Suku Ainu, Penduduk Asli Jepang yang Dikucilkan

Senin, 10 April 2023 14:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Mari belajar mengenai suku Ainu, suku pribumi Jepang yang hampir punah.

Nama : Desynta Putri Aryani
Program Studi : Studi Kejepangan
Fakultas : Fakultas Ilmu Budaya
 
Setiap negara pasti memiliki memiliki ciri keunikannya masing-masing. Ada negara yang masyarakatnya heterogen, ada pula negara yang masyarakatnya homogen. Negara yang masyarakatnya heterogen contoh sederhanaya seperti Indonesia. Indonesia merupakan negara yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke; dengan berbagai suku, bahasa, agama, ras, dan budaya. Hal ini menjadi faktor utama heterogenitas yang ada di Indonesia. Menurut Mulyana dan Rakhman (2006: 12), masyarakat heterogen merupakan masyarakat multikultur karena masyarakat multikultur merupakan sebuah realitas sosial yang terdapat dalam masyarakat seperti masyarakat etnis Thionghoa, Melayu, Batak dan lainnya yang mempunyai budaya masing-masing untuk dipertahankan dan menjadi sebuah identitas yang harus dipertahankan.
 
Sedangkan, negara yang termasuk dalam negara homogen contohnya adalah negara Jepang. Menurut Mahsun (2014), masyarakat homogen adalah masyarakat yang komunitas pembentuknya dapat berwujud satu etnis atau satu golongan, satu ras, satu agama, dan satu pola pikir dalam pengertian absolut. Pada masyarakat seperti ini, yang dipentingkan adalah kesamaan dan keseragaman. Negara Jepang, secara umum diketahui oleh kebanyakan orang adalah negara yang homogen, atau memiliki kesamaan dari segala bidang. Kesamaan tersebut terlihat dari ras, identitas, kepercayaan, etnis, dan budaya yang ada.
 
Namun dibalik fakta yang telah dipercaya oleh orang-orang, ternyata Jepang merupakan negara yang mayoritas penduduknya bukan berasal dari ras murni. Terdapat banyak kelompok minoritas yang menetap di Jepang dan tidak jarang mereka melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas tersebut. Jika membicarakan kelompok minoritas, ada beberapa kelompok minoritas yang terbesar di Jepang. Diantaranya yaitu ada foreign workers, Burakumin, Zainichi, dan Ainu.
 
Tema yang akan dibahas di artikel ini adalah tentang suku minoritas di Jepang, lebih spesifiknya yaitu suku Ainu. Suku Ainu sendiri merupakan suku pribumi Jepang yang dikucilkan dan ditindas sehingga menjadi kelompok minoritas. Penulis memilih suku Ainu untuk dibahas karena eksistensinya sebagai pribumi Jepang perlahan punah karena tindakan semena-mena pemerintah dari abad kuno.
 
Selain itu, suku Ainu memang memiliki kebudayaan yang jauh berbeda dari masyarakat Jepang pada umumnya sehingga alasan untuk melakukan diskriminasi semakin kuat.
Suku Ainu merupakan penduduk asli Jepang yang tinggal di daerah Utara Kepulauan Jepang, yaitu Hokkaido. Jumlah penduduknya sekitar 24.000 jiwa, jauh lebih sedikit dibanding seluruh kelompok minoritas yang ada di Jepang.
 
Beberapa penduduk suku Ainu juga dapat ditemukan menetap di Pulau Shakalin bagian utara hingga kepulauan Kuril, Rusia. Asal usul tentang suku Ainu pun masih belum diketahui sepenuhnya, namun yang dipercaya hingga saat ini yaitu suku Ainu merupakan ras keturunan Mongoloid dari Timur Laut dan Asia Tengah yang bermigrasi ke seluruh Jepang tepat ketika periode Jomon. Suku Ainu kala itu masih berburu dan mengumpulkan makanan. Hal ini pula yang menguatkan fakta bahwa suku Ainu dianggap sebagai Jōmon-jin atau penduduk asli Jomon atau keturunan asli periode Jomon kuno, karena mereka lah yang pertama kali menginjakkan kaki di Jepang. Meskipun dianggap sebagai penduduk pribumi Jepang, informasi tentang suku Ainu cukup sulit ditemukan dikarenakan banyaknya penduduk tersebut yang memilih untuk menutupi identitas asli mereka.
 
Suku Ainu meskipun merupakan penduduk asli Jepang, ternyata memiliki budaya, bahasa, dan fisik yang berbeda dari penduduk Jepang kebanyakan. Suku Ainu memiliki ciri fisik berupa rambut yang lebih lebat atau bergelombang, dengan warna yang kebanyakan pirang atau kemerahan. Mata mereka juga berwarna biru atau coklat, dengan bentuk yang bulat dan lebih lebar. Kulit mereka pun cenderung lebih pucat.
 
Secara bahasa, suku Ainu menggunakan bahasa Ainu untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, bahasa ini benar-benar berbeda dari bahasa Jepang. Bahasa Ainu tidak dapat dikelompokkan dalam suatu rumpun bahasa tertentu, berbeda seperti bahasa Indonesia yang masih merujuk pada bahasa Melayu. Bahasa Ainu tidak memiliki asal-usul yang jelas tentang darimana bahasa tersebut diambil dan bahkan tidak ada kemiripan dengan bahasa tertentu sehingga sangat sulit dilacak. Mereka juga tidak memiliki sistem penulisan dan hanya sebatas pada berkomunikasi dari mulut ke mulut, sehingga mitos atau legenda yang berkembang pada suku Ainu sulit untuk didapatkan sumbernya.
 
Secara budaya, suku Ainu memiliki kebiasaan unik yang berbeda dari masyarakat Jepang pada umumnya. Contohnya adalah untuk pria, mereka mulai berhenti mencukur rambut mereka pada usia tertentu. Untuk wanita, mereka harus menggunakan tato bibir warna gelap yang kebanyakan digunakan ketika menjelang usia menikah. Bagi wanita yang telah menikah, bila tato bibirnya semakin lebar maka jabatan suaminya pun semakin tinggi. Dalam sistem kepercayaan suku Ainu, mereka menganut kepercayaan animisme. Dalam sistem kepercayaan ini, mereka percaya bahwa alam semesta dan seisinya; termasuk hewan, tumbuhan, dan manusia memiliki roh serta dewa mereka sendiri-sendiri. Dewa-dewa ini mereka sebut dengan Kamuy atau Kamui. Mereka juga percaya bahwa sejatinya, manusia harus berdampingan dan menjaga alam dengan baik, karena dengan begitu maka dewa-dewa mereka juga akan balik melindungi mereka. Dari sekian banyak Kamuy yang mereka percaya, ada dua Kamuy utama yakni Kamuy matahari dan Kamuy beruang yang mereka sebut dengan Kim-Un-Kamuy.
 
Suku Ainu juga memiliki ritual pengorbanan beruang yang disebut dengan Iyomante. Pengorbanan beruang ini memiliki makna sebagai penghormatan terhadap Kamuy beruang. Beruang juga dianggap memiliki banyak manfaat, seperti bulunya untuk bahan pakaian, dagingnya untuk dimakan, serta tulang belulangnya untuk peralatan rumah. Dalam ritual ini, beruang yang dikorbankan tidak boleh sembarang beruang, yakni harus induk beruang dan anaknya. Induk beruang terlebih dahulu dikorbankan melalui upacara khusus, sedangkan anak beruang akan dibesarkan selama dua tahun sebelum dikorbankan.
 
Selama dua tahun inilah, anak beruang akan diberi kasih sayang, diberi makan dan diperlakukan seperti darah daging mereka sendiri karena dianggap sebagai dewa atau tamu kehormatan. Ketika beranjak dewasa, anak beruang ini tadi akan dikorbankan sama seperti upacara induknya. Beruang yang telah mati akan dikuliti dan dipajang di depan altar. Pada saat ritual Iyomante, penduduk suku Ainu akan berpesta dengan meriah selama tiga hari tiga malam. Mereka percaya, beruang yang dikorbankan dapat kembali menjadi dewa gunung sebagai utusan desa yang terbaik dan terhormat.
 
Hubungan antara penduduk Ainu dan penduduk Jepang lainnya telah terjalin dari sekitar abad ke-14, ketika daerah kekuasaan pemerintahan Jepang belum mencapai Hokkaido. Namun setelah itu, mereka terpaksa perlahan-lahan diusir dari tanah mereka sendiri karena tekanan dari pemerintah. Alasan pengusiran mereka ini karena pada tahun 400 SM, suku Yayoi dari Semenanjung Korea bermigrasi ke bagian selatan Jepang dan membawa teknologi baru yang lebih maju berupa sistem bercocok tanam sendiri dengan peralatan dari logam dan perunggu, sedangkan suku Ainu kalah telak karena masih berburu dan mengumpulkan makanan. Dampak dari diusirnya suku Ainu ini akhirnya membuat suku Yayoi menguasai wilayah Jepang, dan mereka seakan-akan menjadi nenek moyang atau keturunan murni masyarakat Jepang sekarang ini.
 
Pada abad ke-19, Jepang mulai mengambil alih Hokkaido dan modernisasi diterapkan di seluruh Jepang. Hal ini membuat penduduk Jepang harus bermigrasi besar-besaran menuju Hokkaido, karena hanya kepulauan Hokkaido yang belum mendapat pengaruh modernisasi. Pada 1872, pemerintah Jepang membagikan tanah air suku Ainu kepada petani Jepang serta melarang penggunaan bahasa Ainu, dan penduduk suku Ainu dipaksa menggunakan bahasa Jepang serta mengganti identitas mereka dengan nama Jepang. Wanita-wanita suku Ainu juga dipaksa untuk menikahi masyarakat Jepang agar keturunan asli Ainu punah. Ritual-ritual dan budaya suku Ainu pun dilarang untuk dilakukan.
 
Jika terjadi penolakan dalam kebijakan tersebut, mereka akan dipaksa untuk bekerja tanpa dibayar. Masyarakat Ainu pun dipaksa untuk bergabung dengan masyarakat Jepang. Akibat fatal dari kebijakan tersebut pun membuat penduduk suku Ainu kesulitan untuk berkomunikasi dengan bahasa Jepang, dikucilkan dari masyarakat kebanyakan, dan akhirnya sedikit demi sedikit penduduk suku Ainu pun berkurang.
 
Pada 2009 UNESCO menetapkan bahasa Ainu sebagai bahasa yang dilindungi karena terancam punah. Melihat hal itu pun, pemerintah Jepang akhirnya memutuskan untuk melindungi suku Ainu dengan cara melestarikan budaya dan bahasa Ainu. Pada tahun 2019, setelah musyawarah bertahun-tahun lamanya, penduduk suku Ainu diakui sebagai penduduk asli Jepang oleh pemerintah Jepang. Sekarang, suku Ainu mulai diperkenalkan dengan dibangunnya Upopoy National Ainu Museum and Park di Shiraoi, Hokkaido. Selain itu pula, manga dan anime “Golden Kamui” karya Satoru Noda menjadi media lain untuk mengenalkan dan mengabadikan budaya suku Ainu.
 
Kesimpulannya, suku Ainu merupakan kelompok minoritas penduduk pribumi Jepang yang menetap di daerah Hokkaido. Suku Ainu merupakan ras keturunan Mongoloid dari Timur Laut dan Asia Tengah yang bermigrasi ke seluruh Jepang tepat ketika periode Jomon. Selama bertahun-tahun, mereka dikucilkan dan ditindas oleh masyarakat Jepang karena perbedaan budaya, bahasa, dan fisik mereka yang mencolok. Mereka dipaksa berbicara menggunakan bahasa Jepang, mengganti identitas mereka dengan nama Jepang, hingga melebur dengan masyarakat Jepang lain yang membuat mereka kesulitan untuk bertahan hidup. Namun setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya mereka mendapat pengakuan sebagai penduduk asli Jepang oleh pemerintah Jepang serta diabadikan dalam bentuk museum bahkan anime dan manga.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Desynta Putri Aryani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler