Kala Datang dan Pergi

Minggu, 18 Mei 2025 10:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kala Datang dan Pergi
Iklan

Panorama imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra. Jelajah imajinasi.

Seru juga kale ya kalau bencana datang mendadak menggelegar gigantik. Titik api menjadi bara, letupan, ledakan besar, kembali kekacauan kadang disebut the reform, hiks, meski untung-rugi ada di semua pihak. Siklus menjadi putaran waktu. Para filsuf menulis titik balik. Logika bermain imajinasi di garis merah teori. Analisis membeku di mazhab-mazhab. 

Yak ellah, mazhabnya itu-itu lagi tak jauh dari filsafat teori, analisis astimasi logika. Iyau! Kagak pinter-pinter itu bikinan manusia, hapalan lagi hapalan lagi. Sementara Xpansi anonim non simbol-udah jadi dajal gigantik tinggal menunggu waktu. Glar!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Waktunya sudah tercatat."
"Kala itu terjadi."
'Wafatlah"
"Lantas?"

"Kau tahukan pilihannya."
"Ada dingin ada panas."
"Gawat. Keduanya mengandung unsur."
"Nah! Kau paham nampaknya."

Ada sangkala waktu loh mengawasi, setiap detik kapanpun mampu melibas apapun bersifat gelap merugikan kebaikan. Jangan sombong jadi manusia bakal mudah terserang stroke loh. Segala apapun bersifat hidup, telah dibatasi; hukumnya pasti.

Ambang batas zaman kebaruan akan terasa di ranah semesta original. Bukan takdir palsu buatan manusia dengan perangkap konflik memicu propaganda, lantas jadi proyek peperangan deh. Iyau! 

"Nah!"
"Terjadilah."
"Cocok kali."
"Ramailah."

"Provokasi ejaan."
"Rakayasa bacaan."
"Penyelamatan semu ungu."
"Seolah-olah naik kelas deh."

"Padahal saat itu sedang flu."
"Hahaha." Ngakak keduanya.
"Bintang jatuh dari awan-awan."
"Padahal mendung."

Enggak usah bangga-bangga amat dengan teori adobsi konspirasi-zaman lawas itu, cek aja sejarah nazi, barat piawai dibidang contek mencotek cuy wkwkwk-teori kuno loh itu-hobi amat perang sebatas pikiran manusia-enggak ada manusia enggak bisa mati cuy biar kate punya jimat bejibun-musrik tau, neraka loh, hiks.

Eksistensi harkat kehidupan seakan nol saat perang meletus serupa kisah pewayangan lah hai. Para drakula perang tak punya belas kasih (tapi takut mati) tengoklah sejarah dunia matinya diktator, kasian deh jadi sampah-di sejarah. Oh! Itulah hukum perang. Ups! Melawan lupa ya.; Ada Sang Maha Kuasa Pemilik Semesta. 

"So pasti maha tahu."
"Sejarah tak bisa bohong."
"Sekalipun membaca skenario baru."
"Skak!"

"Alahmak. Kemana pergi."
"Tak bisa sembunyi."
"Sekalipun di kolong meja."
"Pion kau termakan oleh kala."

Cinta, apakah masih ada di tengah peperangan, entahlah. Namun musim membuat pintu atas nama mungkin lebih terbuka pada ego individu ataupun kelompok, termasuk pelengkap tempat cuci tangan plus cuci muka. Singa menerkam kelinci. Heroisme menjadi euforia payung fantasi. Isme monorel satu arah hanya mampu memamah biak menambah api neraka untuk diri sendiri.

Wow! Jangan GR dulu. Ini obrolan negeri atas angin. Kalau provokasi pandir mendarat di antara situasi hidup. Makhluk sosial kehilangan keseimbangan daya rasional. Politik perang, ambigu di antara salah-benar pengkhianatan pada pesona gigantiknya mampu terbolak balik. Ketika kata politik berkomunikasi. Maka lahirlah perseteruan, persaingan, pergolakan, pengkhianatan, intimidasi, hipokrisi personal ataupun kelompok menuju publiknya. Aneh, pada satu bentuk istilah kata itu: Politik.

"Di sini letak cerita aslinya."
"Sekalipun katanya di sana."
"Alahmak masih saja bersuka muslihat."
"Dalam gelap tetaplah terlihat terang."

"Sekalipun kisah berulang."
"Tetap tampak bolong-bolong."
"Banyak mata sejarah."
"Banyak fakta sekalipun disimpan."

Meski tergantung dari sisi mana melihatnya menjadi relatif pada trans kata politik. Menentukan titik didih perjalanan individual, kelompok, lagi-lagi menuju massa, kalau kehilangan kontrol akan menjadi massal; perang tak manfaat rakyat merugi. Namun menjadi keseimbangan relatif kalau perang atas kehendak perlawanan pada mental kolonialisme adaptif di kemodernan kini. Sudah pada tahukan-nyata kutukan langit api datang ke Bumi. Eh! Halah! Manungsa.; Tuh! Semar mesem di balik gunungan langit. Manusia sombong diketawain Semar, tuh.

"Itu sebanya jangan membuat skrip sejarah."
"Semar penguasa langit."
"Jangan sampai di kentuti Semar."
"Rahasia langit akan membuncah."

"Oh! Gong! Dok! Dok!"
"Nong! Nong! Nong!"
"Siapa berbohong kualat." Wayang Semar menyentuh layar.
"Pertanda Batara Guru akan bersaksi."

Perang di bumi, kebrutalan di benua anonim, makar di sebuah negeri atas angin, invasi militer di negeri jauh bagai dongeng abstraksi dini hari. Invasi militer tampaknya penyakit invalid turunan. Tak semua hal terkait politik, diselesaikan melalui jalur perang. Diplomasi kan bisa, lebih murah.; Kalau masih percaya bahwa ada Sang Maha Pencipta, penentu kehidupan semesta. Catet neh, senjata perang ente bakal jadi permen karet dihadapan fitrah Ilahi. Udeh deh enggak usah kebanyakan gaya jadi manusia.; Sekali lagi hidup itu sudah dibatasi.; Masih berani membantah.

Perang bisa masuk pasar jual beli, kan memang begitu penyakit turunan bagi negara gemar perang; semoga tak terbelakang secara iman kemanusiaan meski maju di bidang tekno. Apakah tekno perang mengenal iman. Enggak tahu deh. Mungkin, kebenaran satu sisi gelap di sisi sebaliknya di rentang zaman berlari, di batas hidup manusia.

"Ho ho ho! Bojleng! Bojleng!"
"Kaum raksasa berani bersaksi."
"Waduh! Bimasena marah."
"Waduh! Bahaya!"

"Panggil Panakawan."
"Supaya Bimasena tak jadi marah."
"Cocok isme."
"Salaman."

Senjata menjadi penentu kematian dalam kisah-kisah sejarah peperangan. Kaum nomaden hingga monarki ke modern. Bharatayuda antar-isme, menjadi permainan percaturan politik idiom bagai aksara terbaca ataupun jungkir balik, serupa karakternya dari zaman ke zaman-kagak berubah kuy.; Seakan-akan dunia dibuat kiamat sesaat oleh perang-perangan icu deh. Kasian deh jadi manusia, ambisius namun sangat lemah-syahwat, mudah di adu domba; cek aja di teori-sejarah kapitalisme politik.

Nyanyian Panakawan.

Huru kaca kicu hura
Ra kata hura ra ra hu
Soool meeet wahhh
Hihhh huhh hiihh

"Tak uhui! Ela ele ela!"
"Truk! Sebaiknya tak usahlah ikut menyanyi."
"Suaramu seperti kaleng rombeng."
"Jus! Jes! Jus! Jes!"

"Bagong kalau tak bisa bisu aku diam loh."
"Hahaha salah omong ya."
"Romo! Ono Maling!"
"Hus! Ssst! Gareng selalu cari perkara."

"Biyung! Biyung Bocah! Bocah!" Suara Semar.
"Mati! Ada Dady." Ketiganya masuk ke kolong amben bambu.
"Berani bersuara siapa bertanggung jawab." Suara Semar
"We are Dady." Ketiganya bersimpuh di depan Semar.

Perilaku kultural berkembang dalam teknologi-sains, di era zaman terus mencipta manfaat nuklir ancaman menghancurkan diri sendiri. Wow! Teknologi  makhluk manusia serba terbatas tak jauh dari langkah kakinya. Kasian deh. Itupun kalau kultur edukasi tetap ada di ranah publik.

Sebelum bencana gigantik. Alam memiliki watak peranan amat khas. Dengarkan suaranya. Cium aromanya. Para pencinta alam mengerti hakikatnya. Jreng! 

***

Jakarta Indonesia, Indonesiana, Mei 17, 2025.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bronk

Minggu, 6 Juli 2025 17:50 WIB
img-content

Militerisme? Biarin Aja

Sabtu, 5 Juli 2025 14:29 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua