x

Rumah sakit kerap dianggap meng-COVID-kan pasien, meski sebenarnya yang terjadi adalah disinformasi

Iklan

Yudhi Hertanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2023

Minggu, 23 April 2023 06:50 WIB

Pendulum Kekuasaan di RUU Kesehatan

seorang ahli bedah saraf, Prof dr Zainal Muttaqin, SpBS, PhD, diberhentikan dari pekerjaannya di RS Kariadi Semarang, karena kerap memiliki pandangan dan suara berbeda yang disampaikan dalam tulisan di berbagai media. Bila sudah sedemikian jauh, upaya untuk membungkam opini dan pemikiran, terlebih menggunakan jalur kekuasaan, mungkin Anda bisa menebak kemana arah keputusan akan berlabuh?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sentralistik! Tersirat amanat dalam RUU Kesehatan yang dirumuskan melalui metode omnibus, saat ini tengah digodok bersama oleh pemerintah dan legislatif, membawa muatan untuk melakukan pemusatan kewenangan dibawah kementerian kesehatan.

Hal itu terlihat dari upaya mendorong proses pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit -hospital based. Dapat pula dicerminkan melalui mekanisme subordinasi BPJS Kesehatan di bawah Kemenkes.

Substansi RUU Kesehatan akan menjadikan Kemenkes sebagai lembaga yang memiliki peran secara powerfull, terkait tata kelola kesehatan nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa hal tersebut diatas, mengisyaratkan bahwa ada perluasan otoritas, yang akan menjadi bidang tugas dari Kemenkes, bahkan dari hulu hingga ke hilir.

Termasuk relasi yang terlihat superior, dalam konteks keterkaitannya dengan berbagai organisasi profesi kesehatan. Kemenkes menjadi poros sentral.

Metode hukum Omnibus yang dipergunakan, memang mengandaikan kerangka penggabungan beberapa undang-undang, dengan tujuan harmonisasi serta simplifikasi.

Pertanyaan mendasarnya, seperti apa evaluasi tumpang tindih antar undang-undang yang menaungi permasalahan kesehatan terjadi? Sekurangnya, 9 undang-undang akan digabungkan, dengan 4 undang-undang yang akan diubah.

Sebagian diantaranya termasuk produk legislasi yang masih muda, relatif baru. Semisal UU Keperawatan 2014, lalu UU Kekarantinaan Kesehatan 2018 dan UU Kebidanan 2019.

Dari durasi waktu pengesahan beberapa UU tersebut, terlihat jarak yang terlalu dekat untuk dilakukan rujukan perubahan.

Pada RUU Kesehatan ini, peran Kemenkes akan dikuatkan. Tentu saja hal itu dapat disambut baik, sebagai sebuah kesungguhan dalam mengelola sektor kesehatan.

Namun demikian pula sebaliknya, publik dapat pula bertanya sejauh mana efektifitas pencapaian tujuan tersebut bisa terlaksana. Pekerjaan Kemenkes menjadi semakin bertambah.

Pertanyaan setelahnya, dengan mengakumulasi seluruh tugas tersebut, RUU Kesehatan justru menghilangkan amanat yang esensial, yakni alokasi 10% anggaran kesehatan nasional diluar gaji pegawai.

Dengan demikian, secara rasional, mungkinkah apa yang diharapkan dapat menjadi sebuah kenyataan? Beban bertambah dengan ketidakpastian anggaran, adalah sebuah hal yang sulit dibayangkan.

Mungkinkah Kemenkes akan mampu mengurus berbagai hal yang selama ini telah dipisahkan, melalui beberapa kelembagaan lain? Jelas membutuhkan pengembangan organisasi, yang seturut kemudian menuntut penambahan sumberdaya. Tanpa dukungan anggaran keuangan, nampak mustahil.

Belum lagi menyoal kemudahan praktik bagi dokter asing, lalu akomodasi pengobatan tradisional. Ruang gerak bagi perkembangan ilmu kedokteran dan peningkatan kompetensi para dokter lokal menjadi semakin terbatas.

Keberadaan RUU Kesehatan ini harus dikaji ulang, bobot kepentingan publik ataukah ada kepentingan lain yang hendak dimenangkan? 

Proses penyusunan yang terbilang singkat, dengan minimnya partisipasi organisasi dibidang kesehatan. Meski public hearing digelar, tetapi hasil akhirnya tetap ditentukan oleh para pengambil kebijakan, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

Pada saat yang bersamaan, edaran di lingkup internal Kemenkes yang bocor di publik, tentang keharusan untuk mendukung RUU Kesehatan dan tidak memberikan komentar yang berseberangan, menambah rentetan pertanyaan baru.

Suara berbeda seolah tidak diperkenankan, padahal dinamika dan dialektika adalah cara untuk dapat memahami sebuah persoalan secara lebih utuh dan menyeluruh.

Di bagian akhir, terkait dengan aspirasi, seorang ahli bedah saraf, Prof dr Zainal Muttaqin, SpBS, PhD, diberhentikan dari pekerjaannya di RS Kariadi Semarang, karena kerap memiliki pandangan dan suara berbeda yang disampaikan dalam tulisan di berbagai media.

Bila sudah sedemikian jauh, upaya untuk membungkam opini dan pemikiran, terlebih menggunakan jalur kekuasaan, mungkin Anda bisa menebak kemana arah keputusan akan berlabuh?

Ikuti tulisan menarik Yudhi Hertanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler