x

Ilustrasi Boneka Politik. Karya Alex Yomare dari Pixabay.com

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 8 Maret 2024 07:16 WIB

The Real Opposition, Jawaban dan Pertanyaan

Apakah demokrasi kita jalankan sejak merdeka secara teknis praktis sudah sejalan dengan Sila ke-4 dari Pancasila? Apakah demokrasi yang berujung pada pemilu sudah menjadi penegakan nation building?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika Indonesia Nusantara sudah bisa dikatakan tua dalam kemerdekaannya namun cenderung muda dalam demokratisasi, maka dari sinilah ulasan di artikel ini saya mulai.

Dimana demokratisasi sebagai terminologi yang mengemuka di negeri ini mendapat ruang yang leluasa pasca tumbangnya era otoritairianisme sepanjang 32 tahun yang diriwayati mampu menggeser era pemerintahan Orde Lama yang berakhir pada 1965. 

Otoritarianisme yang lembut nan halus laksana benang sutera, mampu mengecoh dan men-stigma publik kebanyakan terhadap wajah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinyatakan tua dalam kemerdekaannya. Dimana semua harus terkesan sepadan demi tujuan stabilisasi yang sebenarnya menjadi celah terjadinya penyelewengan dalam sebuah konsensus pemerintahan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukankah hal ini yang harus dihindari dan perlu adanya kekuatan penyeimbang yang sebenarnya, bukan pula terkesan menjatuhkan, melainkan sebagai teman untuk mengingatkan bahwa segala sesuatunya ada batasan?

Dan dalam hal ini, teman yang ada di luar tersebut semustinya bersinergi dengan masyarakat, yang sebenarnya masyarakat itu sendiri lazimnya adalah oposisi pula.

Tatkala kita dingatkan, bahwa masyarakat itu sejatinya adalah 'The Real Opposition', maka masyarakat itu seharusnya memiliki sedikit ruang ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas segala sesuatu yang muncul dari segala bentuk inisiatif negara/pemerintah. 

Jikalau negara harus hadir bukan dalam rangka membatasi atau mengatur arah berpikir atau berpandangan, melainkan membuka ruang dimaksud dan memastikan alurnya berjalan dengan benar, dimana kata kuncinya adalah keadilan bagi keseluruhan, maka keseimbagan di segala aspek tatanan kehidupan bangsa dan negara ini, wajib ditegakkan. Seiring dan sejalan dengan landasan pada apa yang menjadi pijakan sebagai komitmen luhur bangsa dan negara pada awalnya. Yakni, ketika bangsa ini bercita-cita mewujudkan 'nation building-nation state' dengan 'the way of life'­-nya, sebagai komitmen yang sudah seharusnya ditindaknyatakan, dan haram untuk diingkari, apapun  dalih dan dalilnya.

Apabila demokrasi harus ditunjukkan pada arah yang benar, yaitu etika yang menekankan pada sebaik-baiknya keterbukaan dan keleluasaan untuk saling menghidupkan keragaman pandangan, bukan sekedar membatasi dan menyamakan melainkan penghargaan seluas-luasnya kepada siapapun yang berbeda, maka asas universalitas di atas latar belakang sejarah bangsa yang real ber-'Bhinneka Tunggal Ika' ini, wajib dikedepankan daripada yang hanya lebih berorientasi pada kekuasaan semata.

Sebab, tak perlu dipungkiri bahwa sepanjang sejarah perpolitikan di negeri ini, kata ‘demokrasi, politik-demokrasi kepartaian, trias politika’, dan lain sebagainya, dalam tataran praktisnya tak lebih hanya demi dan berorientasi pada kekuasaan, termasuk bagaimana melanggengkan sebuah kekuasaan yang telah tergenggam di tangan.   

Oleh karenanya, rekonsiliasi yang dalam hal ini dan yang dimaknai sebagai sebesar-besarnya legitimasi itu dibangun, bahkan dari yang kalah demi kestabilan, dan ujung-ujungnya malah terkesan demi mendapatkan kue, pasti tidak akan ada upaya yang mengingatkan bilamana suatu saat akan ada jurang yang membelenggu. Sebab, semua terkesan kenyang dan terlena terhadap enaknya kue tersebut. Begitulah tamsilnya.

Bukankah, rekonsiliasi itu diperlukan perdamaian dan persatuan dalam konteks universal untuk tidak saling membenci dan menyerang, untuk tidak saling bermusuhan hanya karena kemarin kalah-menang dalam kontestasi?

Sudah dipastikan, bahwa tidaklah indah bagi masa depan demokratisasi ke depan , apabila ketika yang kalah ditundukkan oleh narasi persatuan dengan bagi-bagi kekuasaan. Hanya berlindung di balik terminologi ‘rekonsiliasi’ belaka. Esensi dan orientasinya? Masih dalam bingkai ‘bagi-bagi kekuasaan’. 

Suatu oposisi yang solid, sebenarnya adalah wujud sikap dengan argumentasi kritis dan konkretnya mengingatkan dan membantu diskusi berpikir, menghadirkan alternatif logis rasional. Oposisi pun harus benar-benar menyatu dengan rakyat, dengan unsur mereka yang tidak terjamah oleh pemerintah agar dijembatani, bukan sekedar begitu diasumsikan salah langsung dijual untuk menjatuhkan pemegang mandat saat ini (incumbent).

Bukankah demokrasi itu memerlukan rekonsiliasi dan atau perdamaian yang justru tidak dalam rangka memecah belah maupun saling menyerang yang demi persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai One Nation Indivicible

Demokrasi yang memerlukan oposisi harus bisa ditunjukkan secara real bahwa ada ruang berbeda untuk saling mengingatkan dan juga membatasi. Sehingga kekuasaan yang murni dari rakyat tidak lantas dikelola sewenang-wenang, bukan?

Selanjutnya, apakah demokrasi yang telah dijalankan sejak kita merdeka, yang berujung pada Pemilu sebagai ajang seleksi penegakan Nation Building berlandaskan Pancasila, secara teknis praktis (mekanisme) itu sudahkah sejalan atau sudahkah pararel dengan Sila ke-4 dari Pancasila?

Dan ingat pula, bahwa Pancasila adalah komitmen bangsa Indonesia Nusantara yang wajib diimplementasikan ke dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa reserve. Agar tak terjadi pengingkaran terhadap komitmen bangsa dimaksud dalam praktik yang berwujud tindak nyata.

Maka, The Real Opposition tersebut harus dipahami bahwa,

  • Tidak percaya pada demokrasi,
  • Tidak percaya pada mekanisme Pemilu dalam penegakan Nation Bulding of Indonesia Nusantara,
  • Utamanya ketika mengaktualisasikan Sila Ke-4 yang esensinya adalah Musyawarah-Mufakat,
  • Bukan dengan jalan Pemilu yang sudah kali ke-13 ini dijalankan, yang menelan anggaran luar biasa fantastis dan spektakuler bila dibandingkan dengan anggaran lainnya yang secara nasional semustinya lebih diskalaprioritaskan.

Lantas, apa yang hendak dan yang telah dicapai serta didapatkannya?

‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ yang seharusnya menjadi muara akhir dari Nation Building of Pancasila ini, sedang menggantung kemana dan dimanakah gerangan berada?

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, Maret di hari ketujuh, Dua Ribu Dua Puluh Empat.

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler