x

Pelawak Tessy. ANTARA/Teresia May

Iklan

Ardi Winangun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melarang Banci di Televisi

Kebanci-bancian muncul dalam televisi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 dan 1990-an. Bila kita melihat siaran TVRI,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Upaya meredam terhadap gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) rupanya didukung oleh berbagai pihak. Selain organisasi agama dan masyarakat, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil langkah agar gerakan kelompok itu tidak menular kepada masyarakat khususnya generasi muda. Untuk mencegah agar LGBT tidak menular membuat KPI menginginkan masalah itu dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran.

Dikatakan oleh salah seorang koordinator KPI, lembaga itu sebenarnya sejak dua tahun yang lalu sudah memperhatikan soal kebanci-bancian dalam siaran televisi. Sejak beberapa tahun yang lalu memang banyak acara tv yang di-presenter-i oleh presenter yang kebanci-bancian. Mereka laki-laki namun gayanya gemulai bak seorang perempuan. Hal demikian dikeluhkan oleh orangtua dan guru sebab gaya presenter itu menjadi trend dan ditiru oleh generasi muda dengan anggapan bahwa gaya kebanci-bancian sangat lumrah. Untuk itulah maka KPI mengeluarkan surat edaran melarang tayangan dengan unsur kebanci-bancian. KPI melarang kebanci-bancian dalam variety show dan siaran lainnya sebab gaya itu bisa mempengaruhi perilaku dan pola pikir generasi muda yang jumlahnya mencapai 80 juta jiwa.

Kebanci-bancian muncul dalam televisi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 dan 1990-an. Bila kita melihat siaran TVRI, selanjutnya tayang di televisi swasta lainnya, dalam program lawakan Srimulat, kita pasti akan melihat sosok Tessy. Tessy merupakan salah satu di antara puluhan pelawak Srimulat yang mampu mengundang tawa dari para penonton saat pentas. Di antara puluhan pelawak itu, Tessy mempunyai gaya tersendiri yakni sebagai banci.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai pelawak yang natural saat manggung, Tessy termasuk pelawak yang bersinar. Talenta dalam dunia guyonan itu membuat dirinya tak hanya berkiprah di Srimulat namun juga menjadi bintang iklan, main film, sinetron, dan dunia hiburan lainnya. Sebagai pelawak dengan gaya banci, Tessy sering menggunakan pakaian wanita bahkan sanggul serta body language perempuan. Dalam alur cerita di pentas, saat dirinya berkenalan dengan pelawak lainnya, Tessy selalu berkenalan dengan cara yang khas. Ia selalu menyebut nama dirinya dengan mengatakan, “Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.” Perkenalan seperti itu biasanya disambut pelawak yang lain dengan mengatakan, “nama orang satu RT dipakai semua.” Dialog lawakan itu pasti disambut gelak tawa para penonton. Nama yang disebut Tessy itu bukan nama karangan namun nama anaknya.

Acara lawakan yang digemari oleh masyarakat itu ditonton oleh banyak orang dari berbagai umur. Gaya yang khas dari Tessy itu rupanya menginternalisasi pada para penonton termasuk anak-anak sehingga sering kita lihat di tengah masyarakat, saat mereka bercanda banyak yang meniru gaya Tessy. Dengan posisi badan condong ke depan, tangan ditekuk sambil mengatakan.”Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.”

Dari tayangan tersebut, mungkin masyarakat tak sadar bahwa pada masa itu, banyak di antara kita meniru gaya kebanci-bancian. Sebab pada tahun 1980 dan 1990-an yang masih dalam suasana tertutup, Orde Baru, fenomena kebanci-bancian dan LGBT, bukan sesuatu masalah seperti saat ini meski sudah banyak yang ‘tertular.’

Apa yang dilakukan oleh KPI patut diberi apresiasi sebab dengan menyetop tayangan yang bisa membuat orang ‘berubah wujud’ akan memberi dampak positif dalam kehidupan. Banyaknya presenter kebanci-bancian dan acara itu disebut memiliki rating yang tinggi menyebabkan timbulnya sebuah anggapan bahwa presenter yang baik adalah presenter yang kebanci-bancian. Akibat yang demikian membuat, pertama, HRD akan memilih sosok banci untuk menjadi presenter. Presenter yang banci sekarang tidak hanya dalam acara musik-musikan namun juga ada dalam acara kuliner, wisata, infotaiment bahkan master of ceremony di mall, kelurahan, RT, kampus bahkan sekolah dipilih mereka yang banci. Kedua, anggapan yang menyebut presenter banci sukses dalam memandu acara membuat laki-laki yang normal akhirnya membuat ia bergaya banci.

Meski demikian apa yang dilakukan diinginkan oleh KPI itu tidak boleh mematikan rejeki orang atau mendiskriminasikan suatu kelompok. KPI dan masyarakat harus memberi standar kriteria kebanci-bancian itu yang bagaimana agar tidak semua laki-laki yang terjun dalam dunia hiburan disebut banci. Apakah kebanci-bancian itu adalah laki-laki yang kemayu, berpakaian perempuang, ber-body language perempuan, atau gabungan dari kriteria-kriteria yang telah disebut tadi. Kriteria ini penting sebab banci sebagai gaya dan banci dalam realita ada perbedaan. Kebanci-bancian bisa jadi hanya sebuah action (memirip-miripkan dengan banci), ada banci yang dalam kehidupan di masyarakat normal mempunyai istri dan anak, ada pula banci yang menjadi sebuah penyimpangan sehingga perlu disembuhkan.

Dalam dunia tari baik tradisional atau modern terkadang penari pria harus melakukan gerakannya dengan lemah gemulai. Nah apakah gaya seperti ini termasuk dalam kebanci-bancian? Nah di sinilah pentingnya dirumuskan standar kriteria kebanci-bancian.   

Siaran televisi memang pontensial untuk membentuk masyarakat menjadi baik atau buruk. Apa yang dilakukan oleh KPI itu upaya untuk membuat masyarakat tetap normal dan menjadi lebih baik. Untuk itu KPI juga harus mendorong acara-acara yang memberi penyadaran kepada masyarakat. Upaya menyembuhkan kaum banci dan LGBT sebenarnya sudah sering disampaikan dalam tayangan-tayangan televisi, sinetron religius. Dalam beberapa sinetron, di mana Aming dan Ivan Gunawan berperan sebagai sosok banci, biasanya dalam alur ceritanya ia selalu diingatkan statusnya oleh orang-orang tercinta dan pemuka agama bahwa dirinya adalah seorang laki-laki dan apa yang dialami itu bisa disembuhkan. Happy ending-nya, banci itu kembali hidup normal.

 

Upaya meredam terhadap gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) rupanya didukung oleh berbagai pihak. Selain organisasi agama dan masyarakat, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil langkah agar gerakan kelompok itu tidak menular kepada masyarakat khususnya generasi muda. Untuk mencegah agar LGBT tidak menular membuat KPI menginginkan masalah itu dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran.

Dikatakan oleh salah seorang koordinator KPI, lembaga itu sebenarnya sejak dua tahun yang lalu sudah memperhatikan soal kebanci-bancian dalam siaran televisi. Sejak beberapa tahun yang lalu memang banyak acara tv yang di-presenter-i oleh presenter yang kebanci-bancian. Mereka laki-laki namun gayanya gemulai bak seorang perempuan. Hal demikian dikeluhkan oleh orangtua dan guru sebab gaya presenter itu menjadi trend dan ditiru oleh generasi muda dengan anggapan bahwa gaya kebanci-bancian sangat lumrah. Untuk itulah maka KPI mengeluarkan surat edaran melarang tayangan dengan unsur kebanci-bancian. KPI melarang kebanci-bancian dalam variety show dan siaran lainnya sebab gaya itu bisa mempengaruhi perilaku dan pola pikir generasi muda yang jumlahnya mencapai 80 juta jiwa.

Kebanci-bancian muncul dalam televisi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 dan 1990-an. Bila kita melihat siaran TVRI, selanjutnya tayang di televisi swasta lainnya, dalam program lawakan Srimulat, kita pasti akan melihat sosok Tessy. Tessy merupakan salah satu di antara puluhan pelawak Srimulat yang mampu mengundang tawa dari para penonton saat pentas. Di antara puluhan pelawak itu, Tessy mempunyai gaya tersendiri yakni sebagai banci.

Sebagai pelawak yang natural saat manggung, Tessy termasuk pelawak yang bersinar. Talenta dalam dunia guyonan itu membuat dirinya tak hanya berkiprah di Srimulat namun juga menjadi bintang iklan, main film, sinetron, dan dunia hiburan lainnya. Sebagai pelawak dengan gaya banci, Tessy sering menggunakan pakaian wanita bahkan sanggul serta body language perempuan. Dalam alur cerita di pentas, saat dirinya berkenalan dengan pelawak lainnya, Tessy selalu berkenalan dengan cara yang khas. Ia selalu menyebut nama dirinya dengan mengatakan, “Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.” Perkenalan seperti itu biasanya disambut pelawak yang lain dengan mengatakan, “nama orang satu RT dipakai semua.” Dialog lawakan itu pasti disambut gelak tawa para penonton. Nama yang disebut Tessy itu bukan nama karangan namun nama anaknya.

Acara lawakan yang digemari oleh masyarakat itu ditonton oleh banyak orang dari berbagai umur. Gaya yang khas dari Tessy itu rupanya menginternalisasi pada para penonton termasuk anak-anak sehingga sering kita lihat di tengah masyarakat, saat mereka bercanda banyak yang meniru gaya Tessy. Dengan posisi badan condong ke depan, tangan ditekuk sambil mengatakan.”Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.”

Dari tayangan tersebut, mungkin masyarakat tak sadar bahwa pada masa itu, banyak di antara kita meniru gaya kebanci-bancian. Sebab pada tahun 1980 dan 1990-an yang masih dalam suasana tertutup, Orde Baru, fenomena kebanci-bancian dan LGBT, bukan sesuatu masalah seperti saat ini meski sudah banyak yang ‘tertular.’

Apa yang dilakukan oleh KPI patut diberi apresiasi sebab dengan menyetop tayangan yang bisa membuat orang ‘berubah wujud’ akan memberi dampak positif dalam kehidupan. Banyaknya presenter kebanci-bancian dan acara itu disebut memiliki rating yang tinggi menyebabkan timbulnya sebuah anggapan bahwa presenter yang baik adalah presenter yang kebanci-bancian. Akibat yang demikian membuat, pertama, HRD akan memilih sosok banci untuk menjadi presenter. Presenter yang banci sekarang tidak hanya dalam acara musik-musikan namun juga ada dalam acara kuliner, wisata, infotaiment bahkan master of ceremony di mall, kelurahan, RT, kampus bahkan sekolah dipilih mereka yang banci. Kedua, anggapan yang menyebut presenter banci sukses dalam memandu acara membuat laki-laki yang normal akhirnya membuat ia bergaya banci.

Meski demikian apa yang dilakukan diinginkan oleh KPI itu tidak boleh mematikan rejeki orang atau mendiskriminasikan suatu kelompok. KPI dan masyarakat harus memberi standar kriteria kebanci-bancian itu yang bagaimana agar tidak semua laki-laki yang terjun dalam dunia hiburan disebut banci. Apakah kebanci-bancian itu adalah laki-laki yang kemayu, berpakaian perempuang, ber-body language perempuan, atau gabungan dari kriteria-kriteria yang telah disebut tadi. Kriteria ini penting sebab banci sebagai gaya dan banci dalam realita ada perbedaan. Kebanci-bancian bisa jadi hanya sebuah action (memirip-miripkan dengan banci), ada banci yang dalam kehidupan di masyarakat normal mempunyai istri dan anak, ada pula banci yang menjadi sebuah penyimpangan sehingga perlu disembuhkan.

Dalam dunia tari baik tradisional atau modern terkadang penari pria harus melakukan gerakannya dengan lemah gemulai. Nah apakah gaya seperti ini termasuk dalam kebanci-bancian? Nah di sinilah pentingnya dirumuskan standar kriteria kebanci-bancian.   

Siaran televisi memang pontensial untuk membentuk masyarakat menjadi baik atau buruk. Apa yang dilakukan oleh KPI itu upaya untuk membuat masyarakat tetap normal dan menjadi lebih baik. Untuk itu KPI juga harus mendorong acara-acara yang memberi penyadaran kepada masyarakat. Upaya menyembuhkan kaum banci dan LGBT sebenarnya sudah sering disampaikan dalam tayangan-tayangan televisi, sinetron religius. Dalam beberapa sinetron, di mana Aming dan Ivan Gunawan berperan sebagai sosok banci, biasanya dalam alur ceritanya ia selalu diingatkan statusnya oleh orang-orang tercinta dan pemuka agama bahwa dirinya adalah seorang laki-laki dan apa yang dialami itu bisa disembuhkan. Happy ending-nya, banci itu kembali hidup normal.

 

Upaya meredam terhadap gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) rupanya didukung oleh berbagai pihak. Selain organisasi agama dan masyarakat, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil langkah agar gerakan kelompok itu tidak menular kepada masyarakat khususnya generasi muda. Untuk mencegah agar LGBT tidak menular membuat KPI menginginkan masalah itu dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran.

Dikatakan oleh salah seorang koordinator KPI, lembaga itu sebenarnya sejak dua tahun yang lalu sudah memperhatikan soal kebanci-bancian dalam siaran televisi. Sejak beberapa tahun yang lalu memang banyak acara tv yang di-presenter-i oleh presenter yang kebanci-bancian. Mereka laki-laki namun gayanya gemulai bak seorang perempuan. Hal demikian dikeluhkan oleh orangtua dan guru sebab gaya presenter itu menjadi trend dan ditiru oleh generasi muda dengan anggapan bahwa gaya kebanci-bancian sangat lumrah. Untuk itulah maka KPI mengeluarkan surat edaran melarang tayangan dengan unsur kebanci-bancian. KPI melarang kebanci-bancian dalam variety show dan siaran lainnya sebab gaya itu bisa mempengaruhi perilaku dan pola pikir generasi muda yang jumlahnya mencapai 80 juta jiwa.

Kebanci-bancian muncul dalam televisi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 dan 1990-an. Bila kita melihat siaran TVRI, selanjutnya tayang di televisi swasta lainnya, dalam program lawakan Srimulat, kita pasti akan melihat sosok Tessy. Tessy merupakan salah satu di antara puluhan pelawak Srimulat yang mampu mengundang tawa dari para penonton saat pentas. Di antara puluhan pelawak itu, Tessy mempunyai gaya tersendiri yakni sebagai banci.

Sebagai pelawak yang natural saat manggung, Tessy termasuk pelawak yang bersinar. Talenta dalam dunia guyonan itu membuat dirinya tak hanya berkiprah di Srimulat namun juga menjadi bintang iklan, main film, sinetron, dan dunia hiburan lainnya. Sebagai pelawak dengan gaya banci, Tessy sering menggunakan pakaian wanita bahkan sanggul serta body language perempuan. Dalam alur cerita di pentas, saat dirinya berkenalan dengan pelawak lainnya, Tessy selalu berkenalan dengan cara yang khas. Ia selalu menyebut nama dirinya dengan mengatakan, “Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.” Perkenalan seperti itu biasanya disambut pelawak yang lain dengan mengatakan, “nama orang satu RT dipakai semua.” Dialog lawakan itu pasti disambut gelak tawa para penonton. Nama yang disebut Tessy itu bukan nama karangan namun nama anaknya.

Acara lawakan yang digemari oleh masyarakat itu ditonton oleh banyak orang dari berbagai umur. Gaya yang khas dari Tessy itu rupanya menginternalisasi pada para penonton termasuk anak-anak sehingga sering kita lihat di tengah masyarakat, saat mereka bercanda banyak yang meniru gaya Tessy. Dengan posisi badan condong ke depan, tangan ditekuk sambil mengatakan.”Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.”

Dari tayangan tersebut, mungkin masyarakat tak sadar bahwa pada masa itu, banyak di antara kita meniru gaya kebanci-bancian. Sebab pada tahun 1980 dan 1990-an yang masih dalam suasana tertutup, Orde Baru, fenomena kebanci-bancian dan LGBT, bukan sesuatu masalah seperti saat ini meski sudah banyak yang ‘tertular.’

Apa yang dilakukan oleh KPI patut diberi apresiasi sebab dengan menyetop tayangan yang bisa membuat orang ‘berubah wujud’ akan memberi dampak positif dalam kehidupan. Banyaknya presenter kebanci-bancian dan acara itu disebut memiliki rating yang tinggi menyebabkan timbulnya sebuah anggapan bahwa presenter yang baik adalah presenter yang kebanci-bancian. Akibat yang demikian membuat, pertama, HRD akan memilih sosok banci untuk menjadi presenter. Presenter yang banci sekarang tidak hanya dalam acara musik-musikan namun juga ada dalam acara kuliner, wisata, infotaiment bahkan master of ceremony di mall, kelurahan, RT, kampus bahkan sekolah dipilih mereka yang banci. Kedua, anggapan yang menyebut presenter banci sukses dalam memandu acara membuat laki-laki yang normal akhirnya membuat ia bergaya banci.

Meski demikian apa yang dilakukan diinginkan oleh KPI itu tidak boleh mematikan rejeki orang atau mendiskriminasikan suatu kelompok. KPI dan masyarakat harus memberi standar kriteria kebanci-bancian itu yang bagaimana agar tidak semua laki-laki yang terjun dalam dunia hiburan disebut banci. Apakah kebanci-bancian itu adalah laki-laki yang kemayu, berpakaian perempuang, ber-body language perempuan, atau gabungan dari kriteria-kriteria yang telah disebut tadi. Kriteria ini penting sebab banci sebagai gaya dan banci dalam realita ada perbedaan. Kebanci-bancian bisa jadi hanya sebuah action (memirip-miripkan dengan banci), ada banci yang dalam kehidupan di masyarakat normal mempunyai istri dan anak, ada pula banci yang menjadi sebuah penyimpangan sehingga perlu disembuhkan.

Dalam dunia tari baik tradisional atau modern terkadang penari pria harus melakukan gerakannya dengan lemah gemulai. Nah apakah gaya seperti ini termasuk dalam kebanci-bancian? Nah di sinilah pentingnya dirumuskan standar kriteria kebanci-bancian.   

Siaran televisi memang pontensial untuk membentuk masyarakat menjadi baik atau buruk. Apa yang dilakukan oleh KPI itu upaya untuk membuat masyarakat tetap normal dan menjadi lebih baik. Untuk itu KPI juga harus mendorong acara-acara yang memberi penyadaran kepada masyarakat. Upaya menyembuhkan kaum banci dan LGBT sebenarnya sudah sering disampaikan dalam tayangan-tayangan televisi, sinetron religius. Dalam beberapa sinetron, di mana Aming dan Ivan Gunawan berperan sebagai sosok banci, biasanya dalam alur ceritanya ia selalu diingatkan statusnya oleh orang-orang tercinta dan pemuka agama bahwa dirinya adalah seorang laki-laki dan apa yang dialami itu bisa disembuhkan. Happy ending-nya, banci itu kembali hidup normal.

 

Upaya meredam terhadap gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) rupanya didukung oleh berbagai pihak. Selain organisasi agama dan masyarakat, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga mengambil langkah agar gerakan kelompok itu tidak menular kepada masyarakat khususnya generasi muda. Untuk mencegah agar LGBT tidak menular membuat KPI menginginkan masalah itu dimasukkan dalam revisi UU Penyiaran.

Dikatakan oleh salah seorang koordinator KPI, lembaga itu sebenarnya sejak dua tahun yang lalu sudah memperhatikan soal kebanci-bancian dalam siaran televisi. Sejak beberapa tahun yang lalu memang banyak acara tv yang di-presenter-i oleh presenter yang kebanci-bancian. Mereka laki-laki namun gayanya gemulai bak seorang perempuan. Hal demikian dikeluhkan oleh orangtua dan guru sebab gaya presenter itu menjadi trend dan ditiru oleh generasi muda dengan anggapan bahwa gaya kebanci-bancian sangat lumrah. Untuk itulah maka KPI mengeluarkan surat edaran melarang tayangan dengan unsur kebanci-bancian. KPI melarang kebanci-bancian dalam variety show dan siaran lainnya sebab gaya itu bisa mempengaruhi perilaku dan pola pikir generasi muda yang jumlahnya mencapai 80 juta jiwa.

Kebanci-bancian muncul dalam televisi sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 dan 1990-an. Bila kita melihat siaran TVRI, selanjutnya tayang di televisi swasta lainnya, dalam program lawakan Srimulat, kita pasti akan melihat sosok Tessy. Tessy merupakan salah satu di antara puluhan pelawak Srimulat yang mampu mengundang tawa dari para penonton saat pentas. Di antara puluhan pelawak itu, Tessy mempunyai gaya tersendiri yakni sebagai banci.

Sebagai pelawak yang natural saat manggung, Tessy termasuk pelawak yang bersinar. Talenta dalam dunia guyonan itu membuat dirinya tak hanya berkiprah di Srimulat namun juga menjadi bintang iklan, main film, sinetron, dan dunia hiburan lainnya. Sebagai pelawak dengan gaya banci, Tessy sering menggunakan pakaian wanita bahkan sanggul serta body language perempuan. Dalam alur cerita di pentas, saat dirinya berkenalan dengan pelawak lainnya, Tessy selalu berkenalan dengan cara yang khas. Ia selalu menyebut nama dirinya dengan mengatakan, “Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.” Perkenalan seperti itu biasanya disambut pelawak yang lain dengan mengatakan, “nama orang satu RT dipakai semua.” Dialog lawakan itu pasti disambut gelak tawa para penonton. Nama yang disebut Tessy itu bukan nama karangan namun nama anaknya.

Acara lawakan yang digemari oleh masyarakat itu ditonton oleh banyak orang dari berbagai umur. Gaya yang khas dari Tessy itu rupanya menginternalisasi pada para penonton termasuk anak-anak sehingga sering kita lihat di tengah masyarakat, saat mereka bercanda banyak yang meniru gaya Tessy. Dengan posisi badan condong ke depan, tangan ditekuk sambil mengatakan.”Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik Kabul Basuki.”

Dari tayangan tersebut, mungkin masyarakat tak sadar bahwa pada masa itu, banyak di antara kita meniru gaya kebanci-bancian. Sebab pada tahun 1980 dan 1990-an yang masih dalam suasana tertutup, Orde Baru, fenomena kebanci-bancian dan LGBT, bukan sesuatu masalah seperti saat ini meski sudah banyak yang ‘tertular.’

Apa yang dilakukan oleh KPI patut diberi apresiasi sebab dengan menyetop tayangan yang bisa membuat orang ‘berubah wujud’ akan memberi dampak positif dalam kehidupan. Banyaknya presenter kebanci-bancian dan acara itu disebut memiliki rating yang tinggi menyebabkan timbulnya sebuah anggapan bahwa presenter yang baik adalah presenter yang kebanci-bancian. Akibat yang demikian membuat, pertama, HRD akan memilih sosok banci untuk menjadi presenter. Presenter yang banci sekarang tidak hanya dalam acara musik-musikan namun juga ada dalam acara kuliner, wisata, infotaiment bahkan master of ceremony di mall, kelurahan, RT, kampus bahkan sekolah dipilih mereka yang banci. Kedua, anggapan yang menyebut presenter banci sukses dalam memandu acara membuat laki-laki yang normal akhirnya membuat ia bergaya banci.

Meski demikian apa yang dilakukan diinginkan oleh KPI itu tidak boleh mematikan rejeki orang atau mendiskriminasikan suatu kelompok. KPI dan masyarakat harus memberi standar kriteria kebanci-bancian itu yang bagaimana agar tidak semua laki-laki yang terjun dalam dunia hiburan disebut banci. Apakah kebanci-bancian itu adalah laki-laki yang kemayu, berpakaian perempuang, ber-body language perempuan, atau gabungan dari kriteria-kriteria yang telah disebut tadi. Kriteria ini penting sebab banci sebagai gaya dan banci dalam realita ada perbedaan. Kebanci-bancian bisa jadi hanya sebuah action (memirip-miripkan dengan banci), ada banci yang dalam kehidupan di masyarakat normal mempunyai istri dan anak, ada pula banci yang menjadi sebuah penyimpangan sehingga perlu disembuhkan.

Dalam dunia tari baik tradisional atau modern terkadang penari pria harus melakukan gerakannya dengan lemah gemulai. Nah apakah gaya seperti ini termasuk dalam kebanci-bancian? Nah di sinilah pentingnya dirumuskan standar kriteria kebanci-bancian.   

Siaran televisi memang pontensial untuk membentuk masyarakat menjadi baik atau buruk. Apa yang dilakukan oleh KPI itu upaya untuk membuat masyarakat tetap normal dan menjadi lebih baik. Untuk itu KPI juga harus mendorong acara-acara yang memberi penyadaran kepada masyarakat. Upaya menyembuhkan kaum banci dan LGBT sebenarnya sudah sering disampaikan dalam tayangan-tayangan televisi, sinetron religius. Dalam beberapa sinetron, di mana Aming dan Ivan Gunawan berperan sebagai sosok banci, biasanya dalam alur ceritanya ia selalu diingatkan statusnya oleh orang-orang tercinta dan pemuka agama bahwa dirinya adalah seorang laki-laki dan apa yang dialami itu bisa disembuhkan. Happy ending-nya, banci itu kembali hidup normal.

 

Ikuti tulisan menarik Ardi Winangun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler