x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 24 Maret 2024 07:34 WIB

Kajian Ramadan #13: Keseimbangan Hidup dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah

Dalam perspektif syari, semua aktifitas seorang muslim termasuk bekerja atau amalan-amalan sosial akan bernilai ibadah sepanjang diniyatkan karena Allah dan dilakukan dalam batasan-batasan syari, dalam arti tidak bercampur dengan maksiat dan kebathilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Islam, keseimbangan hidup merupakan salah satu ajaran yang disyariatkan, artinya diatur secara eksplisit didalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. Keseimbangan hidup ini bahkan nampak dalam totalitas kesejarahan Nabi Muhammad SAW, baik sebagai Rosul (utusan) Allah maupun sebagai pemimpin (sosial-politik) ummat.

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori misalnya dengan amat  terang Nabi Muhammad SAW menjelaskan bagaimana kedudukan dan aktifitas pribadinya sebagai manusia ketika beberapa sahabatnya bertanya tentang kebiasaan ibadah beliau.

“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” Demikian sabda beliau kepada para sahabatnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hadits tersebut mengisyaratkan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad SAW beribadah dengan wajar, tidak berlebihan, dan yang paling penting tanpa melupakan atau mengabaikan kebutuhan-kebutuhannya sebagai manusia. Sebagaimana lazimnya seorang manusia, Rosulullah juga melakukan aktifitas-aktifitas keseharian di luar ibadah (mahdhoh) yang dilakukannya.

 

Konsep Wasatiyah

Menjaga keseimbangan hidup ini sejalan dengan konsepsi Al Quran yang dikenal dengan konsep Wasatiyah (moderat). Konsep ini tertuang antara lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 143, “Dan demikianlah Kami menjadikan kamu (umat Islam), umat yang moderat (wasath), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.

Konsep Wasatiyah menekankan pentingnya umat Islam untuk mempraktikan dan mengembangkan sikap dan perilaku dalam kehidupan, baik individual maupun sosial, untuk selalu mengambil posisi tengah diantara dua kutub ekstrim. Misalnya dalam mengelola harta kekayaan.

Bahwa di dalam harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim terdapat bagian yang harus disalurkan untuk kepentingan amal dan membantu sesama manusia. Firman Allah di dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 267 misalnya memerintahkan setiap muslim untuk menafkahkan sebagian dari hasil usahanya di jalan Allah, bisa berupa zakat mal (harta), zakat fitrah, infaq atau sodaaqoh.

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.

Dalam konteks tersebut, seorang muslim dituntut untuk menghindarkan diri dari sifat kikir (satu ekstrim) dan juga dari sikap yang terlampau berlebihan atau royal (ekstrim yang lain). Bahkan dalam urusan berderma atau bersodaqoh sekalipun. Keduanya harus dilakukan dengan wajar dan proporsional. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Quran Surat Al Furqon ayat 67, “

“Dan (termasuk hamba-hamba Rabb Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.”

 

Ibadah dan Kerja

Demikian halnya dalam ruanglingkup yang lebih luas, yakni berkenaan dengan ibadah dan bekerja atau melakukan berbagai aktifitas dalam rangka memenuhi kebutuhan baik pribadi maupun sosial. Sebagaimana perintah Allah didalam Al Quran Surat Al Qashas ayat 77:

“Carilah bekal dan amal untuk negeri akhirat dan jangan lupa nasibmu di negeri dunia. Berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik untukmu. Jangan membuat kerusakan di dunia karena Allah tidak menyukai orang-orang membuat onar”

Demikian halnya dengan ibadah dalam pengertian mahdhoh (ibadah-ibadah khusus seperti Sholat, Baca Al Quran dan Puasa). Keseimbangan wajib dijaga. Ibadah sebagai bentuk penghambaan dan ketaatan kepada Allah adalah perintah syar’i. Tetapi memperhatikan kebutuhan fisik dan mental juga merupakan kewajiban individual yang harus ditunaikan.

Didalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Islam dengan tegas melarang hambanya berlebihan dalam ibadah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam satu riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menegur sahabat Abdullah bin Amru yang berlebihan dalam beribadah. Abdullah bin Amru selalu shalat sepanjang malam, puasa sepanjang tahun dan menghatamkan Al-Qur'an sepanjang malam.

Rosulullah kemudian menegur sahabatnya itu dengan mengatakn, “Jangan berlaku demikian, bangun dan tidurlah, puasa dan berbukalah, sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, sesungguhnya matamu memiliki hak atasmu, tamumu memiliki hak atasmu, dan istrimu memiliki hak atasmu. (HR. Imam Bukhari)

Hadits itu mengandung pesan agar seorang muslim senantiasa menjaga keseimbangan hidup keseharian antara lain dengan memperlakukan tubuhnya sendiri secara bijak. Bahkan juga hak isteri dan tamu yang wajib dipenuhi. Jangan karena alasan ibadah kemudian berbagai hak (tubuh untuk sehat, istri untuk dilayani kebutuhan-kebutuhan jasmani dan sosialnya, bahkan juga hak tamu untuk dilayani dan dihormati) terabaikan. Ini sama sekali bukan sunnah yang diajarkan Rosulullah.

Dan akhirnya, penting untuk difahami dan selalu disadari, bahwa dalam perspektif syar'i, bahkan semua aktifitas seorang muslim termasuk bekerja atau amalan-amalan sosial akan bernilai ibadah sepanjang diniyatkan karena Allah dan dilakukan dalam batasan-batasan syar'i, dalam arti tidak bercampur dengan maksiat dan kebathilan.

Wallahu 'alam bishowab. Semoga manfaat

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler