x

Didownload dari WWW.Edu Papua.Com

Iklan

Richard Kalilago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Mei 2023

Jumat, 19 Mei 2023 16:06 WIB

Persebaran Bahasa daerah di Papua dan Analisis Pergeserannya; Kasus Bahasa Daerah Tepra dan Sentani Jayapura

Abstrak Tulisan ini didedikasikan khusus mendiang istri tercinta Maria F Suwae sebagai Tepra Iron Women, yang telah menjadi guru yang mengajari kami mengenal kebudayaan Tepra. Tulisan ini sebenarnya merupakan catatan kuliah dan tugas-tugas Mata Kuliah Etnolinguistik yang diasuh oleh Dr. Peter J Silzer ( Summer Institute Of Linguistic – UNCEN ) dan Dr Dan Ayamiseba ahli Etnolinguistik Pasifik tahun 1988 pada Jurusan Antropologi FISIP Uncen. Tulisan ini menyajikan pensebaran bahasa-bahasa daerah di Papua serta akan mengetengahkan beberapa informasi etnolinguistik sperti ; (1), Rumpun Bahasa Daerah dan Persebaran Bahasa Daerah di Papua (2). Analisis Pergeseran Bahasa Daerah di Papua, (3) Faktor-faktor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengantar

Menurut Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan yang melakukan Penelitian untuk pemetaan bahasa daerah di Indonesia yang dilaksanakan sejak 1991 hingga 2017 : Bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 668 bahasa dari 2.468 daerah pengamatan. Jika berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa di Indonesia berjumlah 750. Bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum semua teridentifikasi ( Infografik data Bahasa Daerah, 2018 ).

Pensebaran Bahasa-Bahasa Daerah di Papua

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara umum penduduk Papua dibagi dalam dua rumpun bahasa besar menurut pembagian bahasa yang digunakannya yaitu rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa Non-Austronesia. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam kelompok bahasa yang Austronesia seringkali disebut juga rumpun bahasa Melanesia, sedangkan rumpun bahasa Non-Austronesia atau seringkali disebut juga bahasa Papua.

Dua rumpun bahasa ini merupakan bahasa induk yang ke dalamnya tergolong bahasa-bahasa lokal yang terdapat di Papua. Jumlah bahasa-bahasa lokal yang ada di Papua, seperti yang dilaporkan oleh ahli-ahli bahasa yang bekerja di Papua, di bawah organisasi Summer Institute for Linguistics (SIL), adalah berjumlah kurang lebih 240 buah bahasa (Silzer – Haikinen 1986).

Tabloid Jubi, pada tahun tanggal 17 April 2014, menulis “TERNYATA ADA 307 BAHASA DAERAH DI PAPUA”. Artinya, terdapat perbedaan hingga 32 bahasa daerah dibanding dengan data yang selama ini ada. Fakta itu sekaligus memperkokoh posisi  Tanah Papua sebagai daerah yang paling banyak memiliki bahasa daerah dibanding daerah atau suku lain di Indonesia.   Ini adalah hasil penelitian tim Balai Bahasa Papua dan Papua Barat pada Tahun 2013 lalu, ternyata teridentifikasi ada 307 bahasa daerah di Tanah Papua,”kata Supriyanto Widodo, sebagai Kepala Balai Bahasa Papua dan Papua Barat, jumlah bahasa daerah itu tersebar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dan hari ini, ada kemungkinan, jumlah bahasa daerah di Papua dan Papua Barat telah bertambah jumlah namun berbanding terbalik dengan jumlah penutur bahasa daerah di tanah Papua yang terus mengalami penuturan jumlah. Misalnya saja, jumlah penutur bahasa daerah Tabatji di Teluk Yotefa hingga saat ini terus menurun, karena secara geografi kampung Tabatji dan Enggros saat ini berada di tengah kota, dibanding dulunya. 

Para penutur bahasa-bahasa lokal yang berbeda-beda satu sama lain ini, tergolong ke dalam rumpun atau bahasa induk Austronesia itu terdapat terutama pada masyarakat pantai, misalnya bahasa Biak, bahasa Wandamen, bahasa Waropen, dan bahasa Maya. Sebaliknya kelompok-kelompok penutur bahasa-bahasa Non-Austronesia  yang disebut juga sebagai bahasa Papua itu terdapat pada penduduk di daerah pedalaman dan Pegunungan Tengah, mulai dari Kepala Burung di sebelah barat sampai di ujung timur Pulau Nieuw Guinea, misalnya bahasa Meybrat, bahasa Dani, bahasa Ekari, bahasa Asmat, bahasa Muyu dan bahasa Sentani. Bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam bahasa Papua itu oleh para ahli linguistik terbagi ke dalam 10 phylum, yaitu Trans New Guinea Phylum, West Papuan Phylum, Sepik-Ramu Phylum, Toricelli Phylum, Sko Phylum, Kwomtari Phylum, Arai (Left May) Phylum, Amto-Musian Phylum, Geelvink Bay Phylum, dan East Bird's Head Phylum (Wurm & Hattori 1981). Pembagian tersebut kemudian diperinci ke dalam keluarga-keluarga bahasa sehingga satu phylum terdiri dari sejumlah keluarga bahasa dan masing-masing keluarga bahasa itu terdiri dari bahasa-bahasa lokal atau dialek tertentu. Upaya ke arah pengklasifikasian seperti ini dilakukan oleh Voorhoeve dan McElhanon (Voorhoeve 1975; McElhanon & Voorhoeve 1970).

Ahli bahasa yang pertama kali membuat pembagian bahasa-bahasa di Papua ke dalam dua rumpun  bahasa adalah seorang Austria bernama Müller 1876 (lihatlah terutama Vol. I:82, Vol. II:67, Vol. IV: 19). Pembagian tersebut kemudian dilengkapi oleh Ray (1926) dan Capell 1932-1933:).

Analisis Persebaran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Khusus untuk bahasa Tepra dan bahasa Sentani di Kabupaten Jayapura, tergolong dalam dua keluarga bahasa setingkat stock level, yaitu Demta Family dan Sentani Family langguage (Keluarga Bahasa). Dalam keluarga bahasa Sentani inilah terdapat bahasa daerah Tepra dan bahasa daerah Sentani.

Bahasa Tepra memiliki 3 dialect secara geografis, yaitu Dialek Yokari, yaitu Bahasa Tepra yang digunakan oleh kelompok masyarakat Tepra di sebelah barat, yaitu di distrik Yokari. Dialek Central Tepra, yaitu dialek bahasa daerah yang digunakan oleh kelompok masyarakat di Distrik Depapre, khusunya di kampung Tablanusu, Waya dan Tablasupa. Sementara dialek Tawano, adalah dialek bahasa Tepra yang digunakan kelompok masyarakat Tepra di Distrik Depapre ke sebelah timur, mulai dari kampung Yepase hingga Yongsu Desoyo (Distrik Ravenirara).

 
 

Bagan Analisis Bahasa Daerah Tepra

 

Bahasa Sentani juga memiliki 3 dialect secara geografis, yaitu Dialek Timur, yaitu Bahasa Sentani yang digunakan oleh kelompok masyarakat Sentani di sebelah timur, yaitu di kampung Yoka, Waena, Nolokla, Asei, Kampung Harapan, Netar, Itakiwa, Ayapo dan Puay.

Dialek Central Sentani, yaitu dialek bahasa daerah yang digunakan oleh kelompok masyarakat di kampung, Ajau, Ifale, Ifar Besar, Kehirang, Hobong, Ebungfa, Abar, Atamali, Putali, Kessio, Yosiba, Simporo, Babrongko, Yobo, Sentani dan Dobonsolo, Sereh Yobe. Sementara dialek Barat, adalah dialek bahasa Sentani yang digunakan kelompok masyarakat Sentani di Kampung Kanda, Donday, Kwadeware, Boroway, Yakonde, Sosiri, Doyo Lama dan Doyo Baru, Bambar.

 
 

Bagan Analisis Bahasa Daerah Sentani

 

Analisis Pergeseran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Berbicara mengenai pergeseran bahasa daerah di Papua, sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan dan kemajuan pembangunan Papua sejak abad lalu, ketika dimulainya kontak antara pribumi dengan para pelancong dari luar dan sedikit lebih intensif ketika era pekabaran Injil di Papua, karena bahasa yang digunakan ketika itu adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu (Indonesia). Bahkan para pekabar Injil menggunakan bahasa Melayu untuk mengabarkan Injil di Papua ketika itu.

Indikator untuk menganalisis kasus pergeseran bahasa daerah dalam kajian etnolinguistik memang ada beberapa aspek, namun dalam tulisan ini, kami mengambil dua indicator untuk melihat kasus pergeseran bahasa daerah Tepra dan Sentani, yaitu indicator jumlah penutur bahasa daerah bersangkutan dan gab komunikasi antara generasi terdahulu dengan generasi saat ini.

Jumlah populasi di distrik Depapre pada tahun 1984 yang dicatat oleh Peter Silzer – Helja Heikkinen tercatat 3.600 orang  dan jumlah ini merupakan jumlah penutur bahasa daerah, mengingat ketika itu, distrik Depapre belum berkembang seperti saat ini. Sementara jumlah populasi di Distrik Sentani pada tahun 1984 tercatat 25.000 orang populasi dan dapat dipastikan semuanya merupakan penutur bahasa daerah Sentani yang fasih ( Index Of Irian Jaya Langguages 1984 )

Beberapa saat, kami mengamati percakapan-percakapan antar individu, baik dalam keluarga maupun di halayak umum, baik antar individu satu generasi maupun antar generasi terdahulu dengan generasi saat ini, terlihat adanya kesenjangan dalam berkomunikasi, dimana ada banyak istilah-istilah dalam bahasa daerah yang kurang atau bahkan tidak dapat dipahami oleh lawan komunikasi dan rata-rata yang terjadi itu, komunikasi antar generasi terdahulu dengan generasi saat ini. Kami pikir, gejala pergeseran bahasa daerah sedang terjadi meskipun berjalan lambat, namun pasti.

Faktor-faktor Pendorong Pergeseran Bahasa Daerah Tepra dan Sentani

Untuk Sesungguhnya, ada banyak factor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa daerah namun kami hanya menyajikan beberapa factor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah perlu disimak sejarah peradaban Orang Papua secara keseluruhan, tetapi juga peradaban Orang Sentani dan Tepra khususnya pada aspek komunikasi dan bahasa yang digunakan ketika itu. Bebera aspek yang dapat kami sebutkan sebagai berikut ;

  1. Kontak Dengan Dunia Luar dan Penginjilan di Tanah Tabi

Diakui bahwa kontak pertama Orang Papua yang mengubah peradaban Orang Papua, terjadi pada tanggal 5 Februari 1855 di pulau Mansinam, Teluk Doreri, ketika dua penginjil Ottouw dan Geisller menginjakkan kaki di sana. Beberapa sejarahwan Gereja mengungkapkan bahwa sebelum dua penginjil asal Eropa itu tiba di Papua, terlebih dahulu mereka berdua belajar bahasa Melayu di Batavia. Setelah beberapa waktu belajar di Batavia, mereka berdua tiba di Kesultanan Tidore.

Kontak orang Sentani dan sekitarnya dengan dunia luar (orang Eropa) terjadi pada akhir abad lalu, ketika seorang Inggris bernama Doherty mengunjungi Danau Sentani pada tahun 1892 (Galis & Van Doornik 1960:4). Kunjungan tersebut terjadi 16 tahun sebelum pengawas pos pemerintah tuan Windhouwer, membuka pos pemerintah Hindia Belanda yang pertama dan resmi di Pulau Metu Debi, Teluk Yotefa, pada tahun 1908 (Dubois 1961:28). Kunjungan orang asing kedua di Danau Sentani terjadi pada tahun 1893 oleh Pendeta Bink yang berada di sana selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Setelah kedua kunjungan pertama tersebut, banyak kunjungan oleh orang Eropa ke daerah ini terjadi kemudian.

Pos pemerintah Belanda yang pertama di daerah Danau Sentani dibuka di Koyabu yang terletak di ujung timur laut danau (Pantai Waena sekarang) pada tahun 1916. Pos tersebut pada tahun 1921 dipindahkan ke Doyo Baru tetapi tidak lama kemudian berpindah kembali ke Koyabu pada tahun 1926.

Selain pembukaan pos pemerintah, pihak pekabaran injil dari agama Kristen Protestan telah berupaya untuk membuka wilayah penginjilannya di daerah ini sejak kunjungan pendeta Bink (1893). Upaya tersebut baru kelihatan pengaruhnya sekitar tahun 1921 sampai tahun 1926 ketika terjadi pemusnahan terhadap benda-benda yang dianggap berhala melalui pembakaran bangunan-bangunan obe (tempat menyimpan benda-benda magi) dan khombubulu (tempat inisiasi para pemuda remaja).

Pembakaran bangunan-bangunan untuk memusnahkan benda-benda berhala itu dilakukan di semua kampung dan sejak itu masyarakat tidak lagi melaksanakan upacara adat inisiasi bagi para pemuda remaja di daerah ini (Galis & Van Doornik 1960; Siregar 1987:33). Selanjutnya daerah ini secara resmi dinyatakan sebagai wilayah penginjilan Zending der Nederlandsche Hervormde Kerk (ZNHK) pada tahun 1928.

Bersamaan dengan itu pula dibuka sekolah-sekolah desa yang pertama di daerah Sentani. Proses modernisasi yang dibawa baik oleh pemerintah maupun oleh gereja ke daerah tersebut yang dimulai pada awal dekade kedua abad ini sampai sekarang membawa banyak perubahan baik yang bersifat positif maupun yang negatif seperti yang terjadi di waktu sekarang.

Jauh sebelum masuknya pengaruh asing dari Eropa di daerah ini, telah terjadi kontak antara penduduk setempat dengan dunia luar. Kapan dan dengan siapa tidak ada informasi yang pasti, namun sejumlah benda budaya yang terdapat di daerah ini menunjukkan adanya hubungan itu, secara langsung atau tidak langsung. Seperti yang dikemukakan di atas, di sekitar Danau Sentani terdapat sejumlah benda perunggu yang oleh penduduk Sentani sekarang tidak diketahui asal usulnya. Benda-benda itu merupakan peninggalan kebudayaan Dongsong kurang lebih 2.000 tahun yang lalu. Terdapatnya benda-benda kebudayaan Donsong di daerah ini menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan tersebut sampai juga di daerah ini.

Kecuali benda-benda perunggu itu, di sekitar Danau Sentani dan daerah-daerah lainnya di kawasan timur laut Papua, yaitu pada masyarakat-masyarakat yang mengenal sistem kepemimpinan ondoafi, terdapat benda-benda berupa gelang dan kalung manik-manik yang mempunyai nilai barang bergengsi (prestige goods).

Benda-benda ini mempunyai nilai tinggi karena digunakan sebagai alat pembayar maskawin, alat pembayar denda atau alat pembayar lain yang bersifat adat (Tim Universitas Cenderawasih 1973), juga karena jenis-jenis tertentu dari benda-benda itu hanya dimiliki oleh kelompok penguasa dalam masyarakat dan tidak oleh rakyat biasa.

Sejauh ini kita belum mendapat keterangan pasti tentang asal usul benda-benda tersebut dan kapan benda-benda itu menyusup ke dalam kebudayaan masyarakat setempat, namun ceritera-ceritera lisan yang diwariskan menceriterakan bahwa benda-benda itu dibawa ke daerah ini oleh para pedagang dan pemburu burung cenderawasih yang berasal dari Maluku (Ternate dan Tidore) beberapa abad yang lalu (Oscar Siregar 1987:31).

Perlu diketahui bahwa bahasa yang digunakan pada kontak pertama ini, adalah bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia, dan hal ini telah mendorong masyarakat Sentani dan sekitarnya menggunakan bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa verbal. Setelah kontak pertama itu, para pekabar Injil yang masuk kemudian, juga melakukan penginjilan di wilayah Sentani dan Tepra menggunakan bahasa Belanda dan Indonesia. Dengan demikian, kondisi ini telah mendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah meskipun berjalan lambat, namun secara pasti pergeseran bahasa ini terjadi.

  1. Nasionalisme dan Kemajuan Pembangunan Wilayah

Memasuki tahun 1892, ketika Penginjil Bink dan pembukaan Pos Pemerintah Belanda di Danau Sentani 1921, dimulailah tahapan pembangunan wilayah. Banyak instalasi penting pemerintah yang di bangun dengan mengerahkan tenaga kerja dari seluruh Papua tetapi juga dari luar Papua dibawa pemerintah untuk membangun instalasi penting pemerintah Belanda seperti instalasi kesehatan, instalasi pertanian di Kampung Harapan, Kemiri, Genyem dan juga di Manokwari.

Setelah tahapan kontak pertama dan penginjilan, Pemerintah Indonesia masuk ke Papua dan mulai membuka isolasi daerah tahun 1960-an. Dengan kembalinya Papua ke Pangkuan Ibu Pertiwi, maka masuk juga faham kebangsaan yang mengharuskan masyarakat Papua termasuk Orang Tepra dan Orang Sentani ketika itu, harus menggunakan bahasa Indonesia.

Sekolah-sekolah dibangun, untuk memajukan sumber daya manusia Papua, isolasi terbuka bagi dunia luar dan banyak orang datang ke Papua. Kemajuan-kemajuan pembangunan diberbagai sector berjalan begitu cepat untuk mengejar ketertinggalan Papua dalam berbagai sector pembangunan itu, disatu sisi, membawa angin segar, karena keberhasilan dan kemajuan yang dicapai, namun berdampak  negative pada perkembangan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, yang ikut tergerus arus kemajuan pembangunan wilayah.

Dengan semakin gencar kemajuan Papua dalam pembangunan di segala sector sekaligus mengundang banyak Orang lain untuk datang dan menetap di tanah Papua dan terjadi perkawinan campur (asimilasi) antara Orang Papua dengan para migrant yang datang. Hal ini juga disinyalir merupakan salah satu factor adanya pergeseran bahasa daerah, terutama bahasa daerah Tepra dan Sentani.

Faktor lain yang turut mendorong adanya pergeseran bahasa daerah di Papua adalah factor letak beberapa daerah yang dulunya masih terisolasi karena belum ada jalan penghubung, namun saat ini daerah-daerah ini, berada di tengah kota yang cukup maju. Hal ini juga merupakan salah satu factor pendorong terjadinya pergeseran bahasa daerah di Papua.

Dampak Pergeseran Bahasa

Pada dasarnya membicarakan dampak pergeseran bahasa daerah ada dua aspek yang mendasar, yaitu dampak positif dan dampak negative, namun dalam hal ini, kami hanya membicarakan dampak saja, kami berharap pembaca menilai dampak pergeseran bahasa daerah itu sendiri.

Dampak yang menonjol dari pergeseran bahasa daerah ini adalah adanya gab komunikasi antara generasi terdahulu dengan generasi saat ini (Generasi Milenial). Hal ini nampak jelas, ketika kami mengamati komunikasi verbal di Sentani dan Depapre, dimana beberapa orang tua dari kedua suku ini, berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Para orang tua menggunakan bahasa daerah kepada anak-anaknya, namun anak-anak mereka membalasnya dengan bahasa Indonesia dan bahkan disisipi juga dengan bahasa asing yang kurang dipahami oleh orang tua. Ujung-ujungnya rancu, karena pesan tidak dipahami secara baik oleh masing-masing pihak.

Dampak lain dari pergeseran bahasa daerah adalah beberapa aspek yang sifatnya rahasia dalam satu keluarga atau suku yang sangat berwibawa, ketika dikomunika-sikan dengan menggunakan bahasa daerah, saat ini sudah menjadi rahasia umum, karena dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pada akhirnya, tak ada lagi yang bersifat rahasia dalam satu keluarga atau sekelompok suku.

Dampak pergeseran bahasa daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitarnya, dimana nama-nama sumber daya alam yang dahulunya bersifat religious-magis atau keramat (pamali/tabu ) dengan menggunakan bahasa daerah yang disandangnya, namun saat ini, nilai-nilai sumber daya alam itu terasa dapat nampak telah luntur nilai-nilai religious-magisnya. Contoh kasus yang dapat kami sampaikan disini adalah kasus lunturnya nilai-nilai religious-magis pada Hutan di kaki gunung Pegunungan Cycloop  yang pada jaman dahulu adalah tempat keramat dan tidak boleh diganggu, namun saat ini bukan lagi kawasan kaki gunung itu telah terbuka luas untuk perladangan penduduk. Dasarnya apa? Ternyata karena lunturnya nilai-nilai religious-magis kawasan kaki gunung Pegunungan Cycloop pada pemilik hak ulayat. Hal ini telah mendorong terjadinya pelepasan hak ulayat ke para migrant untuk dijadikan perladangan, perkantoran, kampus dan perumahan penduduk.

Solusi

Solusi yang dapat kami sarankan kepada berbagai pihak antara lain  ;

  1. Generasi milinium saat ini, jangan merasa minder menggunakan bahasa daerahnya. Kita harus merasa bangga dengan bahasa daerah kita.
  2. Adanya peraturan daerah yang mendukung penggunaan bahasa daerah dalam kebaktian hari minggu paling tidak sekali dalam sebulan.
  3. Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah
  4. Sekolah perlu menetapkan kurikulum muatan local bahasa daerah dan Culture Awareness sebagai mata pelajaran di sekolah

Referensi

Kemendikbud RI

2018

Infografik data bahasa daerah di Indonesia

 

Peter J Silzer-Helja Heikkinen

1984

 

Bulletin Of Irian Jaya volume 12, tahun; Index of Irian Jaya Langguages,  SIL - UNCEN.

 

JR Mansoben

1995

 

 

Kepemimpinan Tradisional di Irian Jaya LIPI, Jakarta.

O M T Siregar

1987

Sistem Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Sentani, Irian Jaya: Suatu Studi di Desa Ajau Sentani-Tengah'. Jayapura: Universitas Cenderawasih [Skripsi S-l].

 

Galis, K.W. & H.J. van Doornik

1960

 

50 Jaar Hollandia. Hollandia: Landsdrukkerij.

 

Supriyanto Widodo

17 April 2014

 

Dalam Tabloid Jubi, “TERNYATA ADA 307 BAHASA DAERAH DI PAPUA”.

 

Wurm, S.A. & C.L. Voorhoeve & K. McElhanon

1975

 

The Trans-New Guinea Phylum in General. Pacific Linguistics, Series C, 38:299-322.

 

Muller, F.

1876

 

Grundrisse der Sprachwissenschaft [4 Vols]. Vienna: Hölder.

 

Wurm, S. A. & S. Hattori

1981

 

Language Atlas of the Paciflc Area. Canberra: Australian Academy of Humanities.

 

Ray, S.H.

1926

 

A Comparative Study of the Melanesian Island Language. Cambridge: Oxford University Press.

 

Dubois, J.J.W.

1961

 

Memorie van Overgave van de Onderafdeling Hollandia. 1960-12 Augustus 1961.

 

Richard Kalilago & Maria F Suwae 2022

 

 

Sistem Pengetahuan Tradisional Orang Tepra –Yewna

Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pada Landscape dan Seascape Tradisional, 2022.

Ikuti tulisan menarik Richard Kalilago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu