Politik Tiga Kaki Jokowi, Pemilu 2024, dan Demokrasi Indonesia
Rabu, 8 November 2023 19:56 WIBAda tiga skenario bahwa Jokowi tetap berpengaruh besar pada pemerintahan mendatang. Hal itu terlihat dari berbagai langkah politiknya selamamini. Tapi, tetap ada gradasi politik atas tiga skenario itu yang membuat kekuatan pengaruh Jokowi juga beragam.
Di akhir masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia dua periode, langkah politik Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini terlihat cepat dan dinamis. Berbagai manuver politik yang dilakukan Jokowi adalah bertujuan melanjutkan program yang telah ia rintis.
Sebagai seorang yang memiliki pandangan pragmatis, beliau memang tidak terlalu berfokus pada perdebatan konsep yang berlarut-larut. Jokowi lebih memilih melakukan aksi atau langkah kongkrit sedari awal era pemerintahannya dimulai. Kita tentu akan selalu ingat tagline pemerintahan Jokowi periode pertama, yaitu: “Kerja, kerja, kerja”. Hal yang bermakna bahwa aksi lebih utama, daripada hanya sekedar berteori atau bersilang kata.
Para pengkritik pemerintah, biasanya sering menyerang politik gercep (gerak cepat) Jokowi ini. Akan tetapi dukungan rakyat terhadap beliau selalu besar dan masif. Tingkat kepuasan rakyat terhadap Jokowi, berdasarkan hasil survei LSI (Lingkar Survei Indonesia) 11 Juli 2023 adalah 81, 9 persen (cnnindonesia.com yang diakses 4 November 2023). Besaran dukungan rakyat ini jauh sekali melampaui dukungan terhadap berbagai pemerintahan sebelum Jokowi.
Sikap politik Jokowi yang hampir selalu melihat terlebih dahulu reaksi rakyat terhadap kebijakan pemerintah, mungkin salah satu faktor yang menimbulkan simpati rakyat. Jika penolakan cukup besar, beliau tidak segan merevisi, menunda, atau bahkan membatalkan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Salah satunya adalah sikap beliau yang menunda pengesahan RUU KUHP pada tanggal 20 September 2019 dengan alasan materi dalam RUU tersebut masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut.
Selain itu Jokowi juga mempertimbangkan berbagai keberatan terhadap substansi-substansi dalam materi RUU KUHP tersebut (Dikutip dari situs presidenri.go.id, diakses 4 November 2023).
Akan tetapi tak bisa dipungkiri program Jokowi membangun Indonesia tak akan rampung hanya dalam dua periode pemerintahan. Pada era reformasi, memang Pasal 7, UUD 1945, yang sebelumnya memungkinkan seseorang untuk dipilih berkali-kali sebagai Presiden Republik Indonesia, telah diamandemen menjadi hanya dua kali masa jabatan. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi beliau melanjutkan program pemerintahannya dengan menjabat sebagai presiden melebihi dua periode.
Jokowi juga telah menegaskan bahwa sebagai produk pemilihan langsung, beliau bersikap untuk mengikuti konstitusi yang membatasi jabatan presiden hanya selama dua periode (Dikutip dari arikel Tiga Pernyataan Jokowi terkait Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, kompas.com, diakses 4 November 2023).
Walaupun demikian Jokowi tentu tidak menginginkan bahwa program pembangunan Indonesia telah dijalankannya berhenti begitu saja, atau tidak dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya. Untuk itulah terdapat tiga skenario politik yang mungkin atau telah dijalankan Jokowi. Pembacaan saya terhadap tiga skenario ini adalah berdasarkan pada realitas politik terkini, yaitu terdapat tiga pasagan calon (paslon), yang telah mendaftar dan akan berlaga dalam kontestasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Skernario pertama, , pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangi Pilpres. Jika hal ini terjadi, maka akan sangat mungkin bagi Jokowi melanjutkan program pemerintahannya. Prabowo memang sudah menyatakan ia akan melanjutkan landasan yang dibangun secara kokoh oleh Jokowi.
Prabowo juga mengaku Koalisi Indonesia Maju yang mengusung beliau sebagai capres adalah timnya Jokowi. Pernyataan ini disampaikan Prabowo ketika menemui wartawan di gedung DPP Partai Golkar, Palmerah, Jakarta Barat, 14 September 2023 (Dikutip dari artikel Prabowo Tegaskan Bakal Lanjutkan Program Jokowi Jika Terpilih, oleh Reyhan Fernanda Fajarihza, bisnis.com, diakses 4 November 2023).
Selain itu, jika kemudian posisi Gibran, yang merupakan putra sulung Jokowi, sebagai cawapres Prabowo tidak terjegal, maka akan sangat mungkin bagi Jokowi memastikan kelanjutan berbagai program pemerintahannya. Itu bisa dilakukan baik melalui posisi resmi di pemerintahan, entah sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), maupun secara tidak resmi, atau di belakang layar. Baik Prabowo maupun Gibran, tentulah akan selalu berkonsultasi dengan Jokowi, terkait berbagai program pemerintahan.
Dengan tidak di-reshuffle selama menjabat dan pembelaan Jokowi terhadap pelaksanaan program Food Estate, yang berada di bawah kontrol langsung Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, bisa disimpulkan Prabowo dan Jokowi memiliki visi yang sesuai. Sebagaimana dilansir oleh kompas.com, 19 Agustus 2023, Jokowi menyatakan bahwa program food estate, tidak semudah yang dipikirkan oleh banyak orang. Pernyataan ini beliau sampaikan setelah PDIP melalui Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal partai tersebut, mengkritik program food estate sebagai sebuah kejahatan lingkungan (sumber: kompas.com, diakses 4 November 2023).
Jika skenario pertama ini berjalan lancar, maka potensi Jokowi untuk menjadi Ketua Umum PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) akan semakin besar. Bagaimana tidak? Dengan usia yang sudah mencapai 76 tahun, Megawati sebagai Ketum PDIP tentu akan lebih memilih untuk beristirahat dari panggung politik.
Sebenarnya, kalau melihat dari polemik Dewan Kolonel yang sempat mengemuka di internal PDIP, beberapa waktu yang lalu, yang sebenarnya berkaitan dengan pencapresan Puan Maharani. Jika kemudian elektabilitas Puan Maharani memadai, maka Megawati tentu akan dengan mudah menyerahkan tongkat kepemimpinan ke Puan. Persoalannya, dengan rendahnya elektabilitas Puan, dan kondisi internal PDIP, yang walaupun, secara umum didominasi loyalis Mega, jika disuruh memilih antara Jokowi atau Puan, tentulah akan lebih memilih Jokowi.
Potensi Jokowi untuk memimpin PDIP, jika Megawati tidak lagi menjadi Ketum, akan besar juga, jika skenario kedua berhasil terjadi, yaitu Ganjar-Mahfud yang memenangi Pilpres. Dengan Ganjar sebagai Presiden, walaupun, yang bersangkutan adalah loyalis Mega, jika harus memilih antara Jokowi atau Puan, kemungkinan besar beliau akan memilih Jokowi. Kita bisa lihat bagaimana sejarah perang dingin antara Puan dan Ganjar,beberapa waktu yang lalu, sikap Puan yang gila hormat, tentulah akan membuat Ganjar berpikir berkali kali untuk memilih Puan.
Dominasi Jokowi dalam kancah perpolitikan Indonesia, akan sangat besar untuk bertahun tahun, bahkan beberapa dekade ke depan, jika skenario pertama atau yang kedua ini berhasil terjadi. Apalagi, jika PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang dipimpin oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, berhasil tembus parlemen pusat, atau DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia).
Jika dua skenario pertama tidak jalan, maka masih ada skenario ketiga, yang bisa mengamankan posisi Jokowi secara politik maupun hukum. Anies dan Muhaimin, sejarahnya adalah pendukung Jokowi. Anies Baswedan pernah menjadi menteri Jokowi pada periode pertama pemerintahan Jokowi pada tahun 2014 sampai 2016. Muhaimin Iskandar adalah Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang telah mendukung Jokowi sejak tahun 2014. Beberapa menteri dari PKB juga masih duduk di kabinet yang sekarang ini.
Selain itu, naiknya Anies menjadi Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, tentu tidak akan terjadi tanpa restu Jokowi. Salah satu wujud restu Jokowi, adalah beliau bersedia untuk datang pada aksi damai tanggal 2 Desember 2016 (aksi damai ini terkenal dengan nama 212), yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, yang protes terhadap pernyataan Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, yang dianggap sebagai suatu bentuk penistaan agama. Ahok mengutip surat dan ayat dalam kitab suci Al Qur’an, ketika menyampaikan ceramah di Kepulauan Seribu, beberapa saat sebelumnya. Yang bersangkutan kemudian divonis bersalah, pasca kekalahannya dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) DKI tahun 2016.
Skenario ketiga ini mungkin tidak sepenuhnya sesuai keinginan Jokowi, yaitu sebuah pemerintah, yang benar-benar melanjutkan apa yang sudah dibangun beliau, khususnya program IKN (Ibu Kota Nusantara). Tujuan pembangunan IKN di Pulau Kalimantan, pada dasarnya adalah baik, supaya pembangunan Indonesia tidak Jawa Sentris. Persoalannya kemudian adalah, terkait kelanjutan IKN ini, Ganjar dan Prabowo sudah menyatakan akan melanjutkan program IKN ini, perbedaannya mungkin terletak, pada apakah akan manut Jokowi atau tidak, dalam pembangunan IKN ini?
Prabowo sudah menyatakan akan manut Jokowi terkait IKN, sementara PDIP sebagai salah satu partai pengusung Ganjar, menyatakan bahwa perlu ada evaluasi terhadap proses pembangunan IKN. Artinya, keduanya, secara umum sudah menyatakan akan melanjutkan program IKN.
Berbeda dengan Ganjar dan Prabowo, pendukung AMIN (Anies - Muhaimin) membuka peluang untuk melakukan revisi terhadap Undang Undang IKN, tergantung aspirasi dari masyarakat (Dikutip dari artikel Main Dua Kaki Anies di IKN oleh Alya Nurbaiti, detik.com, diakses 5 November 2023).
Pada skenario ketiga ini Jokowi masih memiliki potensi untuk menjadi Ketum PDIP jika Megawati sudah tidak menjabat lagi sebagai Ketum PDIP. Bagaimanapun Jokowi adalah figur yang paling senior dan paling disukai rakyat di internal PDIP. Akan tetapi, tentu dominasi beliau di pemerintahan, mungkin tidak akan sebesar jika skenario pertama atau kedua, yang terjadi.
Akhir kata, Jokowi walaupun mungkin tidak sempat mengenyam pendidikan di luar negeri, seperti beberapa presiden Indonesia sebelumnya, yaitu Habibie, Gus Dur, maupun SBY, akan tetapi, beliau paham menjalankan demokrasi Indonesia dengan baik. Sesuai dengan hakikat demokrasi Indonesia, yaitu hanya sebagai sarana atau alat untuk mencapai kebaikan bersama, yaitu sila kelima, Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Walaupun memang ada kritikan terhadap beliau, yang menganggap bahwa Jokowi adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Persoalannya kemudian, adalah kita sudah cukup lama berada dalam alam demokrasi liberal, sekitar 25 tahun, jika dihitung dari kejatuhan Soeharto, pada tahun 1998.
Hal ini mengakibatkan pandangan kita terhadap demokrasi dan etika politik dipengaruhi oleh pandangan liberal yang menganggap bahwa demokrasi adalah tujuan, bukan alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan demikian, secara etis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan langkah Jokowi untuk mengatur keberlanjutan program pemerintahannya, dengan ikut campur dalam Pemilu 2024. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, dan memang berorientasi untuk kebaikan bersama, atau kesejahteraan seluruh rakyat.
Alumni Filsafat UGM, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta
0 Pengikut
Obrolan Sore dan Kisah Revolusi Setengah Hati
Rabu, 28 Agustus 2024 20:16 WIBSepenggal Catatan Harian Usman
Minggu, 26 Mei 2024 05:54 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler