x

Safari Sastra Yudhistira 2023

Iklan

Yanto Musthofa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Januari 2024

Senin, 8 Januari 2024 11:19 WIB

Sepasang Sajak dari Dua Generasi

Mata pelajaran Bahasa Indonesia hanya disajikan melulu sebagai seperangkat pengetahuan linguistik. Para siswa lebih banyak mengunyah pengetahuan tentang Bahasa Indonesia, tapi sangat jarang menikmati enaknya rasa Bahasa Indonesia. Maka, yang tertanam hanya aturan-aturan salah dan benar dalam Bahasa Indonesia, dan sangat miskin papa kemampuan dalam mendengar, berbicara, menulis dan membaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sastra ibarat adik tiri mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, dari tingkat sekolah dasar sampai menengah atas, sejak dulu sampai sekarang. Sejak saya mulai mengenal mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas tiga Sekolah Dasar 47 tahun yang lalu, sampai kini menjadi guru Bahasa Indonesia, sistem persekolahan di Indonesia sangatlah jarang, kalau tidak sama sekali, memperkenalkan bagaimana Bahasa Indonesia digunakan para sastrawan, atau sekurang-kurangnya oleh para penulis yang piawai.

Anehnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia malah disajikan melulu sebagai seperangkat pengetahuan linguistik. Anak-anak Indonesia dari SD sampai perguruan tinggi lebih banyak mengunyah pengetahuan “TENTANG” Bahasa Indonesia, tapi sangat jarang menikmati enaknya rasa Bahasa Indonesia. Maka, di alam bawah sadar anak-anak Indonesia lebih kuat tertanam aturan-aturan salah dan benar dalam Bahasa Indonesia, dan sangat miskin papa kemampuan di keempat matra bahasa: mendengar, berbicara, menulis dan membaca. Anak-anak Indonesia memang tidak disiapkan untuk cakap mendengar, berbicara, membaca, dan apalagi menulis.

Kembali ke soal keterasingan sastra di sekolah-sekolah, saya sungguh tertegun ketika mendapat kesempatan mengikuti salah satu dari rangkaian Safari Sastra Yudhistira ANM Massardi di tahun 2023. Sepanjang tahun lalu, sastrawan itu menyambangi banyak kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta untuk acara pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Terakhir, menjelang tutup tahun, penyair yang segera memasuki usia kepala tujuh itu penuh semangat  menggelar Safari Sastra Yudhistira V di kampus Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Suryalaya dan Universitas Perjuangan, keduanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Banyak audiens Safari Sastra Yudhistira adalah masyarakat kampus. Saya tertegun dan semakin yakin bahwa sastra memang masih berada di luar pagar keriuhan akademik dan urusan cita-cita anak sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sepasang Sajak

Sajak berjudul Rudi Jalak Gugat ditulis Yudhis pada tahun 1981. Empat puluh dua tahun kemudiaan, sajak Balada Seorang Calon dia cipta, juga dengan nada getir. Dua sajak itu bertemu laksana sepasang sayap yang menerbangkan Yudhis, demikian sastrawan senior itu biasa disapa, menjelajahi kawasan selatan Jawa Timur. Dalam kegiatan berlabel Safari Sastra Yudhistira IV, Yudhis menyambangi para pegiat dan pecinta sastra di Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan Pacitan pada 10 sampai 13 September 2023.

Dari kepakan kedua “sayap” sajak Yudhis itu, waktu terasa seperti udara yang bergerak mundur. Objek rasa getir pada sajak pertama adalah potret “anak-anak zaman yang slebor”dari dunia miskin ibukota yang termarginalkan secara struktural. Pada sajak terbarunya, Yudhis memotret keterbelakangan mental kaum elite politik yang memerangkap diri dalam “lelucon demokrasi’. Maka, yang tersaji adalah gambar masa depan bangsa yang entah kapan dan bagaimana bisa menggeliat keluar dari tempurung buram.

Di setiap pementasan, Yudhis membuka dengan pembacaan Balada Seorang Calon, sebuah sajak berisi endapan kegalauannya terhadap karut-marut pentas politik. Dengan pilihan-pilihan diksi yang ramah awam, Yudhis menyajikan arena rekrutmen pemimpin politik nasional seperti saluran got mampet yang tak henti menguarkan bau busuk. Habis-habisan politikus tak bermutu mengadu nasib, memasang taruhan. Lalu, nyungsep dikejar renternir.

|| Mereka sudah setor kepada partai dan mentor

Mereka sudah bayar para konsultan

Mereka sewa para buzzer dan agitator

Mereka taburkan uang merah-biru di desa-desa

Mereka berutang kepada para pengijon

Mereka habis-habisan membuat lelucon

Sampai ke kuburan dan dukun jadi-jadian

Membumbung ke langit seperti balon

Menabur dusta, nista, dan kata-kata berbisa

Menjual “utang’, “pembangunan”, dan ketakutan

 

Tapi, akhirnya mereka gagal sebagai calon

Mereka dikejar para renternirdan anjing gila

Mereka pun berakhir sebagai lelucon

Jatuh miskin, sakit jiwa, bunuh diri ||

 

Yudhis melengkapi pembacaan sajak 149 baris itu dengan lima sajak baru lainnya--semua belum pernah dibukukan, termasuk Balada Seorang Calon. Di atas panggung dia bercerita tentang proses kreatif untuk salah satu sajaknya. Dia berkelana di dunia maya untuk mencari sesuatu yang pas mewakili isi pikirannya. Dia menemukan monster berkepala tiga.

Gorinik

Gorinik monster berkepala tiga

: Konglomerat, pejabat, wakil rakyat

Monster pemangsa segala

Giginya tajam, lehernya panjang,

sayapnya lebar.

 

Gorinik naga berkepala tiga

: Harta, kuasa, fanatika

Monster pengumbar syahwat

Akhlaknya rusak, cakarnya berbisa

mulutnya dusta

 

Gorinik naga berkepala tiga

: Nafsu, angkara, demagogi

Monster pemangsa keadilan

Akalnya tipu daya, senjatanya tipu daya

kata-katanya tipu daya

 

Gorinik naga berkepala tiga

: Mereka bersatu

Menghancurkan bangsa!

 

 

Sajak Rudi Jalak Gugat dibacakan Yudhis bergantian bertiga dengan sang isteri Siska Yudhistira dan Eki Naufal pada penutup pementasan. Eki adalah seorang pemusik muda yang dipercaya Yudhis untuk menggubah sajak-sajaknya dan menyajikan musikalisasi pada Safari kali ini bersama grup Gayatri. Kelompok musik asal Tasikmalaya itu beranggotakan Eki (biola), Muhammad Rizal (gitar akustik), dan Nadzar Thohary (vokal).

 

Komunitas Pegiat Seni

Ada dua jenis audiens pada Safari Sastra Yudhistira kali ini. Di dua tempat pertama, yakni di Kediri dan Tulungagung, audiens didominasi kalangan pegiat komunitas seni dan budaya. Mereka datang tidak sekadar karena menyukai kegiatan sastra, tapi juga karena mereka mengenal dan menyukai karya-karya sastra Yudhis sejak dekade 1980-an. Di Kediri, acara yang berlangsung di panggung pertunjukan Warung Setono Gurih dikoordinir oleh Nono Mujiono, komandan Teater Merah Putih Kediri. Nono tidak hanya berhasil menghadirkan kalangan seniman, tapi juga sejumlah pelajar dan guru dari beberpa sekolah menengah.

Di Tulungagung pun belasan pelajar SMA dan mahasiswa berrbaur dengan para seniman yang rata-rata sudah mengenal Yudhis. Mereka bertahan hingga acara usai hampir tengah  malam di Pendopo Lotus Garden. Bahkan, belasan remaja belia itu rela antre meminta tandatangan Yudhis pada buku-buku yang mereka beli di panitia. Pada sesi musikalisasi puisi, beberapa penonton ikut bersenandung ketika lagu kelompok musik Gayatri membawakan lagu Hari Ini Telah Terbaca. Lagu itu bagian dari album Siti Julaika yang dirilis pada tahun 1982  dengan penyanyi Franky & Jane. Yudhis adalah penulis liriknya, tapi tentu saja lirik itu tidak pernah muncul dalam buku kumpulan puisinya. Selain produktif menerbitkan buku puisi dan novel,Yudhis juga menulis lirik pada banyak lagu yang dinyanyikan Franky & Jane.

Setyohadi, seniman batik yang menjadi tuan rumah Safari di Tulungagung, bercerita sebelum membaca salah satu sajak Yudhis, Agustus (Sedikit Saja). Pada suatu hari di tahun 1995, dia menemukan sajakyang ditulis Yudhis pada tahun 1980 itu. Ketika tiba musim Agustusan, seperti warga lain, dia mengapur dinding rumahnya.  Namun, dia sisakan sedikit bagian, dan sajak Yudhis seakan menguatkan keberaniannya menulis di bagian dinding yang tidakdikapur putih itu: “50 Tahun Indonesia Setengah Merdeka”. Belakangan, dia menyempurnakan pemutihan dinding rumahnya setelah “didatangi” Pak RT.

Tak ingin melewatkan acara sastra malam itu, Siti Atmamiyah tak surut menembus malam memacu sepeda motornya selama satu jam untuk sampai di Pendopo Lotus Garden. “Gairah untuk menyaksikan pembacaan puisi secara live yang sudah puluhan tahun absen sejak meninggalkan Jakarta), membuat malam ini seperti layaknya menghadiri pertunjukan ‘wah’ yang sudah lama saya rindukan,” ujarnya. Mamik, demikian sastrawan lokal itu biasa disapa, sudah menerbitkan tiga buku puisi bersama suami dan seorang puterinya.

Mamik mengaku bersemangat datang karena puisi-puisi Yudhis sangat akrab di benaknya. “Totalitas dan energi yang terselip di antara bait-bait kata Yudhistira serasa terngiang dalam usia panjang terentang,” katanya. Ada lagi, lanjut Mamik, puisi-puisi Yudhistira mewarnai lagu-lagu musisi ‘balada’ Franky dan Jane dengan liriknya. Dia menyebut dua lagu kesukaannya, Sajak Purnama dan Kepada Angin dan Burung-burung. “Lirik yang manis dan sarat akan cerita tentang hubungan antara alam dan makhluknya di era 80-an, seolah lahir kembali di sini, di Tulungagung.”

Audiens Kampus

Audiens jenis kedua adalah masyarakat kampus. Sebagian besar dari mereka praktis tak punya ikatan historis-emosional dengan karya-karya Yudhis. Mereka didominasi kalangan mahasiswa, meskipun ada satu dua sastrawan lokal yang turut hadir saat Yudhis menyambangi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Blitar dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Pacitan. Ketika karya-karya sastra Yudhis berseliweran di media massa ibukota era 70-an dan 80-an, lalu menyeruak di pentas penghargaan kesusastraan bergengsi di tingkat nasional, orangtua para mahasiswa itu tentu masih remaja, bahkan mungkin masih kanak-kanak. Pun, tak sedikit dosen pada pementasan di kedua kampus itu bisa dikatakan baru berkenalan dengan Yudhis.

Sungguhpun begitu, daya pikat dan ketercernaan diksi dalam sajak-sajak Yudhis melenturkan bermacam-macam respons audiens. Sesekali letupan napas yang tertahan muncul bercampur tawa, terkadang dengan tepuk tangan membahana. Perpaduan nada getir, jenaka, tajam, menggugah, dan birunya romansa dalam pementasan sajak-sajak Yudhis membuat Safari Sastra Yudhistira IV menjadi panggung hiburan yang dapat dinikmati siapa saja. Sajak cinta berjudul Ketika Kaubersandar di Bahuku tak menemui sedikitpun kesulitan memasuki ruang-ruang imajinasi para muda-mudi yang terbuai. Di Tulungagung, sajak ini digubah dan ditampilkan oleh para seniman menjadi sebuah lagu country yang renyah dan memesonakan.

Ketika Kaubersandar di Bahuku

 

Ketika kaubersandar di bahuku

Musim Gugur sudah berlalu

Dingin merayap mengampiri salju

Kyoto mulai layu

Dan kau tak membalas suratku

 

40 tahun berlalu

 

Ketika kaubersandar di bahuku

Bugenvil bersemi di rambutmu

 

Kini

 

Musim dan cinta

Tak terikat waktu

 

Dari segi jumlah audiens, ukuran kampus, maupun strata kota-kota yang dikunjungi, Safari Sastra ini tentu tak mungkin dibayangkan membawa efek kehebohan atau gegap gempita dunia sastra. Tapi, satu hal yang pasti, saya menyaksikan suluh-suluh sastra di kota-kota tak terperhitungkan itu ada, nyata, dan mampu menyala. Yang dibutuhkan adalah terus merawatnya dan menyalakannya. Syukur-syukur dapat dibesarkan. Yang lebih dibutuhkan lagi, entah kapan, saya membayangkan runtuhnya kejumudan mata pelajaran Bahasa Indonesia agar anak-anak sekolah semakin banyak mendapat asupan bahasa Indonesia dari para sastrawan.

Salam Sastra.

Ikuti tulisan menarik Yanto Musthofa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu