x

Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tampil dalam debat capres pertama di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa, 12 Desember 2023. YouTube/KPU

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 21 Desember 2023 12:33 WIB

Belajar Kecerdasan dari Debat Capres-Cawapres

Momentum politik sekarang, melalui debat capres dan cawapres, kita rakyat Indonesia dapat ikut belajar tentang kecerdasan IQ dan EQ bagi diri sendiri, orang-orang di sekitar atau sekeliling kita. Kita juga mengetahui siapa nanti pasangan capres-cawapres yang layak memimpin negeri karena obyektivitas, kredibilitas dan kompetensi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Capaian kecerdasan IQ dan EQ rakyat Indonesia, di antaranya tercermin dari drama debat Capres dan Cawapres. Mana yang benar-benar cerdas. Mana yang belum cerdas, itu deskripsi asli Indonesia terkini. (Supartono JW.21122023)

Setelah Debat Calon Presiden (Capres) perdana pada Selasa, 12 Desember 2023, yang ditatap oleh jutaan mata, pikiran, dan hati rakyat Indonesia, pada Jumat, 22 Desember 2023 akan kembali ada debat. Kali ini melibatkan para Calon Wakil Presiden (Cawapres).

Pertanyaannya, kira-kira bagaimana jalannya debat dan kualitas debat Cawapres nanti? Pasalnya, setelah debat Capres perdana, rakyat menjadi tahu kualitas Capresnya. Terutama bila dilihat dari kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosinya dalam berdebat sesuai konteksnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara, terkait Cawapres, rakyat juga sudah menunggu, akan terjadi drama seperti apa? Terutama juga pada kualitas intelektual dan tingkat emosional para Cawapres nanti. Terlebih, ada Cawapres yang kehadiran dan keberadaanya dalam kontestasi politik sekarang telah menimbulkan kegaduhan di negeri ini.

Pemicunya atau sutradara yang membuat kegaduhan karena mengusung Cawapres bersangkutan, kualitas kecerdasannya juga dapat dilihat dan dirasakan oleh rakyat. @Bisa jadi karena sangat cerdas intelektual, akhirnya kecerdasan intelektual ini bergeser menjadi licik. Lalu, kecerdasan emosinya juga digunakan dengan mengabaikan etika, budi pekerti, simpati-empati, dan tahu diri.

Kecerdasan 

Sejatinya, dengan melihat dan merefleksi debat Capres yang akan disusul debat Cawapres, dari sudut kecerdasan intelektual dan emosional, ini sangat signifikan dengan bagaimana dunia pendidikan di Indonesia masih kurang berdaya melahirkan manusia-manusia Indonesia menjadi cerdas intelektual, intelegensi, dan emosi. @Hasil pendidikan Indonesia, hingga di penghujung tahun 2023 ini, masih belum sesuai harapan. Namun, sejatinya Indonesia tidak pernah kekurangan orang-orang yang cerdas.

Apakah tiga Capres yang sudah tampil debat, tergolong cerdas? Apakah tiga Cawapres yang akan menyusul debat berikutnya juga sosok-sosok yang cerdas? Rakyat dapat menilai dan menjadi juri.

Di luar parameter kecerdasan Capres dan Cawapres, selama ini yang sangat melekat pada cara berpikir masyarakat kita, paradigma cerdas hanya dari segi akademis atau nilai Intelligence Quotients (IQ)/intelegensi/intelektual saja.

Inilah satu di antara pangkal masalah pendidikan di Indonesia, sehingga guru-guru di sekolah formal atau nonformal, sejak Indonesia merdeka, meski sudah dipandu oleh berbagai jenis kurikulum pendidikan, terus terjebak pada persoalan akademis yang hanya menempa kecerdasan intelektual atau IQ. Padahal, kecerdasan itu, juga ada Emotional Quotients (EQ) atau kecerdasan emosional.

Dari dua kecerdasan ini, saya sering menganalogikan orang yang cerdas intelektual sebagai orang yang kaya pikiran. Sementara cerdas emosional sama dengan kaya hati. @Antara IQ dan EQ

Cerdas IQ adalah kemampuan seseorang untuk menalar, memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berpikir, dan merencanakan sesuatu. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah yang melibatkan logika.

Kemudian cerdas EQ merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali, mengendalikan, dan menata emosi serta perasaan, baik itu perasaan sendiri maupun perasaan orang lain.

Kecerdasan EQ juga memberi kesadaran mengenai rasa empati, cinta, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan untuk menghadapi kesedihan dan kegembiraan secara tepat.

Antara kecerdasan IQ dan EQ tidak dapat dipisahkan. Keduanya penting, vital untuk dimiliki seseorang. @Tetapi, mengapa selama ini paradigma cerdas terkait pendidikan kita, hanya terkait IQ? Jawabnya, selama puluhan tahun, para guru di Indonesia terjebak pada tuntutan menuntaskan materi pelajaran sesuai kurikulum pendidikan yang berlaku.

Jangankan peserta didik tergarap dan tersentuh kecerdasan emosinya, kecerdasan intelegensi/intelektual sesuai tuntutan akademik saja tidak pernah tuntas. Belum pernah sampai pada titik kualitas. Faktanya: Lihatlah skor PISA terbaru Indonesia. Lihatlah sosok Capres yang sudah berdebat. Apakah ketiganya cerdas?

Di dunia pendidikan, di pikiran para guru pun selama ini, paradigmanya, tugas mereka hanya mengajar, menyampaikan ilmu dan materi pelajaran yang hanya menyasar IQ. Belum mendidik yang sasarannya EQ. Bahkan bekal kompetensi mendidik pun terus dalam batas sekadar memenuhi syarat standar minimal menjadi guru. Faktanya dapat diricek di Badan Pusat Statistik (BPS).

Harus dipahami dan disadari setiap saat, setiap waktu, bahwa IQ merupakan kecerdasan yang dibawa oleh setiap orang sejak lahir. EQ adalah kecerdasan yang berkembang seiring pertumbuhan psikis seseorang.

Perkembangan EQ dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor luar, seperti lingkungan yang dapat mendukung kecerdasan emosional seseorang lebih terarah.

Namun, meski IQ bawaan sejak lahir, bukan berarti IQ seseorang tidak dapat berkembang. Ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai jalur pendidikan, akan membuat kecerdasan intelektual menjadi terasah.

Selanjutnya, IQ=Logika, EQ=Empati. IQ merupakan kemampuan intelektual yang dimiliki seseorang untuk memecahkan sebuah masalah dengan unsur-unsur matematik dan logika.

Sedangkan EQ merupakan kemampuan untuk menghadapi masalah dengan melakukan berbagai pertimbangan emosi, empati untuk menempatkan diri dalam suatu kondisi, sebelum akhirnya membuat sebuah keputusan.

Karena itu, IQ yang berkembang membuat seseorang pandai dalam angka. EQ membuat pandai dalam Bersosialisasi.

Seseorang yang memiliki IQ tinggi akan memiliki keunggulan dalam mengerjakan persoalan yang membutuhkan analisis data matematis, sedangkan orang yang memiliki EQ tinggi akan unggul dalam hal sosialisasi.

Rasa empati tinggi yang dimiliki seseorang karena EQ yang tinggi, akan membuat seseorang mudah dekat, akrab, santun, dan rendah hati saat dekat dengan orang-orang di sekitarnya.

Dalam beberapa literasi dan kisah-kisah teladan, seseorang yang memiliki EQ tinggi, telah terbukti menjadi pemimpin yang benar dan baik. Baik dalam kapasitas memimpin pemerintahan, parlemen, perusahaan, instansi, institusi, organisasi, kelompok kekeluargaan berbagai bidang, kemasyarakatan, dalam keluarga, hingga memimpin dirinya sendiri, sebab bertindak dengan empati, pondasinya cerdas IQ.

Mengapa seseorang yang saat berproses jalani pendidikan formal kurang sukses di akademik, tetapi sukses di kehidupan nyata? Itulah salah satu jawabannya. Kecerdasan EQ menjadi kuncinya.

Maka dari itu, bila kita menyadari dan memahami sedalam-dalamnya tentang kecerdasan IQ dan EQ, kita akan dapat merefleksi diri, sekaligus dapat mengamati atau menilai orang lain yang dekat dengan kita atau ada dalam lingkup kegiatan kehidupan dengan kita, apakah sudah mencapai tahap cerdas seutuhnya, cerdas intelektual dan emosional?

Caranya coba bercermin, dengan bertanya pada diri sendiri. Apakah selama ini, 1). Saya suka membaca? Orang yang suka membaca biasanya adalah orang yang cerdas. Dengan membaca, menyerap dan menyimpan informasi dari media yang kita baca (buku, karya ilmiah, buletin, artikel, berita, sastra, dll). Membaca juga memberi sudut pandang lain yang berbeda, sehingga wawasan semakin luas. 2). Saya memiliki rasa ingin tahu, kreatif, dan inovatif. Orang cerdas memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka tak segan untuk melakukan eksperimen atau bertanya tentang hal tertentu sampai betul-betul paham. Mereka mungkin tidak akan percaya jika tidak mencobanya sendiri. Dari rasa ingin tahu, mereka juga bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang baru dan orisinal sehingga mengarah pada kreativitas dan inovasi. 3). Apa saya suka bicara tentang kecerdasan saya sendiri? Orang yang betul-betul cerdas tak akan pernah membicarakan tentang kecerdasannya sendiri. Mereka justru tidak peduli bagaimana orang lain memandang mereka. Mereka hanya fokus menyerap ilmu baru dan membuat sesuatu. 4). Apakah saya suka menyendiri? Orang cerdas selalu memiliki waktu menyendiri, menikmati ketenangan, merenung, berpikir, atau bermeditasi. Walau begitu, tidak antisosial yang alergi dengan orang lain. Mereka tetap berhubungan dengan orang lain dan memiliki rasa empati. 5). Apa saya suka di zona nyaman? Orang cerdas tidak takut dengan persaingan. Mereka pun tak mau berlama-lama di zona nyaman. Ketika berada di satu titik pencapaian dan melihat peluang, mereka akan menyambut dan siap memenangkannya. 6). Apa saya mampu mengelola emosi? Orang cerdas, logikanya pandai mengelola emosi dan dapat berpikir jernih dalam bertindak. Kemampuan untuk itu, butuh latihan dan pengalaman. Semakin banyak masalah dan tekanan yang berhasil ditangani dengan tenang, maka seseorang akan semakin pandai mengelola emosi. 7). Apa saya memiliki kesadaran diri yang kuat? Selain mengelola emosi, orang cerdas juga tahu betul tentang siapa dirinya, sehingga memiliki kesadaran diri yang kuat. Mereka tahu apa yang dibutuhkan, apa yang dimiliki, apa tujuannya, bagaimana cara mendapatkannya. 8). Apa saya produktif? Orang yang cerdas tidak hanya berhenti pada pemikiran, tetapi juga bertindak dan menciptakan sesuatu. Mereka adalah orang-orang ahli dalam hal produktivitas karena kreatif dan inovatif.

Lihatlah orang-orang cerdas di dunia, mereka dikenang karena menciptakan sesuatu, baik berwujud benda maupun gagasan. Mereka menjadi penemu dan pencipta. Tidak pernah takut temuan, ciptaan, dan karyanya dijiplak, dicopy paste, karena dengan kecerdasan IQ dan EQnya, terus lahir kreativitas dan inovasi baru. Bukan menjadi orang yang sekadar pemakai produk atau tidak menjadi bangsa pemakai.

Momentum politik sekarang, melalui debat Capres dan Cawapres, kita rakyat Indonesia dapat ikut belajar tentang kecerdasan IQ dan EQ bagi diri sendiri, orang-orang di sekitar atau sekeliling kita, dan dapat mengetahui siapa nanti pasangan Capres-Cawapres yang layak memimpin negeri karena obyektivitas, kredibilitas dan kompetensi.

Yang pasti, capaian kecerdasan IQ dan EQ rakyat Indonesia, di antaranya akan tercermin dari drama debat Capres dan Cawapres. Mana yang benar-benar cerdas. Mana yang belum cerdas, itu deskripsi asli Indonesia terkini.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu