x

Mendagri Tjahjo Kumolo menghadiri Rapat Paripurna Pengesahan Perppu Pilkada di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 20 Januari 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Dua Media Online yang 'Mengkhianati' Spirit Jurnalisme

Beberapa hari lalu, saya baca berita tentang protes Dewan Rakyat Dayak kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari lalu, saya baca berita tentang protes Dewan Rakyat Dayak kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Protes mereka, dipicu oleh berita tentang peresmian sebuah monumen 'Laskar Tiongkok' di Taman Mini Indonesia Indah atau TMII.
 
Dewan Rakyat  Dayak memprotes Menteri Tjahjo, dan menganggap peresmian monumen tak lebih sebagai upaya penguasa memutarbalikan sejarah. Mereka menuding Menteri Tjahjo 'memuliakan' pengkhianat republik. 
 
"Kenapa harus monumen laskar Tionghoa, Padahal laskar Rakyat Dayak banyak yang berjuang namun tidak pernah diapresiasi bentuk perjuangannya. Kami mengecam Mendagri yang menganak emaskan etnik tertentu, peresmian monumen Po an Tui Laskar Tiong Hoa jelas menyakiti  rakyat Dayak yang lebih banyak membuat laskar untuk membela negeri ini," begitu protes Dewan Rakyat Dayak yang disuarakan ketua dewan presidiumnya, Bernadus. Kutipan langsung dari Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak itu saya kutip dari penggalan berita berjudul, "Presidium Dewan Rakyat Dayak Kecam Mendagri Soal Monumen Po An Tui," yang dimuat harianterbit.com pada Minggu, 28 Februari 2016.
 
Selain harianterbit.com, ada beberapa media yang memuat berita serupa, seperti gatra.com, tarbiyah.net dan republika.co.id. Yang saya sayangkan, adalah media-media seperti harianterbit.com, gatra.com dan republika.co.id yang tak memuat berita berimbang, misalnya meminta klarifikasi kepada Menteri Tjahjo, apakah benar monumen laskar Tionghoa yang diresmikan itu merujuk pada milisi Po An Tui? Sebab, pada 24 Februari 2016, Menteri Tjahjo sudah mengklarifikasi itu, bahwa tak benar monumen yang diresmikannya merujuk pada milisi Po An Tui. Berita klarifikasi Tjahjo salah satunya dimuat oleh rmol.co. Atau mungkin saya keliru, tak cermat membacanya. Mungkin media-media itu juga sudah memuat bantahan Menteri Tjahjo. 
 
Tapi, saya memaklumi bila media online kerap kurang lengkap dan berimbang dalam memuat sebuah berita. Kecepatan sebuah berita acapkali lebih didahulukan, karena kerasnya persaingan antar media online. Maka, berita dengan satu narasumber pun sering dimuat. Padahal kerapkali berita tersebut, adalah berita tentang polemik sebuah isu yang menuai pro kontra. Idealnya, yang pro dan yang kontra mendapat porsi yang sama. Sehingga berita berimbang. 
 
Namun yang saya gugat, adalah berita awal yang memutarbalikan fakta peresmian monumen di TMII, bukan berita soal kemarahan Ketua Presidium Dewan Rakyat Dayak. Karena berita itu, yang jadi pemicunya, hingga muncul kecaman dan protes dari Dewan Rakyat Dayak. 
 
Benarkah ada pemutarbalikan sejarah? Benarkah Menteri Tjahjo 'memuliakan' pengkhianat republik? 
 
Ternyata, kemarahan Dewan Rakyat Dayak dengan segala tudingan dipicu oleh pemberitaan beberapa media online yang memberitakan bahwa monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo, merujuk pada milisi kaum Tiongkok di era 1947, yakni Po An Tui. 
 
Tanpa verifikasi, Dewan Rakyat  Dayak pun 'murka'. Disebutnya Po An Tui, seperti membuka luka lama sejarah. Ya, bicara Po An Tui, bisa dikatakan seperti bicara  jejak sejarah yang penuh darah. Ada kisah pembantaian dan  pembunuhan di dalamnya. Saya kira wajar, bila kemudian Dewan Rakyat Dayak marah, karena yang mereka pahami tentang monumen itu adalah Po An Tui, hantu milisi yang pernah membuat luka sejarah di republik ini. 
 
Lalu, dari mana percikan 'api' berita sesat Po An Tui muncul? Ada dua media online yang bisa saya lacak, yang sepertinya pertama menyalakan 'bara' Po An Tui. Dua media online itu adalah Posmetro.info dan Bpost.id. Dua media online itulah memproduksi berita yang menyesatkan tersebut. Posmetro.info, misalnya memuat berita berjudul," Hanya di Era Jokowi, Milisi Cina "Po An Tui" Pembantai Pribumi Dibuatkan Monumen di TMII," yang tayang pada 22 Februari 2016. Bpost.id sendiri  mengcopy paste berita yang dimuat Posmetro.info. Karena baik judul maupun isi berita, sama plek dengan berita yang dimuat oleh Posmetro.info. Penulisnya pun mencantumkan sumber berita yakni berasal dari berita yang dibuat Posmetro.info. 
 
Sangat disayangkan memang, ada segelintir orang di negeri ini dengan tega 'mempermaikan' luka anak bangsa. Berita Po An Tui, adalah berita sesat. Berita ceroboh yang tak berdasar pada fakta. Tapi, yang menjengkelkan, berita itu diproduksi oleh mereka yang mendaku sebagai insan pers. Ya, berita sesat Po An Tui, diproduksi oleh media. Terutama media online. 
 
Dengan gegabah, tanpa verifikasi fakta, beberapa media menyambar peresmian monumen Laskar Tiongkok dengan mengkaitkannya dengan milisi Po An Tui. Lalu, dengan gagah pula, mereka membuat berita bombastis, berbau 'fitnah'. Menteri Tjahjo 'memuliakan' Po An Tui, milisi yang pro penjajah saat itu. 
 
Lalu, tanpa rasa bersalah pula, mereka menjejalkan itu ke ruang publik. Reaksi pun muncul. Kemarahan menggeliat. Tak salah memang mereka yang marah. Tapi jelas yang salah, adalah mereka yang memproduksi berita 'sampah' tersebut. 
 
Faktanya, monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo di TMII, bukan merujuk pada milisi Po An Tui yang terbentuk pada 1947. Tapi, laskar Tiongkok atau kaum Cina yang sempat berjibaku mengangkat senjata melawan VOC, di era 1740-1743. Laskar ini melawan VOC bersama dengan laskar orang Jawa yang dipimpin oleh para bangsawan keraton. 
 
Buku, "Geger Pacinan 1740 - 1743: Persekutuan Tionghoa - Jawa Melawan VOC," yang ditulis oleh RM Daradjadi, adalah buku yang mendokumentasikan sepakterjang orang Tionghoa melawan VOC di tanah Jawa. 
 
Sementara sepakterjang Po An Tui, didokumentasikan dengan baik pula oleh Sulardi, dalam bukunya yang berjudul, " "Po An Tui : 1947-1949, Tentara Cina Jakarta," terbitan Masup Jakarta, Pustaka Komunitas Bambu. Sayang kedua buku itu tak dipakai jadi rujukan. Benar kata kawan saya, era digital, adalah era tukang gosip, penyuka fitnah, dan penyebar kebencian mendapat tempat. Dan, kata kawan saya lagi, jangan pernah mengharap tanggung jawab dari mereka untuk mengakui kesalahan. Mereka adalah orang-orang kalap, yang selalu memakai segala cara untuk kepentingannya. Mereka selalu merasa benar. Jadi, percuma menggugat orang-orang kalap. Karena mereka selalu merasa sudah punya nomor kontak Tuhan. Untuk yang terakhir ini, kawan saya hanya berseloroh. Mungkin karena sudah teramat jengkel dan sebal. Mau apalagi, seperti itu yang terjadi. Mungkin benar kata kawan saya, percuma saja menggugat mereka. Dan, bagi saya merekalah yang sebenarnya 'pengkhianat'. Mereka mengkhianati spirit jurnalisme. Mengkhianati, kesetiaan jurnalisme kepada fakta. 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu