x

Seorang anggota DPD, melanggar aturan selama persidangan dilarang menggunakan alat komunikasi smartphone berfoto selfie saat berlangsungnya sidang pembacaan amar putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terh

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keputusan MK, Hambatan Baru Pemberantasan Korupsi

MK membuat keputusan yang mengejutkan. Proses penanganan anggota DPR, MPR dan DPD harus atas izin Presiden. Keputusan ini mempersulit pemberantasan korupsi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bermula dari ketentuan yang tertuang dalam UU MD3 yang mengatur penanganan anggota DPR dalam kasus pidana harus mendapatkan izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana, mengajukan peninjauan ulang dan mengusulkan penghapusan perlunya izin dari MKD.

Tuntutan itu memang dipenuhi. Izin dari MKD dianggap bertentangan dengan UUD 45. Tetapi bersamaan dengan amar putusan itu, MK malah mengalihkan izin tertulis kepada Presiden untuk penyelidikan anggota DPR, MPR dan DPD. Sementara untuk DPR pada level daerah, harus mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri.

Putusan Lembaga tertinggi dalam kasus-kasus ketidakadilan yang disebabkan adanya kekeliruan atau kelemahan dalam UU dan aturan lainnya di bawah UU diprediksi akan memperumit dan memperlambat penanganan kasus-kasus korupsi di Indonesia. Halangan baru sedang diciptakan untuk para pencuri harta negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tentu hanya bisa menyesalkan keputusan ini. Tetapi tak bisa lagi diubah, sebab keputusan MK bersifat final dan tak bisa diganggu gugat. Ia harus berjalan sejak palu dipukulkan.

Maka bisa segera dibayangkan, berapa kasus yang sedang ditangani KPK harus terhenti, pada level national dan daerah. Sebab KPK harus mengajukan surat izin pendidikan kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Tanpa izin itu, KPK bisa digugat para tersangka kasus korupsi. Kini, setelah penetapan tersangka oleh KPK bisa diajukan ke praperadilan, KPK akan bisa digugat karena melakukan penyidikan tanpa surat izin Presiden dan Menteri Dalam Negeri.

Kita tentu saja bisa meragukan seberapa cepat Presiden dan Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan surat izin terkait dengan pemeriksaan para tersangka kasus korupsi. Belum lagi, proses pengeluaran izin ini pasti tak akan bebas dari nuansa politik. Semakin rumit manakala permohonan surat izin itu ternyata kasusnya memungkinkan Presiden dan Menteri Dalam Negeri atau orang-orang terdekatnya tersangkut di dalamnya. Sebab, permohonan surat izin itu pasti akan dilampiri dengan dokumen informasi mengenai kasus yang disangkakan.

Meski KPK bisa berdalih tetap akan jalan dengan menggunakan UU 30 Tahun 2002 dalam melakukan pemanggilan saksi dan atau tersangka KPK dalam kaitan dengan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, tetap saja KPK akan menghadapi banyak gugatan ketika tak bisa menunjukkan surat izin itu.

Kini, mending hitam kembali menutupi gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. 

 

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler