Mahasiswi semester 4 jurusan Hubungan Internasional di Universitas Singaperbangsa Karawang. Individu yang berorientasi pada detail dan memiliki minat yang mendalam terhadap isu-isu global.
Soft Masculinity, Kejantanan ala Asia yang Membius Dunia
Jumat, 16 Mei 2025 08:50 WIB
Soft masculinity hadir sebagai redefinisi maskulinitas—lebih lembut, penuh empati, dan jadi alternatif dari dominasi maskulin tradisional.
***
Dulu, maskulinitas seorang laki-laki selalu dikaitkan dengan otot, sikap tegas, dan kemampuannya menahan perasaan. Namun bagaimana jika yang memikat hati generasi muda saat ini justru laki-laki lembut yang penuh empati?
Arus globalisasi saat ini membawa kita pada pergeseran besar dalam cara maskulinitas direpresentasikan dan dipersepsikan. Mulai dari panggung K-Pop hingga layar anime, kemunculan figur laki-laki dengan maskulinitas versi baru ini semakin banyak digemari.
Sosok-sosok seperti Jeonghan SEVENTEEN dan Han Noah PLAVE atau karakter anime seperti Sugawara Koushi (Haikyuu!) dan Howl (Howl’s Moving Castle), menunjukkan bahwa menjadi laki-laki tidak harus selalu tampil tough dan bersikap dingin.
Istilah untuk fenomena ini adalah: soft masculinity, yang bisa disebut sebagai representasi baru dari maskulinitas yang jauh dari stereotip maskulin tradisional yang mengandalkan otot dan suara lantang, melainkan fokus pada kelembutan, kecerdasan dan kepekaan emosional. K-wave—dunia hiburan Korea Selatan—menjadikan hal ini bukan hanya sekadar tren, namun juga menjadi identitas budaya. Idola laki-laki disana tampil dengan kulit flawless, gaya berpakain penuh warna, gestur lembut, afeksi fisik yang terbuka, bahkan hingga menangis di depan publik.
Di Jepang, lewat budaya bishōnen—istilah yang digunakan untuk menggambarkan kecantikan androgini dalam anime, manga, dan media Jepang lainnya—okoh-tokoh bishōnen sering digambarkan dengan tubuh ramping, wajah halus, dan sifat lembut yang kontras dengan gambaran laki-laki tradisional yang keras dan dominan. Karakter seperti Armin Arlert dalam Attack on Titan atau Chigiri Hyoma dalam Blue Lock tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga menyampaikan kedalaman emosional, empati, dan refleksi diri yang jarang diberikan pada karakter laki-laki dalam narasi barat klasik.
Menantang Toxic Masculinity
Fenomena soft masculinity di Asia tidak muncul begitu saja, ini tumbuh dari budaya Asia yang sangat menekankan kesopanan, hubungan sosial, dan pengendalian diri yang berakar dari nilai-nilai Konfusianisme dan kolektivisme. Laki-laki diajarkan untuk mempertimbangkan perasaan orang lain dan menjadi penyeimbang, bukan hanya menjadi pemimpin dominan.
Jung dalam penelitiannya juga menegaskan bahwa figur laki-laki yang tampil feminin atau sensitif dalam budaya populer justru merepresentasikan ideal maskulinitas baru yang "aman," emosional, dan tidak mengancam. Dalam konteks ini, soft masculinity bukan sekadar respons terhadap globalisasi atau pengaruh feminisme, tapi juga hasil dari adaptasi nilai-nilai lokal terhadap tuntutan budaya populer global.
Kehadiran figur-figur ini seolah menjadi perlawanan simbolik terhadap maskulinitas toksik—konstruksi sosial yang selama ini menuntut pria untuk selalu kuat, dominan, dan tidak menangis, persis seperti kritik Connell & Messerschmidt terhadap maskulinitas hegemonik. Soft masculinity dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap itu semua. Para penggemar juga tidak melihat figur lembut laki-laki yang berani mengekspresikan emosi dan menunjukkan empati ini sebagai kelemahan, melainkan sebagai kekuatan baru dalam membangun relasi dan identitas.
Meskipun demikian, masih banyak orang yang memandang skeptis bahkan menolak pergeseran makna maskulinitas ini, berpendapat bahwa bahwa maskulinitas seharusnya tetap diasosiasikan dengan ketegasan, dominasi, dan ketahanan emosional. Bagi mereka, hadirnya figur laki-laki yang lembut dianggap sebagai bentuk “feminisasi” yang meresahkan, terutama ketika tampil dalam media populer yang menjangkau audiens muda. Ketakutan ini sering kali berakar pada konstruksi lama tentang peran gender yang kaku dan binaris, di mana kelembutan dan ekspresi emosional dianggap sebagai domain perempuan.
Mengapa Ini Penting?
Namun, representasi soft masculinity dalam media Asia justru menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti empati, kepekaan, dan estetika bukan hanya milik satu gender. Fenomena ini menjadi jalan tengah antara modernitas dan tradisi yang di satu sisi menawarkan alternatif terhadap maskulinitas agresif ala barat dan di sisi lain tetap mengakar dalam nilai-nilai kultural. Dalam konteks ini, Gauntlett menjelaskan bahwa media memainkan peran penting dalam membentuk ekspektasi dan norma gender, baik secara positif maupun negatif.
Fenomena ini terlihat jelas dalam budaya populer Asia, di mana muncul sosok-sosok laki-laki yang tidak hanya cakap secara emosional, tetapi juga menampilkan estetika yang sebelumnya dianggap “feminin” oleh standar maskulinitas konvensional. Mereka tampil rapi, lembut, terbuka terhadap perasaan, dan sering kali menjadi sumber kenyamanan bagi orang-orang di sekitar mereka—baik sebagai karakter fiksi maupun sebagai figur publik. Hal ini diharapkan mampu memberi ruang untuk memperluas definisi maskulinitas—bahwa menjadi laki-laki tidak harus selalu keras dan dominan, laki-laki juga bisa menjadi lembut, peduli, dan ekspresif.
Representasi ini menciptakan ruang penting bagi redefinisi peran gender, terutama bagi generasi muda yang tumbuh cultured dengan menyukai hal-hal lintas budaya yang tengah mencari cara menjadi diri sendiri tanpa harus terikat pada ekspektasi tradisional. Dari sekadar gaya berpakaian hingga cara menghadapi emosi, maskulinitas kini tak lagi satu warna. Ia bisa hadir dalam berbagai bentuk—dan semuanya sah.
Mungkin saatnya kita bertanya ulang: apakah empati dan kelembutan membuat laki-laki jadi kurang laki-laki-atau justru sebaliknya? Dan sudah saatnya kita mulai menerima bahwa tidak ada satu pun cara yang benar untuk menjadi laki-laki. Karena pada akhirnya, menjadi laki-laki bukan soal seberapa keras kamu bisa menahan air mata. Tapi seberapa besar kamu bisa memberi ruang untuk cinta, kelembutan, dan empati di tengah dunia yang keras ini.
Jadi, siapa idol atau karakter yang paling kamu rasa merepresentasikan maskulinitas lembut ini?
---
Referensi
- Oh, C. (2015). Queering spectatorship in K-pop: The androgynous male dancing body and western female fandom. Journal of Fandom Studies, 3(1), 59-78.\
- Jung, S. (2011). “K-pop, Indonesian Fandom, and Social Media.” Transformative Works and Cultures. https://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/view/289
- Connell, R. W., & Messerschmidt, J. W. (2005). Hegemonic masculinity: Rethinking the concept. Gender & society, 19(6), 829-859.
- Gauntlett, D. (2008). Media, gender and identity: An introduction. Routledge.

Mahasiswi S1 Hubungan Internasional
0 Pengikut

Soft Masculinity, Kejantanan ala Asia yang Membius Dunia
Jumat, 16 Mei 2025 08:50 WIB
Sentuhan Indonesia di Lagu Disney: Fakta Unik ‘You’ll Be in My Heart’ Versi Niki
Kamis, 1 Mei 2025 22:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler