x

Marah

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 15 Agustus 2023 14:41 WIB

Kritik tanpa Kemarahan, Belajar dari Pitutur Masa Lalu

Kritik yang dilontarkan Rocky Gerung dengan sebutan "bajingan tolol" masih menimbulkan kehebohan di berbagai daerah. Sebaiknya diselesaikan, entah lewat pengadilan atau apa, demi Indonesia yang damai. Sembari kita buka-buka kitab lama, bagaimana kritik harus disampaikan tanpa marah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kritik tanpa Kemarahan, Belajar dari Pitutur Masa Lalu

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Pengamat politik Rocky Gerung memberi banyak pelajaran pada hari-hari belakangan ini. Kritiknya yang tajam dan sudah bertahun-tahun ia sampaikan dalam berbagai kesempatan, seperti ada ujungnya. Yakni ketika ia berorasi di hadapan kaum buruh di Bekasi dengan melontarkan ungkapan “bajingan tolol”. Ungkapan itu dikaitkan dengan kekritisannya terhadap langkah kebijakan Presiden Joko Widodo, terutama dalam membangun Ibu Kota Negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian orang menyebutkan kata “bajingan tolol” sudah sangat kasar. Bahkan menjurus ke fitnah. Juga dikaitkan dengan ujaran kebencian. Sesuatu yang tak layak ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Karena itu, sebagian orang ini meminta Rocky Gerung harus ditangkap. Tak ada lagi panggung buat dia. Seorang anggota DPR malah meminta polisi harus mencari pasal untuk menghukum Rocky, apa pun pasalnya. Artinya, harus dicari pasal itu sampai ketemu sehingga Rocky bisa masuk penjara. Sementara ada gugatan perdata yang segera disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuntutan Rocky Gerung tidak boleh tampil di forum yang sifatnya diskusi, seumur hidup. Luar biasa kemarahan publik.

Tapi sebagian publik lain mendukung tokoh kritis ini. Rocky tetap saja diundang meski mendapat hambatan di daerah. Bahkan ada demo-demo menolak Rocky. Meski begitu Presiden Jokowi tidak mempermasalahkan. Bahkan menganggap itu hal kecil.

Saya tak ingin membahas kasus ini secara politis. Termasuk berpikir apakah kasus ini sengaja diciptakan untuk menimbulkan kegaduhan di masyarakat sehingga ada alasan untuk menunda pemilihan umum dan pemilihan presiden, misalnya. Saya tidak bersemangat untuk membahasnya jika dikaitkan dengan pemilihan umum dan terutama pemilihan presiden. Saya hanya ingin mengajak orang untuk berbagi wawasan bagaimana etika kita dalam melayangkan kritik. Terutama apakah ada warisan dari masa lalu, bagaimana menyampaikan kritik dan kepada siapa kritik layak disampaikan. Apakah kritik harus disampaikan dengan kata-kata lembut, sopan, beradab, tanpa memaki? Artinya kritik tanpa marah. Bagaimana kalau orang yang jadi sasaran kritik itu dableg, tebal muka, tak pernah menghiraukan kritik, apalagi justru marah menerima kritik? Nah, ini yang ingin saya bagi, Menggali warisan masa lalu bagaimana bangsa ini membangun jati dirinya menuju bangsa yang beradab.

Ada kitab yang diduga (karena belum dapat dipastikan secara akademis) ditulis abad ke 8 dengan penggubah tercantum Bhagawan Wararuci. Kitab itu berisi 511 sloka (istilah lain: ayat) tentang “etika menjadi manusia”. Kitab ini berbahasa Jawa Kuno atau yang kini di Bali disebut Bahasa Kawi. Dalam kitab ini pada sloka (ayat) 108 tertulis: Ring mangke tang krodha prihen temen kahrtanya, lwirnya ring dewata, ring sang prabhu, ring sang brahmana, ring rare kunang, ikang sedeng mundu, ring wwang atuhe kuneng, irikang telas lilu wwang alara kunang. I samangkana ikang krodha, prihen temen kahrtanya. Terjemahan bebasnya adalah: “Maka dari itu, hendaknya manusia benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya untuk menghilangkan kemarahan dan nafsu angkaranya: terhadap para dewata, terhadap para raja, terhadap para brahmana, terhadap anak-anak, terhadap orang yang lanjut usia. Janganlah (terhadap mereka) menasehati dengan nafsu penuh kemarahan.”

Para dewata yang dimaksudkan adalah leluhur yang telah mendahului kita yang sudah menyatu di alam Tuhan. Dari ajaran ini umumnya kita selalu mendoakan orang yang dipanggil Tuhan dengan mengenang hal-hal yang baik saja. Juga mendoakan segala kesalahannya diamputi Tuhan. Tak ada tempatnya kita memaki-maki orang yang meninggal dunia.

Yang kedua tidak boleh memarahi raja (sang prahu). Raja dalam kekinian adalah pemimpin, seperti presiden jika itu sebuah republik. Kepada mereka itu seseorang tidak boleh dirasuki rasa marah dalam menyampaikan aspirasi dan menyalurkan pendapatnya kepada raja atau presiden di masa kini. Kekanglah nafsu buruk itu dan pergunakan kata-kata yang sopan.

Kenapa raja harus diperlakukan dengan penuh sopan santun? Karena raja atau presiden  punya kewajiban dalam mensejahtrakan rakyatnya. Raja berasal dari kata rajintah artinya orang yang telah dibebani tugas membahagiakan masyarakat. Setidaknya punya komitmen di dalam hal itu. Namun menjadi pemimpin urusannya tentu banyak, ada masyarakat yang puas dan ada yang tidak.  Memuaskan semua orang dalam waktu yang bersamaan tentu tidak mungkin. Tidak bisa semua permintaan dan permohonan dari rakyatnya bisa dikerjakan oleh sang pemimpin. Pasti ada yang kedodoran. Dalam kaitan inilah rakyat sering tidak sabar lalu marah-marah dalam memberikan pendapat dan menyampaikan kritiknya.

Kalau berpegangan kepada kitab ini, kritik atau aspirasi kepada pemimpin pantang disampaikan dengan marah. Apalagi sambil memaki sang pemimpin atau mengumpat dengan bahasa yang jorok. Sampaikan saja dengan sopan santun. Ingatkan sang pemimpin dengan cara yang baik dan bermartabat. Apalagi pemimpin itu, jika dalam hal ini berstatus presiden, adalah simbol dari negara. Kalau tidak kita yang menghormati siapa lagi yang menghormati pemimpinnya sendiri. Terhadap pemimpin yang sudah berkali-kali dikritik tetapi semua kritik diabaikan, aksi demo bisa dilakukan, namun tetap dalam kesopanan. Aksi demo di masa lalu adalah rakyat berbondong-bondong datang ke alun-alun istana dan melakukan aksi pepe – berjemur diri sampai aspirasinya di dengar raja.

Yang ketiga marah kepada brahmana. Kaum brahmana ini maksudnya orang suci. Ya, katakanlah di masa kini para ulama dan pendeta. Atau sebutan lain yang khas sesuai agama yang berbeda-beda. Seorang brahmana memang tidak apa-apa dicaci umatnya. Seorang brahmana tak akan membalas amarah yang menimpanya. Kesucian seorang brahmana tak akan luntur jika dicaci oleh umatnya. Sang pencacilah yang akan mendapat pahala buruk dari perbuatannya yang tak bisa membendung nafsu marah itu. Itu adalah keyakinan seorang brahmana di masa lalu.

Sebaliknya, seorang brahmana harus mampu memancarkan dan memberikan vibrasi kesucian kepada umatnya. Bagaimana mungkin vibrasi itu akan keluar jika sang pencari kesucian itu berlaku kasar dan berprilaku marah? Apalagi sang brahmana itu sampai melakukan hal-hal yang memalukan, tersangkut masalah pidana, melakukan pemerkosaan dan sebagainya.  Brahmana yang melakukan tindakan kasar sampai tersangkut urusan pidana harus segera dipecat oleh perguruannya. Hukuman di masa lalu itu disebut panten, yakni simbol kebrahmanaannya dicabut dengan memotong rambut yang bergelung di atas kepalanya. Ketika sang brahmana sudah dicabut statusnya, orang boleh memaki seenaknya. Termasuk diadili, sesuatu yang tak boleh dilakukan ketika statusnya masih brahmana.

Yang keempat memarahi anak-anak (sang rare) harus juga dihindari meskipun itu dimaksudkan untuk memberi nasehat. Karena seorang anak tak memiliki kemampuan untuk mencerna dan menganalisa kata-kata nasehat dari orang tua dengan nada kemarahan. Bahkan bisa terjadi kata-kata marah yang keterlaluan akan menjadi hal negatif yang terus dipendam oleh sang anak sampai lama dalam perkembangan kehidupannya. Anak itu bisa bermasalah dalam pertumbuhannya di masa remaja dan ketika menjadi dewasa.

Yang kelima adalah memarahi orang tua yang sudah uzur apalagi dalam keadaan sakit. Itu sudah keterlaluan dan jangan sampai diucapkan. Selain energi orang lanjut usia itu sudah menurun, daya nalarnya pun lemah. Menghormati orang tua adalah hal yang seharusnya dilakukan, betapa pun orang tua itu cerewet dan menjengkelkan. Kalau sudah cerewet dan membuat jengkel – karena faktor usia – maka tugas kita untuk jangan memilih mereka sebagai pemimpin. Rusak negara ini kalau ada orang tua yang sudah cerewet, pikun, ngomongnya ngelantur, terus kita jadikan pemimpin.

Demikianlah pitutur penting di masa lalu, bagaimana kita diajarkan untuk berlaku sopan kepada orang yang sudah meninggal dunia, kepada pemimpin, kepada brahmana atau ulama, kepada anak kecil dan kepada orang tua yang sudah uzur. Tentu pantangan dengan mengekang kemarahan dan bertutur yang sopan ini sepanjang mereka adalah orang yang menjalankan profesinya secara normal. Artinya, kita tahu bahwa mereka memang sudah berjalan dalam rel kebenaran, apalagi mau mendengarkan pendapat orang lain, termasuk pendapat umatnya.

Bagaimana dengan kritik Rocky Gerung yang melontarkan kata “bajingan tolol” itu? Apakah itu tergolong kritik yang melampiaskan kemarahan atau tidak? Harusnya ada “penyelesaian”, ya, apakah itu lewat pengadilan atau apa, saya tak ingin mengusulkan sesuatu. Saya hanya ingin, mari kita instrospeksi, untuk Indonesia yang jaya memasuki hari jadi yang ke 78 ini. Damai Indonesia dan… Merdeka. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB