x

Ilustrasi : Aksi Perjuangan Kaum Buruh Indonesia

Iklan

Nabila Febrianti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2023

Kamis, 22 Juni 2023 08:36 WIB

Menilik Kerentanan Perempuan dalam Ancaman Perbudakan Modern

Terutama bagi perempuan, alih-alih mendapatkan keamanan dan kesempatan memperbaiki taraf hidup melalui kesempatan kerja yang terbuka lebar di beragai sektor industri yang marak di bangun, perempuan justru harus mengadu nasib secara lebih mengenaskan sebagai kelas pekerja yang diperah habis-habisan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Isu mengenai Omnibus Law yang telah berevolusi menjadi Undang-Undanh Cipta Kerja, terus bergulir hingga membuahkan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Pengesahan terebut menjadi kado istimewa yang diberikan pemerintah di tengah gonjang-ganjing penolakan atas ditemukannya kecacatan formil dan inkonstitusionalnya Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini menjadi batu besar bagi perjalanan nasib buruh di Indonesia yang masih terus mengusahakan kesejahteraan serta jaminan pekerjaan.

Ragam pembangunan proyek strategis dan objek vital, pembangunan kawasan industri yang dikatakan potensial hingga usaha-usaha menghidupkan pariwisata di berbagai daerah merupakan akal bulus pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan atensi menguntungkan pemiliki modal melalui peraturan-peraturan pemanfaatan sumber daya manusia non-humanis, serta pemaksimalan sumber daya alam yang mengabaikan potensi kerusakan. Dengan kata lain, pemerintah berusaha memfasilitasi pemilik modal untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya alam tanpa repot-repot menjamin kesejahteraan serta keselamatan bagi keduanya.

Hal ini dibuktikan dengan lancarnya pasal-pasal bermasalah mampu menerobos pengesahan undang-undang yang dilakukan oleh wakil rakyat. Di samping itu, berlakunya suatu undang-undang juga menjadi titik tumpu pertimbangan bagi para investor dalam menanamkan modal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setidaknya terdapat tujuh pasal bermasalah yang menjadi problematika bagi kalangan buruh yaitu Pasal 81 Angka 15 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja mengenai ketentuan batas waktu pekerjaan yang menjadi ancaman bagi pekerja untuk mendapatkan kepastian waktu kerja. Pasal 81 Angka 42 Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang menyisipkan Pasal 154A mengenai ancaman aturan pemutusan hubungan kerja serta penghapusan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan mengenai pesangon bagi tenaga kerja yang mengalami PHK.

Lalu Pasal 64 Tenaga Alih Daya mengenai penggunaan tenaga alih daya atau outsorching yang mengancam ketidakpastian hubungan kerja. Pasal 79 dan Pasal 84 mengenai Cuti Panjang yang tidak lagi menjadi kewajiban bagi perusahaan untuk diberikan kepada tenaga kerja. Pasal 88C, 88D, 88F Upah Minimum UU Cipta Kerja, yang berpotensi menciptakan upah murah berdasarkan kehendak perusahaan. Pasal 78 Waktu Kerja Lembur UU Cipta Kerja yang mengatur jam kerja lembur lebih tinggi namun tanpa kejelasan upah.

Ada ajuga Pasal 59 Ayat (4) Kontrak Seuur Hidup dan Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) Pemotongan Waktu Istirahat UU Cipta Kerja. Ambisi pemerintah Indonesia untuk menyelerasakan kedudukan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kancah International sebagai tujuan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, tidak dibarengi dengan aturan-aturan yang berpihak pada kesejahteraan tenaga kerja, sehingga poin utama dalam kontestasi pertumbuhan ekonomi dunia ini, menempatkan rakyat dalam ancaman perbudakan modern.

Nasib perempuan justru semakin direntankan sebagai imbas dari pelemahan tenaga kerja melalui rangkaian peraturan perundang-undangan yang bertumpu pada Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Sebelumnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia memiliki cukup aturan mengenai perlindungan hak pekerja perempuan, meskipun pada kenyataannya banyak perusahaan yang enggan memberikan hak pekerja perempuan berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Bahkan banyak pekerja perempuan yang tidak dapat menjangkau hak-haknya terutama pekerja perempuan dalam sektor informal. Terlebih lagi hal ini diperparah dengan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang semakin mempersempit pemberian hak-hak pekerja oleh perusahaan.

Secara garis besar terdapat dua poin utama yang menyebabkan perempuan semakin tersudut oleh kerentanan. Pertama, adalah hal-hal yang berkaitan dengan peraturan ketenagakerjaan itu sendiri, serta yang kedua adalah hal-hal yang berkaitan dengan terancamnya ruang hidup perempuan sebagai bagian dari masyarakat dalam lingkar budaya patriarki. Praktik-praktik dehumanisasi dalam lingkungan kerja yang melibatkan perempuan sebagai korban, nyata dan banyak terjadi dimana-mana. Mulai dari kasus buruh perempuan pabrik es krim Aicee sejak 2019, problematika buruh perempuan di perkebunan sawit yang mencuat pada tahun 2020, kasus kekerasan terhadap buruh perempuan oleh TKA di PT Taekwang Industrial pada 2021, hingga yang terbaru adalah kasus perpanjangan kontrak kerja salah satu perusahaan di Cikarang yang mengharuskan pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual, dimana kasus tersebut mencuat pada awal bulan Mei 2023.

Melihat rentetan kasus yang terjadi berulang seperti disebutkan sebelumnya, menjadi bukti lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan. Bahkan belum termasuk didalamnya seabrek masalah-masalah yang disebabkan oleh kultur patriarki yang terus menekan posisi perempuan, menciptakan diskriminasi gender, dan kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan marginalisasi pekerja perempuan. Lantas bagaimana nasib pekerja perempuan paska disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022?

Apabila melalui undang-undang tersebut, pemerintah memberikan keleluasaan dan melonggarkan aturan-aturan mengenai tenaga kerja kepada perusahaan, maka dapat di reka bahwa ancaman perbudakan modern akan menjadi kenyataan seiring berjalannya waktu. Menurut laporan yang di keluarkan oleh Investor.id pada Mei 2023, setidaknya terdapat 11 perusahaan baru yang masuk dalam bursa Indonesia. Penyerapan tenaga kerja memang akan terjadi, dan pertumbuhan ekonomi negara akan meningkat melalui sirkulasi industri.

Namun, hal tersebut berbanding lurus dengan marginalisasi tenaga kerja Indonesia. Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 menjadi magnet yang menarik banyak investor dan para oligarki untuk membangun istananya tanpa repot-repot memikirkan soal penindasan manusia. Pada masa dimana pekerjaan menjadi suatu hal yang sulit untuk didapatkan, serta kemakmuran masyarakat menjadi barang langka, frasa “bertahan hidup” akan menjadi pegangan darurat bagi masyarakat untuk mengambil resiko perbudakan di tengah sulitnya mendapatkan jaminan kesejahteraan bagi pekerja.

Terutama bagi perempuan, alih-alih mendapatkan keamanan dan kesempatan memperbaiki taraf hidup melalui kesempatan kerja yang terbuka lebar di beragai sektor industri yang marak di bangun, perempuan justru harus mengadu nasib secara lebih mengenaskan sebagai kelas pekerja yang diperah habis-habisan. Terlebih lagi bagi masyarakat kelas menengah kebawah, menggantungkan hidup pada pencari nafkah tunggal dalam rumah tangga menjadi kenyataan pahit yang sulit dilakukan.

Ikuti tulisan menarik Nabila Febrianti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler