x

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia saat ditemui usai memberikan pidato dalam Trimegah Political and Economic Outlook 2024 di kawasan Sudirman, Jakarta pada Rabu, 31 Januari 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 7 Februari 2024 10:54 WIB

Meremehkan Suara Kampus Pertanda Merosotnya Kepekaan Pejabat

Respon pejabat negara yang menganggap suara kritis para guru besar itu sebagai partisan dan diorkestrasi pertanda mereka tidak peka terhadap kegelisahan rakyat banyak. Begitu pula, jawaban normatif Presiden Jokowi pertanda menurunnya kepekaan pemimpin terhadap keresahan rakyatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suara kritis yang berkumandang dari berbagai kampus di tanah air, seperti UGM, UII Yogyakarta, UMS, Unair, UI, UPI, Unpad, ITB serta kampus-kampus lain merupakan isyarat bahwa kaum cerdik pandai tidak tenggelam dalam keasyikan kegiatan akademis. Begitu situasi di luar kampus makin menunjukkan kemunduran, para guru besar, dosen, maupun mahasiswa terpanggil  merespon situasi tersebut.

Suara kritis dari kampus-kampus seperti saat ini bukanlah hal baru. Sejak masa sebelum kemerdekaan, sebagian penggerak aktivisme pergerakan nasional adalah kaum cerdik cendekia yang memperoleh pendidikan di perguruan tinggi. Para penggagas dan penggerak Kongres Pemuda adalah para mahasiswa. Para pendiri organisasi perjuangan di masa itu juga para mahasiswa, sebutlah di antaranya mahasiswa kedokteran dan hukum. Bung Hatta adalah mahasiswa ekonomi dan Bung Karno mahasiswa teknik. Artinya, keterlibatan akademisi dalam persoalan-persoalan bangsanya bukanlah hal yang sangat baru.

Dari masa ke masa sejak pergerakan kemerdekaan, tali ikatan antara rakyat dan kampus perguruan tinggi memang tak bisa diputus, kendati banyak pula di antara akademisi yang kemudian larut ke dalam pangkuan kekuasaan. Tapi mayoritas guru besar dan akademisi lain niscaya masih mampu mempertahankan integritas dan kemandiriannya. Mereka tak dapat dirayu oleh kekuasaan untuk memberi pembenaran atas segala macam tindakan pemegang kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa perguruan tinggi akhirnya selalu terpanggil untuk menyuarakan kebenaran? Karena para guru besar, akademisi, serta mahasiswa berusaha menjaga kesadaran moral dan kewarasan akal mereka agar tidak dikaburkan oleh rayuan kekuasaan. Kepekaan akademisi terhadap memburuknya situasi kebangsaan telah memanggil nurani mereka untuk keluar dari ruang-ruang kelas dan laboratorium. Ada panggilan mendesak yang mesti segera dijawab untuk menyelamatkan rakyat.

Sungguh sangat keterlaluan bila ada pejabat tinggi negara yang menuding bergemanya suara kritik dari kampus-kampus ini merupakan bentuk politik partisan dan bahkan diorkestrasi oleh pihak tertentu. Tudingan ini sama saja dengan menganggap para guru besar sebagai orang-orang yang tidak mampu berpikir mandiri, sebagai akademisi yang tidak mampu berpikir kritis. Atau pejabat negara ini hendak menyamakan akademisi yang masih waras nalar ini dengan sebagian akademisi yang menjadi penyusun argumentasi pembenar tindakan apapun yang diambil kekuasaan.

Suara kritis dari kampus yang akhir-akhir ini begitu nyaring dan serempak jelas merupakan ekspresi keresahan para akademisi saat menyaksikan cara negara ini dikelola. Suara ini juga suara keprihatinan para cerdik cendekia terhadap kurang arifnya kepemimpinan dalam mengelola negara dan memberi teladan yang baik kepada bangsa. Suara kritis ini juga mengingatkan kepemimpinan bahwa langkahnya telah keluar dari koridor demokrasi, dan mereka menyeru kepada kepemimpinan agar kembali ke koridor demokrasi yang sehat dan adil serta tidak nepotis, dan tidak memanfaatkan kesempatan berkuasa untuk mengedepankan kepentingan sendiri.

Suara kritis itu sudah jelas merupakan ikhtiar mengingatkan sebelum segala sesuatunya berjalan semakin buruk. Suara ini juga merupakan ajakan yang baik untuk kembali kepada koridor demokrasi yang telah diperjuangkan oleh segenap rakyat dengan susah payah, penuh air mata, dan bahkan meneteskan darah dan merenggut jiwa. Untuk apa kekuasaan jika tidak mendatangkan ketenangan pada diri sendiri karena diperoleh dan ditegakkan dengan cara-cara yang tidak baik?

Respon pejabat negara yang menganggap suara kritis para guru besar itu sebagai partisan dan diorkestrasi merupakan pertanda betapa mereka tidak peka terhadap kegelisahan rakyat banyak. Begitu pula, jawaban normatif Presiden Jokowi “Itu hak demokrasi yang harus kita hargai” juga pertanda menurunnya kepekaan pemimpin terhadap apa yang sedang menjadi keresahan rakyatnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 jam lalu

Terpopuler