Intat dan Tueng, Panjangnya Pengantin Aceh Merayakan Komunal
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBIntat linto dan tueng dara baro adalah bagian rangkaian prosesi pernikahan adat Aceh. Khasnya, perayaan-perayaan Aceh, termasuk pernikahan, sering komunal, melibatkan keluarga besar dan masyarakat.
Jika sempat ke Aceh dan menghadiri resepsi pernikahan, jangan lupa menanyakan pesta apa itu karena bisa tiga kali kita diundang dalam perayaan yang sepertinya sama. Pengalaman membingungkan itu saya alami dulu, tahun-tahun pertama tinggal di Aceh. Pernah dalam waktu berdekatan, saya diundang mendatangi beberapa kali jamuan pernikahan, dan pas datang, saya bingung melihat, yang duduk di pelaminan, pasangan itu-itu juga. “Loh, bukannya mereka sudah menikah?” tanya saya ke tamu-tamu lain di sebelah saya, polos.
Prosesi pernikahan adat Aceh ternyata panjang. Yang sering saya temui dan banyak dilakukan ada tujuh, mulai lamaran, tunangan, peusijeuk, nikah, resepsi, intat linto baro, sampai tueng (baca : tung) dara baro. Tiga yang terakhir, resepsi, intat linto, dan tueng dara baro, adalah prosesi yang mirip, berupa perayaan pernikahan, lengkap dengan pelaminan, pengantin yang bersanding, dan jamuan makan.
Intat linto baro dan tueng dara baro sejatinya sama, menunjukkan tanggung jawab keluarga-keluarga dalam meneguhkan ikatan perkawinan. Ini adalah prosesi antar-mengantar pengantin oleh keluarga. Linto dan dara berarti pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Baro adalah baru dalam Bahasa Indonesia. Intat maksudnya mengantar, sedangkan kata tueng biasanya berupa frase setelah bergabung dengan kata lain, tetapi ketika berdiri sendiri sebagai kata, maknanya kurang lebih adalah balasan atau membalas.
Intat linto adalah iring-iringan keluarga pihak laki-laki mengantar pengantin laki-laki menuju rumah mempelai perempuan. Diawali kedatangan pengantin laki-laki bersama keluarga, dilanjutkan sambutan keluarga perempuan, biasanya berupa tarian adat dan lantunan shalawat (doa-doa untuk Rasulullah Muhammad SAW) di gerbang kediaman, kemudian pengantin disandingkan di pelaminan. Setelahnya, pengantin dan keluarga pihak laki-laki menikmati jamuan makan di hadapan pelaminan, sementara tamu-tamu undangan dijamu terpisah, biasanya di luar rumah atau halaman.
Tueng dara baro intinya sama, ini kunjungan balasan keluarga mempelai perempuan bersama pengantin ke kediaman pengantin laki-laki. Kalau boleh mencari padanannya dalam adat asal saya, Jawa, tueng dara baro mirip ngunduh mantu. Tuan rumah tueng dara baro adalah keluarga pengantin laki-laki. Garis besarnya sama dengan prosesi intat linto, hanya berbeda tempat, jika acara-acara diadakan di rumah.
Yang menarik dalam rangkaian antar-mengantar pengantin ini, meskipun intinya sama dengan kebanyakan budaya Indonesia dimana keterlibatan keluarga selalu ditampilkan, pengantin Aceh seperti belum sah bersama sebelum tiga kebiasaan tadi dilakukan. Meskipun telah ijab kabul dan menggelar resepsi pernikahan, biasanya pasangan pengantin masih terpisah. Bukan tidak boleh bersama, hanya lama dan keseringannya masih terbatas.
Kalau rumah pengantin laki-laki dan pengantin perempuan berjauhan, berbeda kota misalnya, tidak jarang setelah resepsi, pengantin laki-laki ikut pulang bersama rombongan keluarga. Tempat tinggal berdekatan sekalipun, biasanya, sejoli itu belum runtang-runtung atau kemana-mana berdua. Paling sehari, setengah hari, atau semalam saja pengantin laki-laki mengunjungi rumah perempuan, untuk kembali ke tempat tinggal keluarganya sendiri. Pun setelah intat linto. Pasangan baru itu akan tinggal bersama setelah acara intat linto dan semakin sering seusai tueng dara baro.
Keutamaan keluarga dalam tradisi pernikahan Aceh sebenarnya sudah ditampilkan mulai adat lamaran. Dalam lamaran ala Aceh, calon pengantin laki-laki biasanya malah tidak dilibatkan. Lamaran Aceh berupa kunjungan atau silaturahmi tetua keluarga calon pengantin laki-laki ke kediaman keluarga perempuan untuk meminang. Jika pinangan diterima, maka ikatan dua keluarga akan dilanjutkan dengan adat lamaran dimana dua keluarga besar baru bertemu. Di lamaran ini, biasanya, dua keluarga baru membahas segala keperluan pernikahan, salah satunya menentukan hari pernikahan. Hal penting lain, yang dibahas saat lamaran dalam tradisi Aceh, adalah kesepakatan besaran mahar atau mas kawin.
Berikutnya adat peusijuek, dari asal kata sijeuk, arti bebasnya adalah sejuk dalam Bahasa Indonesia, maksudnya proses menyejukkan atau mendinginkan. Peusijeuk adalah adat pemberian ijin atau restu, tidak saja ada dalam rangkaian tradisi pernikahan, melainkan ada di banyak tahapan kehidupan orang Aceh. Setelah membeli rumah, setelah menduduki suatu jabatan, ketika akan menunaikan ibadah haji, misalnya, kebanyakan warga Aceh melakukan tradisi peusijeuk.
Intinya doa-doa dipanjatkan demi kebaikan atau semacam syukur atau permohonan restu kepada Tuhan. Uniknya peusijeuk Aceh dilakukan dengan memercikkan air suci, air yang ke dalamnya telah ditiupkan doa-doa, ke obyek yang didoakan, mirip proses akhir sembahyang umat Hindu. Sebagian pendapat mengungkapkan ini bukti akulturasi budaya Hindu dan Islam yang terbawa pendatang kemudian tersebar menjadi prosesi adat.
Peusijeuk pernikahan Aceh tidak selalu sebelum pernikahan, kadang dilakukan saat acara resepsi, ketika pengantin bersanding di pelaminan, setelah menikah. Kaum tua, dari keluarga maupun undangan, akan memberikan restunya baik kepada calon pengantin maupun pengantin yang telah bersanding. Lagi-lagi ini tentang komunal, bagaimana banyak orang, atau masyarakat, atau keluarga besar terlibat menyambut jalinnya ikatan.
Pernikahan atau ijab pengantin Aceh hampir selalu dilakukan di masjid mengingat mayoritas muslim. Nikah atau ijab perkawinan Aceh tidak berbeda dengan proses ini, yang dilewati atau dilakukan masyarakat muslim Indonesia lainnya. Pernikahan atau nikah di masjid pengantin Aceh dilanjutkan resepsi atau jamuan makan, yang biasanya, diadakan di rumah mempelai perempuan.
Selalu menarik bagi saya mengamati adat-adat di Indonesia yang beragam karena berarti kita kaya. Aceh saja katanya adalah perpaduan warna Arab, Cina, Eropa, dan Hindia atau India. Empat gabungan budaya besar yang jelas membuat besar budaya Aceh itu sendiri, menurut saya.
Entah benar atau tidak teori itu, tapi buktinya pengantin perempuan Aceh akan membubuhkan lukisan bermotif khas di tangan dan kaki mereka menggunakan tinta henna, mirip perempuan-perempuan India atau perempuan-perempuan Arab pada upacara pernikahan mereka. Menariknya, pernikahan ala Aceh lebih berwarna, karena saat resepsi biasanya pasangan pengantin tampil dalam dua busana bergantian. Pertama berpakaian adat Aceh, dan menjelang siang, berganti pakaian ala Eropa dimana sang laki-laki mengenakan jas lengkap dan pengantin perempuan bergaun putih dengan buket bunga ditangan. Itu kayanya Aceh, kayanya Indonesia, budayanya beragam. Kita jaga ya..
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Andai Saya Jurnalis, Kemarin
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBTentang Kebenaran (Bagian 2 The Help)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler