x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 28 Oktober 2023 10:31 WIB

Mendengar PSI, Teringat PSI Sjahrir

Mendengar nama PSI, yang teringat PSI Sjahrir. Namun, alangkah jauh jarak keduanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di masa sekarang, sebuah partai bisa berganti ketua umum secara tiba-tiba. Bahkan lebih dari itu, ketua umum baru itu bisa berasal dari luar organisasi dan, karena itu, bukan kader partai, apa lagi kader yang merintis karir politik dari bawah dan digembleng dalam berbagai tugas partai. Itulah yang terjadi pada Partai Solidaritas Indonesia yang kerap menyebut diri sebagai PSI.

PSI? Ini mengingatkan pada nama serupa di Indonesia masa lampau, namun dengan kepanjangan yang berbeda, yaitu Partai Sosialis Indonesia. Pendiri dan ketua umumnya tak lain Sutan Sjahrir—anak muda yang dipercaya oleh Soekarno-Hatta serta elite politik pada masa kemerdekaan untuk menjadi perdana menteri pertama Republik Indonesia. Usianya ketika menjadi perdana menteri baru 36 tahun.

Tapi Sjahrir menjadi perdana menteri bukan karena diusung oleh PSI, sebab Partai Sosialis Indonesia baru berdiri pada 1948. Sjahrir menjadi perdana menteri juga bukan karena ia anak presiden, sebab Soekarno adalah kawan seperjuangannya yang lebih senior. Sjahrir ditunjuk untuk menempati posisi penting tersebut karena ia dikenal sebagai figur yang sangat menjaga integritas. Sjahrir tidak pernah bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang. Indonesia yang baru seumur jagung membutuhkan sosok berintegritas kuat untuk meyakinkan rakyat di dalam negeri dan dunia internasional bahwa Indonesia merdeka dipimpin oleh orang-orang yang independen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan hanya itu. Di usia mudanya, Sjahrir sudah malang-melintang di jagat pergerakan, baik bawah tanah maupun muka tanah, untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Bersama Bung Hatta, ia mengorganisasi aktivitas penyadaran politik kepada anak bangsa, sehingga oleh pemerintah kolonial Belanda organisasinya dianggap lebih berbahaya dibandingkan organisasi bentukan Bung Karno yang berbasis massa.

Sjahrir memang pemikir dan ia berkenalan dengan berbagai pemikiran dunia, tapi Sjahrir bukan pembebek, melainkan pembaca yang kritis dan menentang otoritarianisme. Ia sekaligus seorang praksis, sebab menerjunkan diri dalam kegiatan penyadaran politik dan menggerakkan serta menempa kader-kader perjuangan kemerdekaan. Penjara kolonial pun sudah ia rasakan, dan kelak secara tragis penjara di masa kemerdekaan pun ia rasakan.

Sebagai pemikir, sumbangan intelektualnya yang berupa risalah berjudul Perjuangan Kita disebut oleh seorang Indonesianis Amerika Ben Anderson sebagai “Satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan.”

Sebagai partai, PSI Sjahrir gagal mengumpulkan suara dalam Pemilu 1955, pemilu pertama di Indonesia yang hingga kini disebut sebagai pemilu yang berlangsung jurdil. Sebagai partai yang fokus pada upaya penyadaran politik, basis massa PSI memang terbatas. Namun, partai ini telah memperoleh tempat penting dalam sejarah Republik dan dalam kajian-kajian para peneliti karena sosok Sjahrir.

Hubungan Sjahrir dengan Presiden Soekarno memburuk, hingga akhirnya PSI dibubarkan pada 1960. Dua tahun kemudian Sjahrir ditahan hingga mengalami stroke di penjara, lalu diterbangkan ke Swiss untuk menjalani perawatan. Di negeri asing itu, Sjahrir mengembuskan napas terakhir dalam status tahanan pemerintahan Soekarno, pemerintahan sebuah negara yang ia ikut serta memperjuangkan kemerdekaannya.

Melihat PSI masa kini membuatku teringat PSI Sjahrir, namun alangkah jauhnya jarak itu. PSI Sjahrir sudah melegenda. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler