x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Racikan Demokrasi

Ilustrasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka berdirilah satu negara merdeka dan berdaulat, negara demokrasi Indonesia. Bercermin pada penderitaan masa lalu di bawah kukungan penjajahan bangsa asing sekian lamanya, mendorong para Founding Father memilih jalan demokrasi sebagai satu wajah sistem pemerintahan negara dan bangsa yang baik. Ini juga sebagai imbas dari semakin signifikannya bentuk kesadaran global bangsa-bangsa terjajah, terutama di kawasan Asia. Sebutkan saja kemenangan Jepang atas Rusia, pergerakan kebangsaan India dan Filipina, gerakan nasionalis  Rakyat Cina, pergerakan Turki Muda, dan pergerakan nasionalisme Mesir. Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme maka diawali dengan pembentukan identitas nasional yaitu dengan adanya penggunaan istilah “Indonesia” untuk menyebut bumi Nusantara ini. Istilah ini sejatinya pertama kali disebutkan oleh J.R. Logan dalam tulisan-tulisannya pada tahun 1850, semakin populer dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan kembali dikukuhkan dalam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno 17 Agustus 1945. Selanjutnya kesadaran nasionalisme kembali dikuatkan dengan perumusan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku pedoman penyelenggaraan negara Indonesia, yang seyogianya mengkondisikan terciptanya struktur dan sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia yang pluralis.

 Pluralisme kehidupan bangsa dan negara Indonesia ternyata menjadi satu problem tersendiri bagi eksistensi tumbuhnya kesadaran nasional dalam upaya penegakan demokrasi. Dalam tiap periode pemerintahan Indonesia terhitung dari presiden Soekarno sampai SBY di warnai isu dan gerakan penuntutan pemisahan diri dari NKRI, di antaranya: pemberontakan PKI di Madiun, pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemberontakan Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, tragedi Nasional GS30PKI, RMS, Operasi Papua Merdeka, dan yang paling memprihatinkan adalah disintegrasi Timor-Timur/Dili. Gerakan yang terakhir menjadi satu bentuk kegagalan bangsa Indonesia dalam mempertahankan persatuan negara dan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan hingga saat ini. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto menghantar bangsa dan negara Indonesia pada perjuangan dan pembenahan penegakan kembali demokrasi Pancasilanya yang sekian lama hanya jadi bayang-bayang pemerintahan sebelumnya. Era reformasi (bagi banyak kalangan) menjadi satu momen penegakan kembali, tidak hanya soal transformasi haluan penyelenggaraan negara, tetapi terutama penegakan emansipasi hak-hak masyarakat yang selama ini dibungkam. Reformasi dipercaya dapat menjadi solusi bagi bangsa dan negara ini. Nyatanya, era reformasi bukan satu capaian yang begitu sempurna, sebaliknya ia juga membawa satu kekuatan destruktif hanya oleh karena bias tafsir dan pelaksanaannya, yaitu perihal kebebasan. Tak heran sehari-hari kita disuguhkan dengan anarkisme dan kriminalitas atas nama kebebasan dan bahkan semua-semua yang berlangsung baik ataupun buruk selalu atas nama kebebasan (HAM). Jika pemaknaan demikian, tentu era reformasi akan menjadi satu racikan demokrasi Indonesia yang berdampak pada malapetaka persatuan bangsa dan negara.

Dewasa ini, perihal disintegrasi dalam tubuh bangsa dan negara Indonesia tidak hanya hadir dalam bentuk isu dan gerakan separatis, tetapi juga adanya perkotak-kotakan kehidupan sosial yang dibaluti klaim absolutisme mutlak dan anarkisme. Fragmentasi kehidupan sosial demikian lahir dan tumbuh dengan cita rasa agama, budaya, politik, etnis, dan sebagainya yang cenderung mengarah kepada etnosentrisme sosial. Ini menjadi riak-riak kecil yang kemudian dapat bertransformasi menjadi gelombang besar yang memecahbelahkan persatuan bangsa ini. Negara dalam hal ini pemerintah seolah dibuat tak berdaya atas masalah ini, jikalau tidak dikatakan lambat dan salah langkah dalam mengantisipasi dan menyelesaikan problem sosial ini. Jika periode pemerintahan sebelumnya salah langkah memperlakukan pluralitas Indonesia, maka era reformasi juga tidak mengakhiri persoalan tetapi justruh menjadi momen tumbuh dan berkembangnya isu dan gerakan diintegrasi bangsa atas dasar kebebasan sosial yang mutlak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Problem pluralitas dan diintegrasi sesungguhnya telah diantisipasi oleh periode pemerintahan pertama Indonesia. Ketidakstabilan penyelenggaraan negara pasca kemerdekaan mungkin menjadi pertimbangan bagi Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) sebagai upaya kontrol atas carut-marutnya penyelenggaraan negara saat itu. Ada tiga alasan yang menjadi landasan penerapan sistem Demokrasi Terpimpin yang salah satunya menanggapi isu dan pergerakan separatis. Tumbangnya Orde Lama kepemimpinan Soekarno, maka lahirlah Orde Baru (1965-1998) dibawah kekuasaan Soeharto mungkin menjadi satu sejarah panjang kekelaman demokrasi di Indonesia. Kemajemukan Indonesia sebisa mungkin ditekan dengan kekuatan militer guna mencapai stabilitas nasional dan pembangunan nasional yang menjadi priorotas. Kemajemukan (plurality) dipaksakan menjadi satu keseragaman (Uniformity). Di satu pihak, tindakan represif ini berhasil menggenapi prioritas pemerintah, namun di pihak lainya, memupuk rasa dendam yang kian besar dan mendalam oleh kelompok-kelompok sosial tertentu dari waktu ke waktu ibarat bom waktu yang tinggal menunggu momen untuk meledak. Akhirnya, realitas pluralitas menjadi semakin signifikan tidak hanya pada aspek jumlah kumulatifnya, tetapi juga kualitas kemajemukan kian menjadi nyata oleh karena pecahnya konflik pikiran dan perasaan untuk merealisasi kebebasan atau kewajiban menjalani realitas sosial dibawah tekanan negara. Ketika roda pemerintahan Indonesia kembali berputar dari totaliter ke arah reformasi, maka bom itu pun akhirnya meledak dan pemerintah harus bekerja keras menghadapinya karena taruhannya adalah persatuan bangsa dan negara Indonesia.

Wajah integrasi bangsa dan negara Indonesia dalam racikan demokrasi yang ditegakan dari masa-masa ke dihadapkan pada 2 pola kekuatan disintegrasi. Pertama, Kekuatan eksplosi yang ditandai oleh peledekan ke arah luar lingkaran persatuan bangsa dan negara Indonesia. Ini menjadi sejarah lama yang selalu ada pada masanya pada tiap periode pemerintahan NKRI semenjak diproklamasikan. Hadir kelompok-kelompok sosial yang bercorak geografis, agama, etnis, dan suku yang berupaya mencari ruang kebebasan / kemerdekaannya. Akar primodialisme menjelma menjadi kekuatan-kekuatan separatis dan disintegrasi. Awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia mengalami distabilitas penyelenggaraannya oleh karena kehadiran isu dan gerakan separatis di pelbagai daerahnya. Ini menjadi realitas alami yang mana bangsa dan negara Indonesia masih dalam taraf menggalang persatuan dengan mengkonstruksikan kesatuan-kesatuan sebagai pedoman dan landasan hidup bersama. Hal ini dialami sepanjang awal kemerdekaan Indonesia dalam era Orde Lama kepemimpinan Soekarno. Distabilitas negara baru menyediakan peluang yang masih memungkinkan untuk memisahkan diri dari NKRI oleh kelompok-kelompok separatis. Upaya kontrol dalam upaya menggalang persatuan ditindaklanjuti oleh Soeharto sebagai pimpinan Orde baru dengan intensitas yang jauh lebih ketat dan represif, jauh melampaui era pemerintahan sebelumnya. Pada era ini pula, bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang buruk memicu kemunculan gerakan separatis baru. Era reformasi sendiri sesungguhnya menjadi penebus dosa penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya sekaligus juga sebagai era yang tetap gagal menegakkan amanat kesatuan yang telah ditetapkan bersama awal kemerdekaan Indonesia sehingga mengakibatkan gerakan diistegrasi baru lainnya. Kedua, kekuatan implosi yang berarti adanya ledakan perpecahan hanya dalam lingkaran integrasi bangsa dan negara Indonesia. Sekalipun fenomena ini merupakan catatan lama dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia, tetapi kian signifikan di era reformasi yang telah mengedepankan kebebasan. Wajah-wajah baru kelompok sosial dalam bentuk partai politik, perkumpulan, serikat, komunitas, bentuk perkumpulan lainnya. UUD 1945 sebagai pedoman penyelenggaraan salah satunya juga menggarisbawahi ruang kebebasan pembentukan perkumpulan sosial dan juga hak berpendapatnya. Sayangnya, amanat UUD 1945 ini direalisasi dan dijalankan secara ambigu dan kerenanya menimbulkan satu soal dilematis oleh negara ketika harus meresponnya. Mengapa tidak, nyatanya ada kelompok-kelompok sosial yang dibentuk dengan benar secara konstitusional, tetapi arah penyelenggaraannya justruh memunculkan riak-riak kecil perpecahan dalam tubuh bangsa dan negara Indonesia, absolutisme dan anarkisme. Akar permasalahan, di antaranya: kepentingan politis, pincangnya supremasi hukum, pengabaian nilai / kepentingan, pembangunan nasional yang tidak adil, dan lainnya. Parahnya pemerintah sengaja buta melihat persoalan ini dan terkesan “mandul” jikalaupun menindaklanjutinya karena selalu ada kepentingan politis. Alhasil, stabilitas penyelenggaraan negara otomatis terancam dalam kontiunitas dan negara malah menyikapinya secara tidak tegas. Padahal negara dipercaya dan memiliki kewenangan untuk mengatur semua itu. Negara yang seharusnya menjadi institusi masyarakat yang punya tugas dan wewenang dalam menjaga persatuan bangsa dan negara Indonesia malah secara halus melakukan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Prioritas pembangunan nasional yang tidak merata menjadi satu bukti nyata kemandekan negara dalam menegakkan amanat kesatuan Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Bukti tindak diskriminasi lainnya, bagaimana mungkin sebagai satu kesatuan Indonesia, negara selalu membangun terminologi atas pembangunan nasional dengan jelas-jelas mengkontras antara barat dan timur.

Guna menumbuh-kembangkan persatuan bangsa dan negara ini, pemerintah tidak hanya cukup dengan mengumandangkan kesatuan negara ini, di antaranya: kesatuan sejarah, kesatuan geografis, kesatauan simbol negara, kesatuan ideologi negara, kesatuan bahasa, kesatuan UUD 1945, dan pelbagai bentuk kesatuan yang lain. Harus diingat bahwa pasca kemerdekaan Indonesia, kita oleh para tokoh bangsa dan negara dipersatukan melalui kesatuan-kesatuan dalam pelbagai aspek dengan harapan bahwa tumbuhnya kesadaran nasional oleh masyarakat Indonesia yang sedemikian pluralisnya sebagai satu bangsa dan negara. Sejatinya kemajemukan bangsa dan negara Indonesia menyiratkan sekian banyaknya perbedaan dalam tubuh dan bangsa ini yang berpotensi pada konflik dan perpecahan sehingga karenanya masyarakat Indonesia seyogianya disatukan dalam kesatuan-kesatuan yang diciptakan. Pluralitas adalah satu yang alamiah jauh telah ada sebelum negara dan bangsa Indonesia didirikan dengan pelbagai bentuk kesatuan dikemudiannya. Tugas negara adalah pengupayaan melalui manifestasi kehidupan sosial yang telah disiratkan dalam pelbagai bentuk kesatuan negara ini, Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai pedoman haluan penyelenggaraan negara Indonesia. Pada kesempatan pertama Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk perjanjian sosial dalam kontrak sosial pembentukan negara dan bangsa Indonesia. Hak-hak dalam realitas kemajemukan diorganisir secara proporsional dan berimbang dalam isi Pancasila dan UUD 1945. Masyarakat Indonesia dengan pelbagai kemajemukannya selanjutnya sepakat dan berpartisipasi di dalamnya karena percaya dan yakin adanya jaminan negara atas kelangsungan hidupnya. Ini proses paling pokok bagaimana kesadaran nasional itu dapat lestari dan berkembang. Kesamaan realitas sosial, seperti pengalaman sejarah senasib dalam penderitaan oleh karena bangsa penjajah, hanya menjadi aspek pencetus lahirnya kesadaran nasional yang harus diikuti dengan upaya pembangunan kehidupan sosial lainnya. Kita tidak bisa semata mendasarkan diri pada kesamaan kenyataan sosial demikian, karena yang paling fundamental adalah soal nilai-nilai budaya yang lebih dulu dan terinternalisasi pada masing-masing kelompok sosial di Indonesia sebelum berdirinya bangsa dan negara ini. Ini lebih pada jaminan kepentingan-kepentingan sosial yang berbeda dalam konteks kehidupan bersama dan Pancasila dan UUD 1945 telah menyiratkannya dan tinggal bagaimana pemerintah merealiasikannya. Sehingga paling penting bagi pemerintah Indonesia adalah bagaimana menerjemahkan secara baik dan benar kesatuan-kesatuan bangsa dan negara Indonesia dalam praktis penyelenggaraan negara dan bangsa Indonesia di tengah-tengah banyaknya perbedaan kelompok-kelompok sosialnya.

Talcot Parsons dalam karyanya The Social System (1951) dan Toward a General Theory of Action (1951) melihat bahwa persoalan sentral dari suatu masyarakat adalah tentang Alokasi dan Integrasi. Dalam konteks negara, alokasi mengacu kepada proses distribusi dan perolehan hak-hak oleh masyarakat, terutama dalam skema sosial-kolektif. Sedangkan integrasi sebagai konsekuensi distribusi dan perolehan hak-hak anggota masyarakat secara adil sehingga tetap mengkondisikan persatuan di dalam satu negara. Negara merupakan satu bentuk tatanan masyarakat yang bersatu dan menyepakati nilai-nilai bersama. Maka dari itu, ketidakadilan dalam alokasi manifestasi nilai-nilai bersama hanya akan mengakibatkan konflik dan perpecahan dalam tatanan masyarakat. Intinya adalah jika negara sungguh-sungguh menjamin hak-hak masyarakatnya secara adil, maka kekuatan eksplosi maupun implosi terhadap persatuan bangsa dan negara Indonesia perlahan akan surut. Ketika kumpulan individu dipandang sebagai satu kekuatan besar, maka negara harus pandai memenangkan hatinya. Entah dilandasi kesadaran bersama ataupun atas provokasi dari pihak tertentu, maka tidak ada masyarakat Indonesia yang terjerumus dalam gerakan disintegrasi bangsa dan negara dan mereka selalu dikondisikan membatinkan rasa nasionalisme jika negara betul-betul menjamin kelangsungan hidupnya. Inilah poin penting yang seharusnya ditekankan dan tidak harus perlu mencari perspektif lain dalam mengsolusikan problem ini. Racikan demokrasi demikian tentunya akan menguatkan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Tak perlu berpikir dan bertindak secara kompleks dan rumit, sederhana saja dan cukup menjamin kehidupan masyarakat Indonesia, hak dan kepentingannya.

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu