x

Sepasang pengantin menunjukkan buku pernikahan mereka setelah melangsungkan akad nikah di KUA Kecamatan Sukarame Palembang, Sumsel, Sabtu, 6 Juni 2020. ANTARA

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 26 Februari 2024 18:07 WIB

Menanti Hadirnya Kantor Urusan Semua Agama

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas merencanakan mengubah Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi kantor urusan yang melayani semua agama, terutama dalam pencatatan perkawinan. Bahkan aula di gedung KUA bisa dijadikan tempat ibadah umat nonmuslim. Sebuah terobosan positif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya dan pendeta Hindu.

Di saat perhatian orang tertuju pada penghitungan suara hasil Pemilu 2024 dan rencana usulan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu, ada terobosan baru dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Terlepas dari apakah terobosan ini untuk mengalihkan isu hak angket atau hanya sekadar melupakan kenaikan harga beras yang tak bisa dikendalikan pemerintah, yang penting terobosan ini positif. Apa itu? Menteri Yaqut merencanakan untuk menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai milik semua agama.

Jadi selama ini orang boleh disebutkan terkecoh karena KUA yang tak ada embel-embel nama agamanya ternyata betul milik satu agama yaitu Islam. Sama dengan Pengadilan Agama yang dimaksudkan ternyata pengadilan agama untuk umat Islam. Apakah Kementrian Agama juga seperti itu, tentu bukan. Nah, Yaqut memulai pelurusan itu dari lembaga terkecil, yakni KUA.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernyataan Menag Yaqut tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, pekan lalu. Hadir dalam rapat tersebut semua staf kementrian yang berurusan dengan agama Islam. Meski begitu, pernyataan penting ini didukung persetujuan oleh banyak orang, termasuk pimpinan majelis agama-agama di luar Islam.

Apa saja fungsi KUA yang diharuskan melebar ke agama lain? Yang utama adalah masalah pencatatan pernikahan. Selama ini KUA hanya mencatatkan pernikahan penduduk yang beragama Islam, sementara yang bukan Islam dipersilakan ke Kantor Catatan Sipil. Selain diskriminatif, aturan ini memberatkan umat non-Islam, karena Kantor Catatan Sipil hanya ada satu di kabupaten atau kota yang menjadi bagian dari dinas (bisa berbeda nama di setiap daerah) yang umumnya bernama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinas Dukcapil). Dinas ini berada di bawah pemerintah daerah dan rujukan ke nasional adalah Kementrian Dalam Negeri. Sementara KUA ada di setiap kecamatan yang rujukannya ke atas adalah Kementrian Agama lewat Kanwil Kemenag di setiap provinsi. Semua kecamatan, termasuk di Bali yang kaum muslimnya minoritas, ada KUA lengkap dengan kantornya. "Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang nonmuslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal itu seharusnya menjadi urusan Kementerian Agama," kata Yaqut.

Menteri Yaqut memang menyebut fungsi lainnya lagi yang diperlebar, yakni aula di gedung KUA bisa dipakai untuk beribadah umat nonmuslim. Pernyataan yang ini disambut biasa-biasa saja karena umumnya urusan beribadah itu bukan sekadar masalah tempat tetapi fasilitas pendukungnya yang memang tidak bisa disederhanakan untuk semua ibadah umat beragama.

Pertanyaan sekarang, apakah pernyataan Menag Yaqut itu sekadar wacana? Ada angin baik, tidak seperti wacana meninjau kembali Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag dan Mendagri soal pembangunan tempat ibadah yang tak kunjung dilaksanakan. Direktur Jenderal Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan di tahun ini pula, pihaknya akan meluncurkan KUA sebagai pusat layanan keagamaan lintas agama. "Segera kami launching KUA sebagai pusat layanan keagamaan lintas fungsi dan lintas agama," kata Kamaruddin.

Para pimpinan majelis agama menyambut terobosan Menag ini dengan antusias disertai harapan agar benar-benar bisa diwujudkan. Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat yang membidangi masalah hukum, Yanto Jaya, menyambut gembira. Memang, selama ini pencatatan pernikahan umat Hindu termasuk ribet sehingga banyak orang yang tidak memiliki akte nikah. Apalagi yang berada di pedesaan. Ongkos ke kota, belum lagi antre di Dinas Dukcapil, merepotkan. Sebagai ilustrasi, saya yang berusia sudah di atas 70-an tahun tak punya akte nikah. Dulu memang tidak wajib dan suatu ketika menjadi penting dalam berbagai urusan administrasi, misalnya, saat mencari kredit kepemilikan rumah, Syukur urusan ke Dukcapil itu bisa saya abaikan karena syarat administrasi itu cukup diganti dengan “surat keterangan menikah dari kepala desa dan kepala adat”. Akhirnya akte nikah dilupakan sampai sekarang, sudah terlanjur tua.

Pentingkah akte nikah itu? Pertanyaan ini menggoda. Rujukannya adalah Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974). Pada pasal 1 sudah menyebutkan bahwa perkawinan itu sakral karena “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 2 (ayat 1) menyebut “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Lewat pasal ini jelas bahwa tak ada hukum lain yang digunakan selain hukum menurut agama masing-masing. Masalahnya kemudian berkembang karena negara ikut campur tangan dalam masalah “pencatatan perkawinan” itu. Alasan utamanya menyangkut masalah administrasi yang berimbas pada bagaimana hak-hak mengenai anak, kedudukan waris, harta dan seterusnya. Maka pada pasal 2 (ayat 2) dibuatkan aturan dengan bunyi; “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Nah, aturan inilah yang kemudian membedakan bagaimana pencatatan perkawinan di kalangan agama Islam dan non-Islam. Umat muslim punya KUA jauh sebelum adanya UU Perkawinan sejalan dengan dibentuknya kementrian agama (departemen agama, saat itu). Bahkan cikal bakalnya jauh sebelum Indonesia merdeka dengan nama “lembaga kepenghuluan”. Jadi, begitu UU Perkawinan mengharuskan ada pencatatan perkawinan atau istilah populer sekarang akte nikah, maka KUA diberi tugas untuk itu. Sementara umat non-Islam yang pencatatan perkawinannya  berdasar agama dan adat dengan berlakunya UU Perkawinan maka tugas itu dimasukkan ke catatan sipil.

Kita sering mendengar ungkapan yang nyeleneh. “Kalau bisa dibikin ribet kenapa harus sederhana”, sebuah ungkapan yang hampir bernada putus asa. Jika seseorang sudah menikah, lalu memperbarui status kependudukannya lewat e-KTP dan Kartu Keluarga, bukankah identitas itu sudah cukup? Atau ditambahkan kolom-kolom lain dalam identitas yang digital itu, cukup lewat kantor kepala desa, lurah, paling jauh kecamatan. Bukankah sudah cukup, kenapa harus ada akte nikah segala? Ternyata memang dianggap tidak cukup jadi bukti otentik jika terjadi “sengketa keluarga” apalagi kasusnya sampai ke pengadilan. Jadi, akte nikah tetap diperlukan.

Dan di sini lalu muncul persoalan, ada yang tidak adil. Umat muslim punya KUA sampai di kecamatan, umat non-muslim tidak punya Dukcapil sampai kecamatan. Dan karena akte nikah harus ada – bagi sebagian orang desa diacuhkan saja – maka terobosan Menag Yaqut dianggap kabar baik. KUA siap melayani pencatatan perkawinan bagi umat non-muslim.

Bagaimana kira-kira teknisnya? Jika berpikir sederhana cukup di KUA itu ada kamar-kamar lain untuk agama non-Islam. Tinggal menempatkan staf sesuai dengan agama yang ada di wilayah KUA itu. Prioritas utama memang soal pencatatan perkawinan, karena ini yang bikin ribet. Karena kita tahu, fungsi KUA itu bukan cuma urusan mencatat perkawinan. Sejak 2016 ada sembilan rumusan fungsi KUA. Empat rumusan soal nikah dan rujuk, yakni pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan. Lima fungsi lainnya adalah terkait dengan layanan bimbingan keluarga sakinah, bimbingan kemasjidan, hisah rukyat dan berbagai bimbingan yang khusus dalam ajaran Islam. Sesuatu yang tak bersentuhan dengan umat nonmuslim. Bisa saja dengan KUA versi baru, umat nonmuslim menambahkan fungsi lainnya dalam lembaga yang langsung di bawah Kemenag ini.

Mari kita lihat apa yang terjadi nanti pada saat KUA berubah menjadi KUSA (kantor urusan semua agama). Yang penting keguyuban antarumat beragama tetap terjaga di negeri besar yang majemuk ini. ***

 

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu