Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Maklumat Gus Dur 23 Juli 2001, Alarm Demokrasi yang Masih Relevan Hari Ini
Kamis, 28 Agustus 2025 06:58 WIB
Dari 2001 hingga kini, satu hal yang belum berubah: DPR yang lebih sering berpihak pada elit ketimbang rakyat kecil.
***
Tanggal 23 Juli 2001 adalah salah satu momentum paling dramatis dalam perjalanan demokrasi Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru. Pada dini hari pukul 01.10 WIB, masyarakat yang masih terjaga menyaksikan layar televisi di rumahnya dikejutkan oleh sosok Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan suara tenang namun tegas, Gus Dur mengumumkan sebuah keputusan yang mengguncang fondasi politik bangsa. Ia mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, membekukan Partai Golkar, serta mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dengan janji menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun.
Maklumat itu lahir di tengah ketegangan politik yang sudah memuncak antara Presiden dan parlemen. Sejak awal masa pemerintahannya pada 1999, Gus Dur memang menghadapi jalan terjal. Ia naik menjadi presiden melalui kompromi politik di Sidang Umum MPR dengan dukungan poros tengah, sementara suara rakyat pada pemilu 1999 justru menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang. Kondisi ini membuat legitimasi Gus Dur sering dipertanyakan. Parlemen yang seharusnya menjadi mitra kerja justru lebih sering menjadi lawan politik yang terus menekan.
Latar belakang konflik itu semakin tajam ketika muncul kasus Buloggate dan Bruneigate yang menyeret nama Gus Dur. Meski tuduhan-tuduhan itu tidak pernah terbukti secara meyakinkan di pengadilan, DPR menggunakan isu tersebut sebagai amunisi untuk mendesak pemakzulan. Hubungan eksekutif dan legislatif semakin panas. Di balik semua itu, sesungguhnya terdapat kegelisahan Gus Dur bahwa parlemen yang dihasilkan dari Pemilu 1999 masih dikuasai oleh kepentingan lama, terutama Partai Golkar sebagai pewaris kekuasaan Orde Baru. Dalam pandangan Gus Dur, Golkar tidak sungguh-sungguh menerima semangat reformasi, bahkan justru menghambatnya.
Maka pada dini hari 23 Juli 2001, Gus Dur mengambil langkah drastis. Ia ingin mengulang momen radikal yang pernah dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Bedanya, Gus Dur mengumumkan maklumat yang justru membubarkan parlemen dan partai politik tertentu. Dari segi konstitusi, langkah ini jelas sulit diterima. Namun dari segi moral politik, ia ingin memberi pesan bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan dirampas oleh elit yang lebih sibuk menjaga kursi kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.
Siangnya, pada 23 Juli 2001 pukul 13.00 WIB, MPR merespons dengan cepat. Sebuah Sidang Istimewa digelar. Dalam hitungan jam setelah maklumat diumumkan, Gus Dur secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Alasan yang digunakan adalah melanggar UUD 1945 dan bertindak di luar kewenangan konstitusional. Dalam sidang itu pula, Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat Wakil Presiden dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-5. Dengan demikian berakhirlah masa kepemimpinan Gus Dur yang hanya berlangsung sekitar dua tahun.
Sejak saat itu, perdebatan panjang tidak pernah padam. Ada yang menilai Gus Dur melakukan kesalahan fatal karena nekat mengambil langkah di luar konstitusi. Namun ada pula yang melihatnya sebagai upaya terakhir menyelamatkan agenda reformasi dari jeratan oligarki politik. Gus Dur sendiri tidak menyesali langkahnya. Baginya, maklumat itu adalah bentuk keberanian untuk melawan arus kekuasaan yang melupakan rakyat.
Dua puluh empat tahun telah berlalu, namun gema maklumat itu masih terasa relevan. Apalagi jika melihat perjalanan DPR hari ini yang seringkali dinilai menjauh dari aspirasi rakyat. Seharusnya DPR adalah rumah rakyat, tempat suara-suara kecil dari desa, dari pasar, dari kampus, dari pabrik, dan dari ladang bisa didengar lalu diterjemahkan menjadi kebijakan. Tetapi kenyataannya, banyak produk undang-undang yang lahir justru menyulitkan rakyat.
Kita bisa melihat contoh nyata dari lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang yang lahir dengan dalih membuka lapangan kerja dan mempercepat investasi itu pada kenyataannya memuat pasal-pasal yang melemahkan posisi buruh, mengurangi hak cuti, memudahkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja, bahkan membuka celah eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Aksi penolakan terjadi di berbagai kota, ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan. Namun semua protes itu seakan tidak berarti di hadapan DPR yang lebih mendengarkan kepentingan investor besar.
Contoh lain adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga yang selama ini menjadi harapan rakyat untuk memberantas korupsi justru dilemahkan oleh DPR. Revisi itu mengubah status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, mengurangi independensi, dan memberi ruang intervensi yang lebih besar dari pemerintah maupun parlemen. Akibatnya, kinerja KPK melemah drastis. Padahal korupsi adalah musuh utama rakyat karena menggerogoti anggaran pembangunan dan memperlebar kesenjangan sosial.
Belum berhenti sampai di situ, berbagai rancangan undang-undang lain yang sedang dibahas atau sudah disahkan juga menuai kontroversi. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana misalnya, yang beberapa pasalnya dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan berpotensi menjerat masyarakat kecil. Ada pula rencana revisi undang-undang pertanahan yang lebih berpihak pada korporasi dibanding petani. Semua itu menambah daftar panjang kebijakan legislatif yang lebih menguntungkan elit dan kelompok tertentu ketimbang rakyat.
Fenomena ini sesungguhnya mengulang pola lama yang sudah dikhawatirkan Gus Dur sejak awal. Ia menyadari bahwa transisi dari Orde Baru menuju Reformasi bukan berarti otomatis melahirkan parlemen yang pro rakyat. Banyak tokoh lama masih bercokol di Senayan dengan wajah baru. Partai politik lama seperti Golkar masih tetap dominan. Gus Dur melihat bahwa jika dibiarkan, parlemen akan kembali menjadi arena kompromi elit semata. Karena itu ia memilih jalan radikal, membekukan lembaga yang dianggap tidak lagi representatif.
Jika kita menengok kembali sejarah, sebenarnya tidak ada mekanisme dalam konstitusi Indonesia yang memberi kewenangan presiden untuk membubarkan DPR. UUD 1945 yang berlaku pasca Reformasi menegaskan bahwa presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bisa diberhentikan kecuali melalui proses hukum dan politik yang ketat. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara Dekrit Soekarno 1959 dan Maklumat Gus Dur 2001. Dekrit Soekarno masih bisa ditafsirkan sebagai jalan keluar dari kebuntuan konstitusi karena Konstituante gagal menyusun UUD baru. Sedangkan Maklumat Gus Dur tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Namun jika kita menilainya bukan dari sisi hukum semata, melainkan dari sisi moral politik, maka maklumat itu memiliki arti penting. Ia adalah alarm bahwa demokrasi yang baru lahir pada era reformasi sedang terancam oleh kembalinya dominasi elit lama. Ia adalah peringatan bahwa parlemen bisa menjadi alat kekuasaan yang berseberangan dengan kepentingan rakyat. Ia adalah simbol perlawanan terhadap politik transaksional yang mengabaikan suara orang kecil.
Kini, setelah lebih dari dua dekade, apa yang ditakuti Gus Dur seakan menjadi kenyataan. Kepercayaan publik terhadap DPR terus menurun. Survei demi survei menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga negara dengan tingkat kepercayaan paling rendah. Masyarakat melihat DPR lebih sibuk membicarakan isu kenaikan gaji anggota, fasilitas mewah, perjalanan dinas, serta proyek-proyek besar yang tidak menyentuh kebutuhan mendesak rakyat. Sementara itu harga bahan pokok melambung, pendidikan masih sulit diakses banyak anak bangsa, kesehatan belum merata, dan lapangan kerja layak masih menjadi impian.
Ketika rakyat menjerit, DPR justru sibuk mengesahkan undang-undang yang pro investor. Ketika rakyat menolak, DPR justru menutup telinga. Ketika rakyat membutuhkan keberpihakan, DPR justru menjadi bagian dari masalah. Kondisi ini membuat publik semakin apatis. Banyak yang akhirnya tidak lagi peduli pada politik karena merasa suaranya tidak akan mengubah apa pun. Padahal demokrasi yang sehat hanya bisa berjalan bila ada partisipasi rakyat.
Maklumat Gus Dur pada 23 Juli 2001 memang tidak pernah berhasil mengguncang parlemen secara institusional. Gus Dur kehilangan jabatan, tetapi warisan moralnya tetap hidup. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus berani menantang arus demi rakyat. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk memperjuangkan keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa lebih penting menjaga martabat manusia ketimbang sekadar menjaga stabilitas politik yang penuh kepalsuan.
Kita tentu tidak bisa lagi mengulang langkah Gus Dur. Konstitusi Indonesia sudah lebih jelas dan ketat. Presiden tidak bisa sembarangan membubarkan parlemen. Namun semangat dari maklumat itu harus terus dihidupkan. Semangat untuk mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh jatuh ke tangan segelintir elit. Semangat untuk menuntut agar DPR benar-benar bekerja bagi rakyat. Semangat untuk terus mengawasi setiap kebijakan agar tidak menyengsarakan masyarakat.
Pada akhirnya, kita bisa merenungkan sebuah kalimat Gus Dur yang terkenal. Ia pernah mengatakan bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Kalimat itu menjadi pengingat bahwa politik sejati bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi soal siapa yang terbela. Politik sejati bukan soal kursi dan jabatan, tetapi soal roti yang bisa dibawa pulang buruh ke rumahnya, soal tanah yang tetap bisa digarap petani, soal laut yang masih bisa menjadi sumber hidup nelayan, soal pendidikan yang bisa dijangkau anak-anak desa, dan soal layanan kesehatan yang bisa diakses ibu-ibu miskin.
Maklumat 23 Juli 2001 mungkin gagal menyelamatkan kursi Gus Dur, tetapi ia menyelamatkan martabat politik Indonesia dari kepalsuan. Sejarahnya masih hidup untuk mengingatkan kita semua. Bila DPR terus melupakan rakyat, maka rakyatlah yang pada akhirnya akan melupakan DPR. Bila parlemen terus berpihak pada elit, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri untuk bersuara. Dan bila demokrasi terus dikhianati, maka sejarah akan melahirkan kembali sosok-sosok berani yang siap menantang arus, sebagaimana pernah dilakukan Gus Dur.

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler