Sejarah Myanmar: Dari Kerajaan Kuno hingga Krisis Modern

Rabu, 13 November 2024 14:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini mengulas sejarah Myanmar, dari era kerajaan Pagan, kolonialisme Inggris, hingga perjuangan kemerdekaan. Setelah merdeka, Myanmar menghadapi konflik etnis dan kudeta militer. Reformasi politik 2011 memberi harapan demokrasi, namun kudeta militer 2021 kembali memicu krisis dan protes besar-besaran.

***

Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, memiliki sejarah yang kaya dan penuh liku, mulai dari kerajaan-kerajaan kuno, periode kolonialisme, hingga konflik politik yang terus berlangsung. Perjalanan panjang ini menggabungkan berbagai dinasti besar, perjuangan kemerdekaan, kediktatoran militer, serta upaya panjang untuk mencapai demokrasi. Artikel ini akan mengulas secara mendalam sejarah Myanmar dari masa kuno hingga krisis politik yang terjadi saat ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa Kerajaan Kuno: Kebangkitan Pagan dan Dinasti Kuno

Sejarah awal Myanmar dimulai dengan berdirinya Kerajaan Pagan pada abad ke-9. Pagan dianggap sebagai kerajaan pertama yang berhasil mempersatukan wilayah-wilayah yang sekarang menjadi Myanmar. Di bawah pemerintahan Raja Anawrahta, Pagan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-11. Anawrahta adalah penguasa yang memeluk agama Buddha Theravada dan berupaya menyebarkan ajaran ini di seluruh wilayah kerajaannya. Pada masa pemerintahannya, Pagan menjadi pusat spiritual dan kebudayaan, yang terlihat dari ribuan candi dan stupa yang dibangun di seluruh wilayah Pagan, khususnya di Bagan.

Namun, kejayaan Pagan tidak bertahan lama. Pada akhir abad ke-13, invasi dari Mongol di bawah kepemimpinan Kublai Khan menghancurkan Pagan, dan kerajaan ini runtuh. Setelah keruntuhan Pagan, wilayah Myanmar terbagi-bagi ke dalam beberapa kerajaan kecil yang bersaing satu sama lain, seperti kerajaan Ava, Hanthawaddy, dan lainnya.

Pada abad ke-16, Dinasti Toungoo menyatukan kembali sebagian besar wilayah Myanmar dan memperluas pengaruhnya ke seluruh Asia Tenggara, termasuk Thailand. Di bawah kepemimpinan Raja Bayinnaung, Dinasti Toungoo menjadi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara, membentuk apa yang dianggap sebagai imperium terbesar dalam sejarah Myanmar. Namun, Dinasti Toungoo akhirnya juga runtuh akibat ketidakstabilan internal.

Pada abad ke-18, Dinasti Konbaung berdiri dan kembali menyatukan Myanmar, kali ini dengan upaya modernisasi dan kekuatan militer yang lebih baik. Dinasti Konbaung juga terlibat dalam serangkaian perang dengan Kerajaan Siam (Thailand) dan Inggris, yang akhirnya akan membawa mereka ke dalam cengkeraman kolonialisme.

Era Kolonial Inggris: Perang Inggris-Burma dan Nasionalisme

Masuknya Inggris ke Myanmar dimulai dengan serangkaian Perang Inggris-Burma yang terjadi dalam tiga fase pada abad ke-19 (1824, 1852, dan 1885). Inggris, yang kala itu sedang memperluas kekuasaan kolonial di Asia, merasa terganggu oleh kekuatan Dinasti Konbaung dan menginginkan akses ke sumber daya alam yang kaya di Myanmar. Setelah tiga perang tersebut, Inggris berhasil menaklukkan seluruh wilayah Myanmar dan menjadikannya bagian dari Kekaisaran Britania pada tahun 1885.

Di bawah pemerintahan kolonial Inggris, Myanmar mengalami perubahan besar, terutama dalam hal ekonomi dan struktur sosial. Inggris membangun infrastruktur modern, termasuk rel kereta api dan pelabuhan, untuk memperlancar ekspor sumber daya alam seperti beras, kayu, dan minyak. Namun, kolonialisme juga membawa dampak negatif, seperti meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi. Banyak warga Myanmar merasa terpinggirkan karena posisi-posisi penting di pemerintahan dan bisnis cenderung dikuasai oleh orang-orang Inggris atau kelompok etnis asing lainnya.

Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme mulai tumbuh di Myanmar, dipimpin oleh kaum muda dan para pelajar yang terinspirasi oleh gerakan kemerdekaan di negara lain. Aung San, salah satu tokoh nasionalis terkemuka, menjadi salah satu penggerak utama dalam perjuangan melawan pemerintahan kolonial Inggris. Setelah bertahun-tahun melakukan perjuangan politik dan diplomasi, Myanmar akhirnya meraih kemerdekaan pada 4 Januari 1948, menjadi negara merdeka dengan sistem pemerintahan demokratis.

Periode Pasca-Kemerdekaan: Demokrasi, Ketidakstabilan, dan Kediktatoran Militer

Setelah merdeka, Myanmar mencoba membangun sistem demokrasi. Namun, ketidakstabilan politik dan konflik etnis segera menjadi tantangan besar bagi negara ini. Ketegangan antara kelompok etnis yang berbeda, termasuk suku-suku seperti Karen, Shan, dan Kachin, menyebabkan konflik yang berkepanjangan, sementara pemerintah pusat berjuang untuk mempertahankan kontrol atas seluruh wilayah Myanmar.

Pada 1962, krisis politik mencapai puncaknya ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta militer dan menggulingkan pemerintahan sipil. Ne Win kemudian membentuk pemerintahan militer yang represif dan menerapkan kebijakan ekonomi "Jalan Sosialisme Ala Burma" (Burmese Way to Socialism). Kebijakan ini menyebabkan kemerosotan ekonomi yang parah karena nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta dan penutupan Myanmar dari pengaruh internasional. Selama pemerintahan Ne Win, kebebasan pers dibatasi, dan setiap bentuk oposisi politik ditekan.

Pada 1988, ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi ekonomi dan pemerintahan yang represif memicu demonstrasi besar-besaran, yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888. Ribuan demonstran turun ke jalan, menuntut reformasi demokratis. Namun, militer merespons dengan kekerasan yang brutal, menewaskan ribuan demonstran. Pada tahun yang sama, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dibentuk dengan Aung San Suu Kyi, putri dari Aung San, sebagai salah satu pemimpinnya. Meskipun NLD memenangkan pemilu pada 1990, militer menolak mengakui hasilnya, dan Suu Kyi ditempatkan dalam tahanan rumah.

Reformasi Politik dan Tantangan Demokrasi

Setelah beberapa dekade berada di bawah kendali militer, pada tahun 2011 Myanmar mulai membuka diri dengan serangkaian reformasi yang dipandang sebagai langkah menuju demokrasi. Pemerintah militer menyerahkan sebagian kekuasaan kepada pemerintahan semi-sipil yang dipimpin oleh Thein Sein, seorang mantan jenderal. Reformasi ini mencakup pembebasan tahanan politik, kebebasan pers yang lebih besar, dan liberalisasi ekonomi.

Pada pemilu 2015, NLD di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan suara mayoritas, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, Myanmar memiliki pemerintahan sipil. Suu Kyi, meskipun dilarang menjadi presiden karena alasan hukum, menjabat sebagai "Penasihat Negara" dan memegang pengaruh besar dalam pemerintahan.

Namun, upaya demokrasi Myanmar menghadapi tantangan besar. Krisis Rohingya, yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, menarik perhatian internasional. Operasi militer terhadap Rohingya pada 2017 mengakibatkan ratusan ribu orang mengungsi ke Bangladesh, dan Myanmar mendapat kecaman dari berbagai negara dan lembaga internasional.

Kudeta Militer 2021 dan Krisis Politik Terkini

Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar kembali melakukan kudeta, menangkap para pemimpin sipil termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemilu 2020 yang dimenangkan oleh NLD. Kudeta ini memicu protes besar-besaran di seluruh negeri. Rakyat Myanmar, terutama generasi muda, turun ke jalan menuntut pemulihan demokrasi. Namun, seperti sebelumnya, militer merespons dengan kekerasan yang brutal, menewaskan dan menahan ribuan demonstran.

Krisis politik ini menempatkan Myanmar dalam posisi yang semakin sulit. Masyarakat internasional mengecam kudeta dan kekerasan yang dilakukan oleh militer, sementara banyak negara menerapkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Meskipun demikian, Junta militer masih mempertahankan kendali, dan upaya rakyat untuk memperoleh pemerintahan demokratis yang stabil masih terus berlanjut.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler