buraku Liberation League (BLL) yang didirikan pada tahun 1946 dan All Japan Dowa Association yang didirikan pada 1960. Berkat kedua pergerakan organisasi tersebut, pemerintah akhirnya membentuk Council on Dowa Measures pada tahun 1961 yang bertujuan untuk melindungi orang-orang burakumin.
 
Pada tahun 1975, di Jepang beredar buku Tokushu Buraku Chimei Shokan. Buku tersebut berisi daftar nasional dari nama dan lokasi area pemukiman buraku. Menurut Buraku Liberation and Human Rights Research Institute of Osaka, terdapat 200 perusahaan yang membeli buku tersebut. Tidak hanya perusahaan, tapi ribuan orang juga membeli buku tersebut.
 
Isu profiling juga pernah terjadi pada tahun 2009, dimana Google Earth memasukkan peta sejarah Tokyo dan Osaka untuk menunjukkan lokasi desa kelompok burakumin bermukim di zaman feodal. Meskipun saat ini pemerintah Jepang telah melarang praktik profiling, tapi tetap saja diyakini bahwa penggunaan daftar nama dan lokasi buraku serta praktik jual beli informasi identitas burakumin masih ada, terutama sebagai tuntunan untuk anaknya menikah kelak.
 
Biasanya, calon menantu atau kekasih sang anak akan ditanya-tanyai mengenai asal-usul dan latar belakang leluhur. Jika berpotensi berasal dari burakumin, biasanya orang tua akan menyuruh anaknya untuk putus atau cerai.
 
Menurut survey yang dilakukan oleh Kementerian Kehakiman Jepang pada tahun 2020, sebanyak 17,5% masyarakat Jepang pernah menjadi korban atau pelaku diskriminasi terhadap kelompok burakumin. Sebanyak 58% dari orang-orang tersebut bisa berada pada situasi tersebut karena masalah hubungan. Yang berarti menunjukkan bahwa diskriminasi yang terjadi sekarang didasari oleh hubungan antara burakumin dan warga biasa.
 
Istilah burakumin sekarang juga menunjuk pada warga yang bahkan tidak bekerja sebagai penyamak kulit atau pekerjaan lain yang identik dengan burakumin. Hanya karena tinggal di area yang terdapat banyak burakumin, di dekat pabrik jagal, atau di tempat yang dianggap kotor oleh masyarakat Jepang. Oleh karena itu banyak masyarakat Jepang meyakini jika saat wawancara kerja ditanya mengenai tempat tinggal, itu berarti sedang memeriksa apakah calon karyawan berasal dari burakumin atau tidak.
 
Pada tahun 1993, dilakukan sensus mengenai jumlah kelompok burakumin di Jepang. Hasil sensus tersebut menunjukkan terdapat 3 juta kelompok burakumin yang mendiami 6.000 distrik di Jepang. Orang-orang burakumin saat ini kebanyakan tinggal di daerah kota Osaka dan Kyoto. Lokasi tempat tinggal mereka saat ini dapat dikaitkan dengan konsekuensi dari perkembangan ekonomi dan politik di akhir era Tokugawa Ieyasu.
 
Alec Dubro dan David E. Kaplan (2012) dalam Yakuza: Japan's Criminal Underworld, berpendapat karena kelompok burakumin susah mencari pekerjaan, mendapat diskriminasi, dan tidak mendapat perlindungan dari negara, akhirnya burakumin-burakumin berkumpul dan membentuk komunitas untuk perlindungan diri, yang akhirnya, membuat mereka menjadi Yakuza. Di Yakuza, mereka merasa dapat menjadi diri sendiri; suatu hal yang tidak dapat mereka rasakan saat berada di masyarakat umum.
 
Masih menurut buku tersebut, 70% anggota dari Yamaguchi-Gumi (Sindikat Yakuza terbesar di Jepang) adalah orang-orang burakumin. Pada zaman dahulu, orang-orang burakumin diberi tatto untuk menandai bahwa mereka burakumin agar merasa malu dan dijauhi masyarakat. Namun, setelah masuk Yakuza, mereka menatto badan mereka sebagai identitas dan bentuk kehormatan.
 
Salah satu kasus diskriminasi terhadap burakumin terbesar yaitu pada pemilihan calon perdana menteri Jepang tahun 2001. Hiromu Nonaka, calon dari Liberal Democratic Party (LDP) maju mencalonkan diri. Yang mana dirinya seorang burakumin. Namun, saat rapat pejabat LDP, Hiromu Nonaka sama sekali tidak menunjukkan dirinya. Ketika ditanya mengenai keabsenan Hiromu Nonaka, salah seorang pejabat LDP berkata “kita tidak akan membiarkan seorang burakumin menjadi perdana menteri bukan?” jadi kemungkinan besar Hiromu Nonaka sengaja tidak diundang dalam rapat tersebut. Tidak lama kemudian Nonaka mengundurkan diri sebagai calon perdana menteri.
 
Meskipun banyak burakumin yang mendapat diskriminasi, tapi tidak sedikit pula yang menjadi orang sukses. Salah satu contohnya yaitu Tadashi Yanai, seorang pendiri dan presiden merk pakaian Uniqlo. Tadashi Yanai menjadi orang terkaya di Jepang menurut Forbes. Namun, meskipun banyak burakumin yang sukses, tetapi stereotip kotor masih melekat pada diri mereka bahkan hingga saat ini.

Ikuti tulisan menarik Alya Briliana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu