x

Foto:Freepik.

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 15 September 2023 19:07 WIB

Lima Menit di Sana Selamanya

Pekan ini Wish You Were Here, album karena Pink Floyd, berusia 48 tahun. Sebuah pengalaman personal dengan salah satu lagu di dalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Purwanto Setiadi

 

Selalu ada yang pertama kali untuk setiap hal. Dalam hal ihwal musik, momen pertama kali yang tak pernah saya lupakan adalah kaset yang pertama kali saya beli dengan uang jajan, sekitar pertengahan 1970-an. Satu di antara kaset-kaset itu (tiga jumlahnya; kaset bajakan, tentu saja) adalah Wish You Were Here, album kesembilan Pink Floyd yang dirilis pekan ini 48 tahun yang lalu. Album ini meninggalkan kesan yang dalam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Memutarnya pertama kali, dulu, saya terkesima dengan Shine On You Crazy Diamond, yang mengawali sajian berdurasi total 44 menit itu. Tapi, setelah bertahun-tahun berselang, saya merasa Wish You Were Here, sebuah elegi sederhana tapi menawan, yang judulnya digunakan sebagai titel album, adalah lagu yang selamanya bersemayam di dalam diri saya.

 

Di masa baru mulai menggemari album itu, kurang lebih setahun setelah rilisnya, koneksi awal saya--yang membuat saya segera terpincut--dengan Wish You Were Here adalah bagian intronya: strumming gitar akustik yang diikuti petikan melodi yang merupakan tema utama (riff, oscinato, motif berulang) dari musiknya. Kala itu saya baru mulai belajar memainkan gitar. Wajar, karenanya, suara instrumen berdawai yang dimainkan David Gilmour-lah yang seketika menjadi pusat perhatian saya.

 

Tentu saja, pada akhirnya, dalam lima menit waktu putarnya, Wish You Were Here memberikan lebih dari sekadar genjrang-genjreng gitar. Tapi kesadaran mengenai hal ini merupakan sebuah proses, laksana benih yang tumbuh menjadi tanaman dewasa, hanya terjadinya di dalam diri saya. Dari situ pula berhimpun unsur-unsur--berbagai pengalaman, momen dan memori yang bersifat pribadi, dan hasil dari upaya “memecahkan” misteri sebuah lagu baru--yang kemudian membentuk persepsi, dan kemudian makna.

 

Seperti tampak dalam banyak karya Pink Floyd, eksperimen dan kreativitas bagai tak berbatas (bagaimanapun, mereka merupakan bagian dari masa ketika rock’n’roll adalah obyek eksperimen hingga yang paling “sinting” sekalipun). Sebagai satu kelompok musik, mereka bukan saja bisa unik, tapi juga mengejutkan dan...“nakal”. Kita mungkin menyebutnya sebagai hasil dari think out of the box, berpikir secara tak konvensional. Saya ingat, setelah akhirnya bisa menyimak Wish You Were Here, betapa menyentak bagian sebelum bunyi gitar terdengar dalam intro. Inilah saat yang merupakan perpindahan dari lagu sebelumnya, Have a Cigar: yang segera terdengar adalah bunyi radio yang sedang dipindahkan frekuensinya (sempat tertangkap, antara lain, stasiun yang memutar segmen akhir dari Fourth Symphony karya Pyotr Tchaikovsky).

 

Belakangan saya tahu bunyi radio itu direkam dari perangkat audio di mobil Gilmour. Di studio, dia memainkan intro lagu dengan gitar akustik 12 dawai. Suara yang dihasilkan lalu diproses supaya terdengar seakan-akan dia memainkannya melalui radio (mengiringi musik yang terdengar dari stasiun yang frekuensinya dimonitor). Suara ini, selanjutnya, ditumpuk dengan suara bersih dari gitar akustik yang lain.

 

Di samping memainkan gitar, Gilmour juga menyanyikan lirik atau syairnya--yang disusun Roger Waters. Syair inilah yang pesannya sampai kepada saya melalui proses yang berjalan perlahan-lahan, bertahun-tahun untuk bisa ke tahap “mengendap”.

 

Sebelum sampai di sana, yang mendahuluinya adalah cara Waters dan Gilmour membuat komposisi: seperti orang yang mabuk kepayang, saya terpukau oleh cara mereka menyusun not-notnya, mengatur progresi melodinya, dan menata bangunan bebunyiannya, juga lagunya secara keseluruhan. Sisi ini, kalau mau diibaratkan, seperti sekuens gambar dalam sebuah film, yang bisa bercerita tanpa mengandalkan narasi maupun dialog dari karakter-karakter di dalamnya.

 

Saya menyadari adanya fakta bahwa komposisi, musiknya saja (orang menyebutnya instrumental), bukanlah pintu masuk yang mudah buat kebanyakan orang untuk mengapresiasi suatu lagu. Tapi ada hal lain yang baru belakangan saya tahu: bahwa, dalam pembicaraan mengenai proses kreatif menggubah lagu, ternyata, orang cenderung menghindari topik komposisi, sesuatu yang merupakan pengalaman nonverbal; bahkan musikus pun, seperti diakui Tom Petty dan Paul Simon dalam wawancaranya dengan Bill Flanagan dalam buku Written in My Soul, selalu merasa gelisah bila bermuka-muka dengan seseorang yang mengirimkan sinyal hendak menggali cerita tentang bagaimana mereka membuat komposisi.

 

Tetapi, begitulah, tanpa syair pun Wish You Were Here sudah langsung menemukan ceruk yang tepat di dalam diri saya. Bagi musikus pada umumnya, hal ini mirip dengan penggambaran Keith Richards tentang cara inspirasi atau gagasan tentang lagu muncul, yakni “tiba di ambang pintu dan hal yang perlu kau lakukan adalah menyiarkannya, menjadikan mungkin baginya untuk eksis”. Kelihatannya, bila diidentifikasi lebih jauh, alam bawah sadar saya mendapati pada lagu ini, yang kemudian ditegaskan oleh substansi syair dan cerita yang melatarbelakanginya, pesan yang mewakili suasana hati saya secara umum: bahwa saya menyadari kehidupan saya dan berupaya membebaskan diri agar bisa menjalaninya.

 

Dengan muatan topik itu saja, buat saya, sekurang-kurangnya, Wish You Were Here jadi tak pernah usang. Saya bisa bersandar kepadanya kapan saja, dalam situasi apa pun. Ketika saya harus menjalani masa kehilangan seseorang yang saya kasihi, lagu ini menguatkan keyakinan saya tentang betapa tak tergantikannya orang itu dalam mosaik keberadaan saya di semesta ini. Kisah mengenai kenangan terhadap Syd Barrett, salah seorang pendiri Pink Floyd, yang tiba-tiba hadir--dan sempat tak dikenali--di studio saat album Wish You Were Here direkam, setelah bertahun-tahun “menyepi” karena mentalnya goyah akibat narkoba, melipatkan kesan itu.

 

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB