x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pokoknya Perubahan

Perubahan tak harus revolusi. Tetapi cukup berevolusi dalam kompak memprioritaskan kepentingan bersama, dan menolak bentuk-bentuk politisasi dalam sistem sosial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan Indonesia kalau bukan berideologi Pancasila dan berpedoman Undang-undang 1945. Topik persoalan bangsa dan negara ini seakan tak lekang oleh waktu dan karenanya selalu menarik untuk didiskusikan. Beberapa hari yang lalu, masyarakat Indonesia tengah menyelenggarakan perhelatan akbar, pesta demokrasi, Pemilihan Umum  Presiden Republik Indonesia yang ke-7. Jika analogi yang dipakai “pesta” berarti ada nuansa suka-cita di sana. Ya, rakyat Indonesia bersuka-cita dalam partisipasinya dalam memilih pemimpinnya 5 tahun ke depan. Dalam rasa suka-cita demikian terselip besarnya harapan akan satu bentuk perubahan yang akan dilahirkan dari pemimpin yang terpilih. Masyarakat bersuka-cita karena momen ini menjadi satu titik balik yang punya andil besar dalam menentukan arah dan tujuan kehidupan sosial bangsa dan negara Indonesia, ada perubahan dari situasi dan kondisi kini mengarah kepada yang idealis. Ternyata, kata “perubahan” bagi bangsa dan negara Indonesia menjadi satu bentuk realitas sosialnya yang paling diidam-idamkan sepanjang waktu. Jelas bahwa stagnansi roda kehidupan demokrasi bangsa dan negara ini secara kontinu menjadi lembar sejarahnya dari waktu ke waktu telah melahirkan satu bentuk kerinduan yang sedemikian dalamnya  bagi mereka, tiap-tiap pribadi masyarakat Indonesia yang terus jauh dari harapan idealis. Keparahan sosial, kalau memang tidak benar-benar rusak, ada dalam setiap bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Kemiskinan, konflik dan kekerasan, diskriminasi, insupremasitas keadilan dan hukum, dehumanisasi, pelanggaran HAM, dan masih banyak lagi bentuk dekonstruksisasi pola pemerintahan demokrasi bangsa dan negara Indonesia. Di antaranya saja terhitung hingga tahun 2013, angka garis kemiskinan menembus 289 041, 91 (kota) dan 253 273, 31 (desa), tingkat pengangguran mencapai 7 388 737, akses pendidikan hanya mencapai 80%, tindak pidana mencapai 256.431, dan lainya yang mana taraf perkembangan dan penyusutannya relatif kecil dan statis. Secara keseluruhan indeks pembangunan manusia Indonesia masih 65,86 %.*(Data Badan Statistik Republik Indonesia Tahun 2013).

Ralf Dahrendorf, seorang sosiolog Jerman, dalam karyanya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), menekankan bahwa satu sistem sosial tidak laten berjalan dalam satu nuansa stabilitas dan integrasi oleh karena adanya penekanan pada konsesus nilai normatif. Sebaliknya, ia menyatakan kehadiran satu sistem sosial selalu rentan akan perubahan oleh karena munculnya konflik dan pertentangan dalam relasi kekuasaan, antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Model ini kiranya cocok menggambarkan secara tepat sejarah perjalanan bangsa dan negara Indonesia yang senantiasa mengalami transformasi pemerintahan dan kehidupan sosialnya semenjak kemerdekaannya dan bahkan kemerdekaan itu sebagai wujud perubahan. Tapi di sini kita membatasi pemahaman kita pada konteks Indonesia sebagai satu bangsa dan negara yang berdaulat karena demokrasi dan corak implementasinya sebagai satu dasar sistem sosial yang telah berlangsung secara periodik hingga kepada situasi dan kondisi kini yang jelas juga menjadi permasalahan, bukannya dalam tingkatkan masih diperjuangkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Jelas bahwa, perubahan-perubahan tersebut tidak lebih merupakan final dari proses konflik dan pertentangan yang telah terjadi antara pihak penguasa dan kelompok masyarakat Indonesia atau pihak yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia. Kendati ada unsur politisasi dalam konflik dan pertentangan demikian, tetapi setidaknya tetap mencerminkan bahwa  perubahan sistem sosial bangsa dan negara Indonesia relatif ada dan berkembang dalam waktu dan tempatnya. Apalagi dalam taraf perkembangan bangsa dan negara Indonesia secara bertahap menjadi negara Industri tentunya menjadi satu tugas besar bagi pihak-pihak revolusioner dalam merumuskan bentuk-bentuk perubahan sosial yang sedemikian kompleksnya untuk diperjuangkan. Pertanyaan besarnya adalah bentuk perubahan apakah yang dimaksudkan masyarakat Indonesia dalam sistem sosialnya yang bercorak demokrasi?

Semenjak kemerdekaannya 17 Agustus 1945, Indonesia mendaulatkan diri sebagai negara demokrasi. Para founding father bangsa dan negara ini memilih sistem demokrasi oleh karena pengalaman penderitaan masa lalu di bawah jajahan bangsa asing yang nyatanya mendehumanisasi masyarakat Indonesia. Demokrasi sebagai pilihan karena kepercayaan bahwa sesungguhnya setiap manusia diciptakan sederajat; bahwa manusia dikarunia oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tidak dapat dipisahkan darinya, yang mencakup: hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Demokrasi mengisyaratkan terbentuknya negara dengan persetujuan rakyat yang diperintah. Di satu pihak, para founding father bangsa dan negara Indonesia dapat dilihat sebagai para revolusioner yang mencetuskan perlunya perubahan sosial dengan orientasi ideologis demokrasi dan perjuangan merealisasikannya. Akan tetapi di lain pihak, justruh mereka menjadi Kings dalam relasi kekuasaannya. Apa yang dulu mereka perjuangkan kini diabaikan demi kepentingan individu maupun kelompok tatkala mereka mendapatkan legitimasi otoritas. Siklus ini menjadi satu realitas sosial-politik dalam sistem sosial bangsa dan negara Indonesia yang berlangsung secara permanen. Setidaknya realitas sosial-politik inilah yang oleh Robert Michels, ahli teori Jerman disebut sebagai “Hukum Besi Oligarki (Iron Law of Oligarchy)”. Suatu organisasi demokratis dibentuk untuk memperjuangkan satu bentuk perubahan sosial bagi kepentingan anggotanya. Namun, lambat-laun orientasi organisasi tersebut tidak benar-benar demi tercapainya tujuan kolektif, tetapi cenderung mengarah pada kepentingan kelompok dalam struktur kepemimpinan yang dipercaya dapat berperan dalam memperkuat kekuasaan mereka dan mempertahnkan posisi elitnya. Bangsa dan negara Indonesia dalam tiap periode pemerintahannya selalu mencerminkan kecenderungan ini hingga sampai pada satu titik hilangnya bentuk kepercayaan masyarakat Indonesia atas satu bentuk organisasi demokratis dan perjuangannya. Perjuangan demi perjuangan bahkan revolusi yang menelan jiwa anak bangsa dan harta berujung pada satu perubahan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Lantas penyelenggara bangsa dan negara yang telah dipercaya masyarakat Indonesia lantas membentuk lingkaran elit yang sulit ditembus karena ada legitimasi secara politik dan hukum serta ancaman represif secara militeris. Intensitas revolusi perubahan sosial perlahan dikikis oleh realitas hasil perubahan sosial itu sendiri yang tak jauh berbeda hasil dari sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah krisis kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap para penyelenggara bangsa dan negara, juga terbesit kerinduan yang mendalam akan satu bentuk perubahan sosial yang positif, sekalipun itu perubahan segmental dan temporal. Inilah psikis sosial masyarakat Indonesia yang sengaja juga dimanfaatkan para elit melancarkan aksi pencitraan semu guna mendulang simpati dan suara dalam legitimasi satu kepentingan elit. Bahwa kemudian masyarakat Indonesia perlahan memaklumi pola perilaku politik para elit sejauh mereka juga memperoleh keuntungan darinya. Semacam terbentuk relasi timbal-balik temporal yang saling mengutungkan walaupun di satu sisi tingkat kerugian yang diterima oleh masyarakat jauh lebih besar nantinya. Akumulasi tingkat kekecewaan masyarakat terhadap sistem pemerintah bangsa dan negara secara drastis meminimalisir rasa nasionalisme mereka terhadap bangsa dan negaranya, dan justruh mengoptimalkan kepentingan individu atau kelompok masing-masing. Bangsa dan negara Indonesia terbagi dalam kelompok-kelompok kepentingan baik bercorak agamawi maupun sekuler yang berusaha mengais keuntungan dari kebobrokan sistem pemerintahan Indonesia yang ada. Masing-masing memperjuangkan kepentingannya masing-masing tanpa peduli pada lainnya. Di satu sisi, kategorisasi oleh masyarakat Indonesia ini sendiri sebagai cerminan rasa keniscayaan mereka akan satu perubahan total yang lebih baik dan di lain sisi, mereka harus memperjuangkan hidupnya agar tetap survive dalam tekanan sistem sosial, yaitu dengan cara berpihak pada para elit kekuasaan. Kondisi ini pun didukung oleh para elit kekuasaan dalam meredam pemberontakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dengan cara menjamin kepentingan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat sehingga aksi-aksi revolusioner dapat diredam. Artinya, masyarakat Indonesia tidak mengalami satu bentuk perubahan sosial secara keseluruhan dan total karena perubahan sosial itu terjadi secara segmental dalam kelompok-kelompok sosial tertentu. Ini menjadi sangat strategis dan efektif ketika para elit melayani kepentingan secara adil baik terhadap lingkarang elit itu sendiri dan kelompok masyarakat parsial sehingga para elit kekuasaan tersebut tidak harus bekerja keras dan berkorban lebih dalam melayani semua masyarakat. Jelas bahwa, berlaku “Hukum Besi Oligarki” Michles bahwa sejak awal para elit hanya menekankan impian akan kekuasaan ketimbang kesadaran akan pelaksanaan otoritas yang diemban. Strategi elit kekuasaan demikian menjamin legitimasi kekuasaannya dan itu menjadi gambaran sistem sosial bangsa dan negara Indonesia dewasa ini. Sesungguhnya terdapat sejumlah variabel lainnya yang dapat dijadikan sebagai indikator guna mengkaji bentuk dan intensitas perubahan sosial yang cenderung bersifat parsial. Persepsi yang dikonstruksikan oleh kelompok-kelompok pro-elit ini adalah lebih baik bagi mereka mendukung sistem sosial yang ada dan karenanya mendapatkan keuntungan dari keberpihakan demikian.

Merunut pada sejarah panjang perjalanan bangsa dan negara Indonesia, perubahan sosial selalu ada dalam tiap periode pemerintahan, dari Soekarno hingga kepada SBY. Poin yang seharusnya ditekankan bukan soal ada-tidaknya satu bentuk perubahan tetapi lebih kepada bentuk, intensitas, dan cakupan perubahan itu sendiri. Indonesia sebagai satu negara berdaulat yang memiliki tingkat keluasan yang tinggi baik secara sosial-budaya yang ditandai oleh pluralitasnya maupun lingkup geografisnya yang terdiri atas pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan yang luas. Enam puluh tahun bukannya tidak bisa para penyelenggara bangsa dan negara dapat membentuk satu kehidupan yang membaik dari waktu ke waktu. Kendala besarnya pluralitas kehidupan sosial-budaya maupun lingkup geografis merupakan satu alasan klasik jika dibandingkan dengan sekian lamanya bangsa dan negara Indonesia berdiri. Yang jadi persoalannya adalah adanya satu good will dari para penyelenggara untuk berkomitmen dan  bekerja membangun bangsa ini. Jika lini atas demikian, maka lini bawah (masyarakat) juga terjebak dalam primodialitas tinggi sehingga hilangnya rasa persatuan dalam kesatuan untuk mau berubah secara bersama. Roh demokrasi Indonesia adalah bagaimana pemerintah hadir sebagai pengayom dan artinya, segenap masyarakat Indonesialah yang punya peran besar dalam mengusahakan perubahan sosial yang lebih baik dalam hidupnya. Ironisnya, status dan peran tertentu dalam  kehidupan sosial masyarakat Indonesia justruh tidak didasarkan pada demokrasi itu sendiri tetapi pada acuan primodialisme kelompok mayoritas dan kelompok minoritas harus menerima itu. Ini tidak lebih merupakan bentuk legitimasi budaya terhadap struktur sosial-politik. Ini juga merupakan bacaan dan penghayatan yang salah terhadap esensi dan eksistensi inti demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukan berintikan pada mayoritas sebagai pemenang dan minoritas menerima kekalahan, tetapi lebih dari itu demokrasi berarti ada konsensus sosial yang melegitimasi adanya persamaan hak dan kewajiban, jaminan perbedaan, dan kesejahteraan sosial. Ketika ada konsesus berarti ada jaminan bahwa segala yang diputuskan memang adil untuk diterapkan pada segenap masyarakat tanpa melihat perbedaan di dalamnya. Tekanan yang salah pada demokrasi itu sendiri justruh berkonsukuensi pada munculnya konflik kepentingan dalam upaya prioritas lewat jalan demokrasi semu. Jika cara berdemokrasi yang demikian kita kedepankan maka niscaya bangsa dan negara ini dapat bertransformasi sosial secara total dan menyeluruh. Perubahan sosial total gagal direalisasikan sepanjang masih ada prioritas dan konflik kepentingan baik secara vertikal maupun horizontal. Bentuk-bentuk konflik ini dapat dikategorikan dalam kategori “konflik realistik” dan “konflik nonrealistik” seturut pemikiran sosiolog Jerman, Lewis Coser dalam bukunya The Functions of Social Conflict (1956). Konflik realistik selalu diarahkan kepada obyek yang menjadi sumber konflik itu sendiri. Ada transparansi sumber konflik dan memungkinkan terbukanya akses terhadap penyelesaiannya secara tepat dan efektif serta terkondisinya perubahan sosial atas kesepakatan bersama. Sebaliknya, para elit maupun masyarakat bangsa ini bermain sangat cantik menghadirkan pelbagai bentuk konflik yang justruh tidak dapat teridentifikasi sumber sesungguhnya hanya karena ada pola penunggangan kepentingan tersembunyi di dalamnya. Dalam kehidupan sosial bangsa dan negara Indonesia terimplisit sejumlah kepentingan-kepentingan yang berlandaskan agama, budaya, ekonomi, politik, yang tidak menampilkan satu corak kehidupan demokrasi atas dasar konsensus bersama. Inilah kepentingan laten yang membuahkan konflik-konflik laten yang memang akan sulit diselesaikan karena ketiadaan transparansi. Pola yang terus dilakoni adalah kemenangan selalu berada di tangan pihak mayoritas dan yang berkuasa tanpa mengedepankan satu pola kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai normatif yang dihayati dan diamalkan. Keterpendaman satu bentuk konflik laten setidaknya membawa 2 konsekuensi: pertama, putusnya hubungan antara pihak yang berkonflik. Konflik laten yang berlarut-larut tanpa ada solusi yang jelas bahkan memperjelas domain perbedaan masing-masingnya. Kemudian ada proses generalisasi konflik terhadap segala aspek kehidupan satu sama lainnya. Dalam arti yang apapun yang dilakukan satu kelompok entah mengandung kebaikan sekalipun, secara permanen tetap dilihat secara pesimis dan cenderung dianggap  bertentangan. Sehingga sesungguhnya perbedaan memang berpotensi konflik kalau tidak dikelola secara baik, tetapi justruh konflik itulah yang mempertegas perbedaan satu sama lainnya. Fanatisme yang sedemikian tinggi dalam konflik laten justruh sulit mengstimuli satu perubahan bersama. Diskriminasi menjadi satu hal yang paling nyata dalam kehidupan sosial bangsa ini sekalipun kita adalah satu bangsa negara yang namanya Indonesia. Hal ini dikarena kita kehilangan namanya rasa persatuan karena kita tengah berada dalam konflik laten yang berlarut-larut. Rasa bersama sebagai bangsa dan negara yang satu hilang karena putusnya hubungan sosial satu sama lainnya. Ironisnya, di bangsa dan negara ini, realitas demikian tidak hanya berlangsung pada lini atas dalam relasi kekuasaan vertikal, tetapi juga ada pada lini bawah dalam kesetaraan relasi horizontal  yang idealnya dikehendaki demokrasi. Kedua, intransparansi konflik laten dilakoni sebagai upaya menjaga kesatuan Indonesia yang telah digarisbawahi secara ideologis dan istitusional. Masing-masing pihak mengelakkan perasaan bermusuhan dengan mengungkapkannya dalam bentuk ekspresi alternatif lainnya yang bisa diterima. Sistem sosial mayoritas maupun minoritas, elit maupun subordinat telah diresapi oleh perspektif semacam ini. Sepintas hal ini sangat penting bagi satu bentuk kesatuan Indonesia, tetapi nihil rasa persatuannya hanya karena ada poin ketidakadilan di sana. Masyarakat bangsa ini sudah bertahun-tahun lamanya memainkan drama sosial ini dengan penuh tekananan terutama bagi mereka, individu maupun kelompok yang merasa dipecundangi. Dikatakan sebagai drama karena semua kita sukarela melakoni peran masing-masing sesuai harapan sistem sosial yang dibentuk, kalau memang tidak mau disebut munafik satu sama lainnya. Mungkin benar apa yang telah dikatakan putera bangsa ini, Mochtar Lubis dalam karyanya “Manusia Indonesia”, bahwa salah satu kelemahan masyarakat bangsa ini adalah lemah karakternya karena mungkin bangsa ini hidup terlalu lama di bawah tekanan para penjajah. Jelas, hal ini pun menjadi kendala bagaimana satu sistem sosial bergerak ke arah perubahan total yang lebih baik kendati masih jauh dari sempurna.

Era reformasi sebagai satu titik balik transformasi sosial yang sangat dan amat diharapkan masyarakat ini tak lebih hanya sebagai topeng baru bagi Sang Indonesia. Era reformasi sabagai hasil revolusi yang akhirnya mengorbankan anak dan harta sendiri itu hanya menjadi satu home work yang telah dirampungkan anak bangsa ini meskipun dibayar nyawa. Satu generasi telah membawa satu perubahan sosial hanya karena ada solidaritas bersama. Saya dan anda, kita semua justruh tidak menghormati para pahlawan reformasi dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk menapaki satu perubahan yang lebih baik karena segera setelah reformasi kita menjadi individu atau kelompok berjalan secara sendiri-sendiri dengan peran dan prioritas kepentingan parsial. Sejatinya betapa sulit satu bentuk perubahan sosial total bangsa dan negara ini lahir dari serentetan teladan dan pembangunan karaktek manusia Indonesia yang tidak demokratis. Semenjak mencapai kemerdekaannya, demokrasi itu diperlakukan secara keliru atau bahkan jauh dari spirit demokrasi itu sendiri. Terjebak dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno, jatuh dalam pemerintahan Otoriter Soeharto, dan terpecah belah oleh kepemimpinan pasca reformasi. Salahnya di mana? Letak kesalahannya ketika para elit yang sesungguhnya sebagai ujung tombak demokrasi itu sendiri menyajikan satu realitas sosial-politik yang ditonton oleh masyarakatnya sendiri. Diskriminasi dan ketidakadilan menjadi satu realitas yang menembus aspek kesadaran dan mempengaruhi perspektif manusia Indonesia bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya sampai kepada puncaknya yaitu hilang kesadaran dan solidaritas antar masyarakat dari Saban sampai Mauroke. Ketika para pemimpin bangsa ini gagal mengayomi, maka kesadaran akan ego individual atau kelompok hadir sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya dan bila harus mereka terlibat konflik untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Istilah anak emas mungkin jadi terminologi paling pas bagi para pemimpin bangsa ini dalam mengedepankan demokrasi, katanya. Pembangunan nasional yang bersifat spiral dan tumpul ke Timur menjadi wujud fakta yang dipaksakan untuk diterima. Ternyata, politik devide et imprera  ini sangat dipahami oleh para elit dan lingkarannya sehingga dimanfaatkan untuk memperoleh legitimasi kekuasaan atau sekedar mempertahankannya. Alhasil, janji iming-iming pembangunan parsial yang diprioritas untuk kepentingan elit dan tidak bersifat adil. Apalagi jiwa demokrasi yang dianuti mayoritas sebagai pemenang, maka lengkaplah penderitaan bangsa ini. Alur drama sosial bangsa dan negara ini senantiasa diperankan dari waktu ke waktu sehingga niscaya ada rasa solidaritas bersama masyarakat bangsa ini untuk saling berempati untuk saling bahu-membahu menggapai namanya perubahan sosial total. Sehingga pro-kontra dukungan terhadap kepentingan publik di Indonesia tergantung sejauh kepentingan itu punya dampak perubahan positif atau negatif terhadap pendukung atau penolaknya. Tebakannya jelas,  dalam kapasitas sebagai mayoritas suara terbanyak maka kepentingan itu akan terlegitimasi dan mangabaikan kepentingan yang tak sejalan dengannya. Ini juga menjadi persoalan karena namanya demokrasi sekurang-kurang ada keadilan minimal dalam konsesus bersama, bukan atas suara terbanyak lantas menang dan harus diterima secara menyeluruh. Oleh karena itu, selama masih ada politisasi lingkaran elit dalam aspek pembangunan nasional maka niscaya satu perubahan sosial total dan menyeluruh dapat terealisasikan.

“Perubahan sosial” itu sendiri menjadi satu konsep yang sangat umum dan hadir dalam banyak wujud dan bentuk, bisa konstruktif atau desktruktif, bisa positif atau negatif, dalam wujud revolusi atau evolusi, secara vertikal maupun horizontal, dan sebagainya. Tetapi kiranya kita sepakat bahwa perubahan sosial yang ada dalam benak masyarakat Indonesia kita merasa aman dan sejahtera baik secara ekonomi, politik, budaya, dan sosial. Ketika perubahan sosial yang positif itu menjadi satu hal yang sangat sulit digapai dan akhirnya menjadi satu impian yang amat dirindukan, maka setitik perubahan sosial menjadi hal yang luar biasa dan menjadi prestasi bagi pembawa perubahan sosial. Sadar tidak sadar itu menjadi fakta sosial kita. Kita lupa bahwa satu sistem terdiri atas subsistem lainnya yang bekerja secara fungsional tetapi punya keterkaitan satu terhadap yang lainnya. Perubahan sosial di Indonesia dalam rangka penegakan amanat Pancasila dan UUD 1945 hanya menyentuh masyarakat secara dangkal dan selektif dan oleh masyarakat Indonesia yang mengalami perubahan itu sendiri, hal demikian dirasakan lebih dari cukup dan pemerintahan ini dengan bangga menyatakan sukses dan kembali masyarakat mengamininya. Jikalau perubahan itu dangkal, maka dalam subsistem yang dibangun kembali mencerminkan corak perubahan sosial dalam sistem sosial besarnya. Misalnya ironisme pembangunan antara kota dan desa. Demikian pun jika pembangunan nasional dijalankan secara selektif, maka tentu sistem sosial demikian dinilai pincang karena perubahan sosial dalam satu subsistem perlu diikuti dengan pembangunan nasional pada subsitem lainnya karena semuanya merupakan satu kesatuan sistem yang punya relasi kausal. Mesti diingat juga bahwa perubahan sosial yang demikian relatif bersifat temporal karena tergantung prioritas para pemegang otoritas bangsa ini secara periodik yang selalu punya kepentingan politis.

Peluang perubahan sosial yang konstruktif, total, dan signifikan hanya terletak pada realitas integrasi manusia Indonesia. Artinya, semestinya ada rasa solidaritas bersama untuk saling berempati dan bahu membahu memperjuangkan pembangunan nasional yang baik bagi hidup bersama. Jika masyarakat ini hidup dalam pengkotak-kotakan maka perubahan hidup yang besar sulit digapai karena seharusnya masyarakat Indonesia menyadari bahwa roh demokrasi adalah kekuatan bangsa dan negara Indonesia ada di tangan segenap rakyatnya, dari Sabang sampai Merauke, dari Kota sampai ke desa, dan bukan terpenggal menjadi bagian-bagian sendiri. Pancasila dan UUD 1945 sudah menjadi simbol kesatuan bangsa dan negara ini, tinggal bagaimana kita berupaya mengamanatkannya menjadi rasa persatuan dalam hidup bersama. Membayangkan satu rasa persatuan bangsa dan negara ini menjadi hal yang lumayan problematis, tidak hanya soal jarak geografis, tetapi menyangkut eksistensi permainan politis para elit dan lingkaranya. Setidaknya ada 3 hal penting dalam mendorong satu gerak menuju integrasi bangsa dan negara ini, yaitu: 1) ikatan emosional. Wujud ikatan emosional masyarakat Indonesia lahir dari sejarah bangsa dan ideologinya. Sejarah dan ideologi menjadi faktor umum yang dapat mendongkrak kesadaran emosional segenap masyarakat Indonesia. Artinya, Amanat ideologi Pancasila dan UUD 1945 seharusnya dituangkan ke dalam moral pembangunan nasional sehingga ada ikatan persatuan di sana yang perlahan melahirkan ikatan-ikatan emosional dalam wujud rasa bersama akan keadilan dan kesetaraan hidup. 2) konsensus. Pancasila dan UUD 1945 merupakan konsensus seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai hasil konsensus bersama, maka Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan / pedoman paling ideal yang menganulir segenap kepentingan masyarakat Indonesia secara adil tanpa pandang bulu. Ketika Pancasila dan UUD 1945 dijalankan sebagaimana poin yang dikandung di dalamnya, maka dengan sendirinya rasa persatuan itu lahir dan dijaga. 3) Ketergantungan. Hal ini mungkin menjadi satu poin yang cukup sulit direalisasikan mengingat pluralitas bangsa dan negaraIndonesia dengan kualitas perbedaan masing-masingnya. Tetapi tentu, sebagai homo socius justruh masyarakat Indonesia saling melengkapi satu sama lainnya. Ini menjadi tugas negara bagaimana mempertegas upaya saling ketergantungan terutama dalam hal kesejahteraan ekonomi dan keamanan hidup sosial. Rasanya beban bangsa dan negara ini lebih mudah dihadapi dan diselesaikan secara bersama.

Kesemua poin-poin di atas bukan hanya berorientasi kepada integrasi bangsa sebagai sebuah negara dan bangsa dan sebatas nama, tetapi persatuan untuk kompak dan bergerak bersama memperjuangkan satu perubahan sosial. Perubahan sosial yang konstruktif, total, signifikan, dan universal sehingga kita bergerak ke arah yang lebih baik, kalau memang belum disebut sempurna. Justruh kita terpecah belah maka kita tak akan berubah lebih baik. People Power selalu menjadi kekuatan terdasyat dalam menggerakan dan menggapai satu perubahan, bukan elit maupun militer. Tak perlu harus menuntut revolusi, tetapi cukup kita berevolusi dalam kekompakan untuk memprioritas kepentingan bersama dan menolak bentuk-bentuk politisasi dalam sistem sosial kita. Demokrasi melihat sejarah sebagai bentuk perjuangan masyarakat untuk meraih impian bersama. Walau tak sempurna, tapi tiap waktu kita kompak untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu