x

Gerobak Sapi. Gerobak sapi melintasi jalan di wilayah Kabupaten Bantul, DIY, Rabu (23/2/2022). Di Dusun Jodog, Desa Gilangharjo, Bantul, paguyuban gerobak sapi menawarkan wisata keliling perdesaan. (Foto Antara/Hery Sidik)

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 5 Agustus 2023 15:16 WIB

Tak Ada Bajingan yang Tolol

Bajing dan bajingan adalah dua kata yang berbeda makna. Bajingan bukan turunan dari kata bajing. Bajing nama hewan dan bajingan nama profesi. Jika sekarang diperbincangkan bajingan yang tolol, itu adalah salah kaprah. Kenapa kita gemar memaki dengan menyebutkan nama-nama hewan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Ungkapan “bajingan tolol” sudah berhari-hari diperbincangkan. Bukan saja di berbagai media baik itu televisi mau pun media sosial, juga digaungkan lewat aksi unjuk rasa di berbagai kota. Ungkapan dengan nada negatif ini juga sudah masuk ke lingkungan Istana. Adalah Rocky Gerung, pengamat politik yang kritis menyuarakan berbagai ketimpangan di negeri ini, melahirkan kata “bajingan tolol” itu. Rocky menyampaikannya pertama kali ketika memberikan orasi di hadapan kaum buruh di Bekasi. Siapa yang dimaksudkan sebagai “bajingan tolol” itu? Meski tak disebutkan secara jelas seorang nama, namun dikaitkan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Cina mempromosikan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Jokowi dihina oleh Rocky Gerung. Itulah opini yang akhirnya menyebar ke penjuru Nusantara. Jokowi sendiri menanggapi dengan santai dan singkat: “Itu urusan kecil, saya fokus kerja saja.” Namun, urusan kecil ini menjadi besar ketika para pendukung Jokowi melakukan gerakan mempolisikan Rocky Gerung. Kini, bukan saja polisi yang sibuk, juga para Menteri, staf kantor kepresidenan, bahkan termasuk kader partai politik.

Saya tak bermaksud untuk ikut sibuk. Saya bukan pengamat politik. Lagi pula tidak kenal dekat dengan Rocky Gerung. Hanya sekali pernah bertemu dalam sebuah seminar yang digagas (almarhum) Radar Panca Dahana di Jakarta. Rocky diundang menjadi moderator dan saya salah satu yang ikut nimbrung sebagai pembicara. Langsung akrab dan bercanda. Rocky orang cerdas yang menyenangkan. Rocky menyebut saya “pendeta jurnalis”, yang membuat saya heran, kok Rocky tahu saya? Saya jadi ge-er dan beruntung tidak disebut dungu.

Dengan pengantar ini saya bermaksud untuk menjelaskan bahwa saya mengikuti pemikiran seorang Rocky Gerung, termasuk tahu bagaimana dia senang naik gunung. Namun, karena saya bukan politikus apalagi menjadi pengamat politik – padahal ini ladang bisnis menjelang pemilu – ungkapan “bajingan tolol” tidak saya bahas secara politis. Saya menyorotinya dari sisi kata-kata atau mungkin bisa disebut dari sudut budaya dalam arti yang luas. Kesimpulan saya adalah “bajingan tolol” itu tidak ada, jauh panggang dari api. Ini salah kaprah.

 

Bermula dari Kamus

Kata bajingan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ternyata ditulis sangat singkat. Kamus merujuk ke kata: bajing = ba.jing.an. Lalu dengan penjelasan: 1. penjahat, pencopet. 2. kas kurang ajar (kata makian)

KBBI meletakkan kata bajingan di dalam pemaknaan kata bajing. Padahal sependek pengetahuan saya soal bahasa, kata bajing dan bajingan itu dua hal yang berbeda. Harusnya KBBI memaknakan kata bajingan secara mandiri, karena bajingan jelas bukan turunan kata bajing. KBBI pun menyebutnya  begitu, tidak ada turunan dari dua kata itu antara bajing dan bajingan.

Apa arti bajing dan bajingan yang hidup di tengah masyarakat? Bajing itu adalah nama lain dari tupai.  Ini adalah hewan atau golongan satwa. Ada pun bajingan (bukan bajing dengan akhiran “an”) adalah istilah lain dari kusir (pengemudi) gerobak khas Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditarik dengan sapi. Saya kebetulan pernah berkeliling mengamati gerobak khas daerah, jarang ada gerobak ditarik seekor sapi. Angkutan tradisional ini tersebar di berbagai daerah, ada yang bernama cikar, andong, dokar, pedati, cidomo, gedebeg dan lainnya, tetapi umumnya ditarik oleh kuda. Di Kabupaten Jembrana, Bali, ada yang ditarik oleh kerbau.

Di era modern saat ini, angkutan tradisional itu masih tetap ada, kalau kita rajin berkunjung ke pedesaan. Angkutan ini tak membutuhkan jalan tol. Di kota Yogya sendiri sampai tahun 1990-an, gerobak sapi ini masih melintas di jalan utama mengangkut kertas gulungan untuk mencetak surat kabar. Ada pun di pedesaan, gerobak sapi ini masih banyak ada, mengangkut gabah, tebu, kayu bakar dan hasil pertanian lainnya. Dan ini yang hebat, gerobak sapi ini tetap dipertahankan dengan “tugas baru”, jadi sarana angkutan wisata. Hal ini, misalnya, dikembangkan di Kabupaten Sleman,. Setidaknya ada enam kecamatan di Kabupaten Sleman yang gerobak sapi dengan pemegang kendali yang disebut bajingan itu tetap eksis. Dan para bajingan ini punya perkumpulan yang setiap tahun bikin acara budaya. Bajingan itu tak kalah hebat dari pemain ketoprak atau wayang orang yang kini justru hampir punah. Ini sedikit pertanda para bajingan jauh dari tolol.

Media online Yogyapos.com pernah menulis tentang para bajingan ini yang menggelar pesta budaya. Pesta itu menyambut sewindu berdirinya Paguyuban Gerobak Sapi Manunggal Lestari yang anggotanya tersebar di Kabupaten Sleman bagian barat, meliputi Gamping, Mlati, Sleman, Moyudan, Seyegan, Minggir, dan Tempel. Acara yang digelar di lapangan Caturharjio, Sleman, ini diikuti 130 gerobak sapi. Bayangkan betapa meriahnya. Peserta ada yang datang dari luar Sleman. Misalnya, Paguyuban Pager Merapi dari Klaten, Paguyuban Makarti Rasa Manunggal dari Kalasan, Guyup Rukun dari Bantul,  Andini Karya dari Pakem,  Langgeng Sehati dari Prambanan. Dari cara pemberian nama paguyuban itu saja menandakan bahwa para bajingan ini jauh dari tolol.

Pesta budaya para bajingan dengan gerobak sapinya ini sudah masuk dalam kalender wisata. Sekaligus upaya melestarikan angkutan tradisional warisan para leluhur. Kepala Seksi Sejarah Nilai dan Tradisi Budaya Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Anas Mubakhir,  menyebutkan: "Kami mendukung pelestarian budaya yang menyangkut alat transportasi tradisional. Pengembangan kebudayaan tak hanya di bidang kesenian tetapi juga hal yang terkait langsung dengan kehidupan kita pada masa lalu". Lalu disebutkan, gerobak sapi adalah alat transportasi yang sudah melegenda sehingga sangat penting untuk dilestarikan dan diberdayakan untuk mendukung keberadaan desa-desa wisata.

Sementara itu di Bantul, masih wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk melestarikan dan mencintai grobak sapi, ada yang memberi akronim lain dari kata bajingan. Istiyana, Ketua Paguyuban Bajingan Guyub Rukun Bantul, menyebutkan bajingan itu adalah singkatan dari (Bahasa Jawa): Bagusing jiwa angen-angening Pangeran. Jika dialih bahasakan secara bebas kira-kira berarti: “Bagusnya jiwa atau kesalehan seseorang merupakan cerminan insan yang selalu ingat kepada Tuhan”. Lalu Istiyana meminta para bajingan berlaku sopan dan dalam mengendalikan gerobak sapinya mengenakan baju koko dan memakai sarung.

 

Bajing yang Tolol

Kalau bajingan jelas jauh dari tolol, lalu yang tolol itu siapa? Mungkin yang tolol itu adalah bajing atau seekor hewan yang lebih dikenal dengan nama tupai. Jadi bukan bajingan sebagai sebuah profesi, tetapi bajing sebagai nama binatang.

Tupai itu secara umum sebenarnya cerdas, setidaknya cekatan dalam hal melompat-lompat. Di Bali tupai ini disebut semal dan ketika Bali masih sebagai pulau agraris, ada sekehe semal (paguyuban berburu tupai) karena binatang ini musuh para petani kelapa. Tupai atau bajing atau semal yang pintar melompat itu juga disimbolkan sebagai orang yang harus dilaknat. Karena itu muncul kemudian istilah “bajing loncat” sebagai ungkapan negatif orang yang suka menjarah truck sembako. Tupai juga simbol dari orang yang suka pamer keahlian namun jumawa, sehingga jika orang itu mendapat celaka, orang pun tidak bersimpati. Barangkali dari sana lahirlah pepatah yang populer; “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh jua”. Pesan pepatah ini adalah janganlah kita sombong, karena suatu waktu bisa; “nah lo… rasainn tuh… jatuh juga.” Ada kandungan kekesalan bahkan kemarahan terhadap kesombongan seseorang. Jadi ada konotasi negatif.

Mumpung terlanjur membicarakan soal maki-memaki, kenapa sih kita sering kali menggunakan nama hewan sebagai bahan makian? Banyak orang suka mengumpat dengan menyebut nama-nama penghuni kebun binatang: monyet, asu, jangkrik, bedebah… Belakangan ditambah dengan kampret, cebong, kadal terutama kadal gurun alias kadrun. Di masa lalu sebelum abad ke-9, memang nama binatang sering dijadikan nama diri sebagai simbol kekuatan. Misalnya, Gajah Mada, Kebo Iwa, Hayam Wuruk, Naga Taksaka… Masih ada lagi kalau mau dicari-cari. Namun belakangan nama-nama itu hilang berganti dengan nama yang indah.

Ada kitab soal etika yang disebut-sebut dari abad ke-9. Salah satu petuahnya disebutkan (asli dalam Bahasa Jawa Kuno) adalah: “Menjadi manusia adalah kelahiran yang paling utama. Janganlah pernah bersedih hati dilahirkan menjadi manusia, karena sesungguhnya amat sulit untuk bisa menjelma menjadi manusia. Berbahagialah menjadi manusia dan bukan menjadi hewan.”

Mari kita sudahi, setidaknya kurangi, memaki dan menghina dengan menyebut nama binatang. Apalagi jika penyebutan itu keliru, bermaksud bilang bajing ternyata yang keluar bajingan, sementara makna kata itu sering salah kaprah lantaran budaya yang berbeda. Bajingan di Semarang berbeda makna dengan bajingan di Yogyakarta walau sama-sama Jawa, meski pun rasa kue wingkonya sama. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB