x

image: Art of Vaida Works

Iklan

Alfin Robeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Senin, 12 Juni 2023 09:13 WIB

Lelaki dan Penantian

Ia menekuri kembali pertanyaannya. Tenggelam dalam lamunan yang amat sangat menghanyutkan. Mengenang segala peristiwa di masa yang telah ia lalui. Mencoba menembus batas-batas cakrawala. Memasuki dunia yang teramat dalam pada batinnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Ah, sungguh tak ada penderitaan yang lebih menyakitkan daripada penantian yang amat panjang."

Beberapa manusia lalu-lalang mengejar impiannya masing-masing. Apa pun telah mereka lakukan untuk mencapai tujuan. Ada seorang yang rajin membaca, ada yang begitu sibuk membuka laptopnya, dan lain-lain.

Lelaki berambut ikal mengasyikkan dirinya dengan sibuk merenung. Nampak berbeda dari orang-orang sekitarnya yang sibuk dengan langkahnya untuk mimpi dan impian. Sedang ia memilih sibuk berdiskusi dalam pikirannya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Kenapa harus dengan impian supaya bahagia?"

"Iya. Setelah impian itu tercapai pasti bahagia."

"Kenapa harus bahagia?"

"Iya, itu tujuan manusia di dunia."

"Kenapa tidak mengejar penderitaan saja?"

Kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia sudah siapkan jawabannya sendiri. Tubuhnya kian letih dan tampak malas-malasan. Tanya-jawab itu menguras tenaga pada jiwa dan jasadnya. "Ah, aku semakin lelah."

Ia mengambil sebatang rokok di saku bajunya, lalu menyulutnya. Husss. Menarik nafas dalam-dalam guna menetralkan kondisi kepalanya. Satu kali hisapan, tak mampan. Dua kali, sedikit tenang. Selebihnya terasa nyaman dan aman.

Sudarjo datang ketika ia melihat kawan sebayanya (lelaki berambut ikal) merenung. Ia menebak apa yang kawannya lakukan. "Dia pasti tak kuasa menahan hasratnya." Andai ia dapat jujur, pasti atau mungkin akan lebih baik. Meluangkan kemesraan di setiap sela-sela waktu, hingga mampu untuk bahagia.

"Kawan! Sudahlah, kau ikuti saja apa yang kau inginkan dan tak usah kau menahannya. Jika terus-terusan begini, mampus kau dengan penderitaan." Ia hanya diam tak menggubris perkataan temannya.

Sudarjo mulai miris melihat kondisi kawannya. Ia bergegas pergi tanpa pesan terakhir. Lelaki berambut ikal melanjutkan narasi dan beberapa tanya-jawab dalam pikirannya.

"Andai saja orang lain dapat tahu apa yang aku rasakan."

"Iya, itu hal yang tak akan terjadi. Aku tak dapat memasuki dunia meraka, begitupula mereka tak dapat memasuki duniaku."

"Namun, kenapa dengan penderitaan?"

"Bukankah kebahagiaan yang mereka impikan tak akan ada tanpa penderitaan."

"Kenapa mereka menafikan penderitaan?"

"Iya, barangkali karena penderitaan menyakitkan."

"Namun apa salahnya? hal itu adalah syarat dari kebahagiaan."

Ia mulai lelah kembali. Pertikaian dengan diri sendiri sangatlah menguras tenaganya. Jiwa, jasad dan hatinya bergetar tak nentu. Sebab pikiran.

***

Husss. Satu batang rokok baru saja ia sulut. Dengan tetap berada di posisi yang sama, tak bergeser sedikitpun. Kursi yang ia duduki seakan mengerti tugas dan bagaimana ia harus menopang perasaan lelaki di atasnya. Ia beranjak dari kursi, mengambil buku di atas lemari. Memilih-memilah. Mengambil beberapa buku filsafat. Lalu kembali pada posisi awal. Ia mulai membaca dengan tenang. Melewati beberapa macam pemikiran filsuf. Ia mulai menyelami perdebatan di tiap-tiap antara.

Herakleitos filsuf pra-sokrates mengatakan bahwa hidup ini selalu berubah, "Pantha Rhei". Berseberangan dengan pemikiran Parminides yang mengatakan hidup ini tetap dan tak ada perubahan sedikitpun. Pada beberapa dekade selanjutnya ia bertemu dengan Plato yang mencoba menjembatani antara pemikiran kedua filsuf Yunani sebelumnya dengan Dunia Ide.

Ia terus saja membuka lembaran buku-bukunya. Selesai hatam satu, ia lanjut membuka buku-buku baru. Melahap berjuta-juta kata menuju kalimat, paragraf dan seterusnya.

"Aku telah menikmati jalan-jalan ini. Dari blusukan ke berbagai pelosok termasuk sela-sela kata,"

"Aku tak menemukan jawaban yang aku cari."

Pikirannya diam-diam menggerogotinya dengan damai. Lagi-lagi penderitaan kian hadir. Sebentar nyaman dan tentram. Sebentar gundah gulana. Begitupun selanjutnya. "Apa obat yang selama ini aku nanti?"

Ia semakin kesal karena tak dapat mengetahui yang ia cari selama ini. Menyulut lagi rokok sebatang. Membaca kembali beberapa pemikiran-pemikiran filsuf. Sedikit tenang dan nyaman. Pada posisi yang sama, ia memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam, seraya bergumam kesana kemari. Mencari apa yang tak dapat ia jawab dengan sendirinya. Beberapa menit kemudian ia teringat akan suatu hal. "Iya" Ia baru saja ingat. "Cinta."

"Apa yang dimaksud Cinta?"

"Ketertarikan dua seorang insan, itukah cinta?"

"Apakah cinta hanya persoalan seksualitas?"

"Atau kehidupan yang penuh dengan damai, disebut cinta?"

"Atau hubungan aku dan tuhan itu cinta?"

Ia menekuri kembali pertanyaannya. Tenggelam dalam lamunan yang amat sangat menghanyutkan. Mengenang segala peristiwa di masa yang telah ia lalui. Mencoba menembus batas-batas cakrawala. Memasuki dunia yang teramat dalam pada batinnya.

Tubuhnya kian letih tak berdaya. Ia tak kuasa lagi menyebut pertanyaan-pertanyaan. Apalagi jawaban. Ia meringkih dengan tangisan. Menjatuhkan tubuhnya pada lantai yang mulai penuh dengan air mata. Lalu bergumam sendiri. "Dari sekian banyaknya kata yang aku lahap. Aku tetap lemah pada satu kata. Cinta."

Sayup-sayup udara dan suara angin yang berhembus menabrak dedaunan. Menemaninya seakan tahu-menahu apa yang sedang ia nanti. 

Ikuti tulisan menarik Alfin Robeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu