x

Panama Papers. bbc.com

Iklan

wijayanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Berkas Panama dan Jurnalisme Investigasi

Sejauh ini hanya Tempo yang menyatakan sebagai satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam ICIJ. Apakah ini cukup?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 9 April lalu, di harian The Guardian, ekonom Prancis, Thomas Piketty, menuliskan ulasan bernada pujian kepada para jurnalis. Menurut dia, para pekerja media telah melakukan pekerjaannya dengan baikdalam menangani Berkas-berkas Panama (Panama Papers). Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ), yang berisikan ratusan wartawan dari seluruh dunia, membongkar ribuan nama politikus dan pengusaha yang menggunakan jasa firma hukum Mossack Fonseca untuk menyembunyikan kekayaan mereka. Apakah jurnalis di Indonesia juga telah melakukan pekerjaannya?

Menurut Tempo.co, ada sekitar 800 nama pebisnis dan politikus Indonesia yang masuk daftar klien Mossack Fonseca. Nama-nama itu termasuk pengusaha James Riady, Franciscus Welirang, Riza Chalid, dan Sandiaga Uno. Selain itu, nama sejumlah pejabat, seperti Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis, disebut. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa memang ada ribuan nama Indonesia yang memiliki perusahaan cangkang di luar negeri dengan nilai total ribuan triliun rupiah.

Merujuk pada keterangan Menteri Bambang, penggelapan pajak bisa jadi merupakan potensi korupsi yang menghasilkan kerugian jauh lebih besar daripada praktek korupsi konvensionalyang selama ini kita kenal. Namun, sejauh mana sistem hukum kita mampu menjerat mereka, mengingat para pelakunya adalah pihak swasta yang tidak sedang memegang jabatan publik? Jika mencermati kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, sejauh ini nama-nama yang berhasil dieksekusi oleh lembaga antirasuah itu masih melulu pejabat publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tepat di sinilah kita membutuhkan peran media untuk membawa kesadaran atas kejahatan luar biasa ini ke pikiran publik. Studi yang dilakukan oleh Stapenhurst (2000) dan Ahrend (2002) mengungkapkan bahwa, pada kasus di berbagai negara, media bisa berperan sebagai pengungkap kasus korupsi dan mendesak lembaga-lembaga penegak hukum untuk menindaklanjutinya. Saat isu pengemplangan pajak dan pencucian uang masih merupakan narasi yang asing bagi sistem peradilan di Indonesia, media harus menyentak kesadaran masyarakat dengan investigasi yang mendalam yang membuktikan bahwa nama-nama di Berkas Panama adalah suatu tindak korupsi dengan kerugian serius bagi negara. Lalu, media bersama masyarakat mendesak lembaga peradilan kita untuk dengan sungguh-sungguh mengadili kejahatan ini.

Namun, ada berapakah media yang secara serius melakukan investigasi lanjut atas berkas itu? Sejauh ini hanya Tempo yang dalam berbagai berita yang diturunkannya menyatakan sebagai satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam ICIJ. Apakah ini cukup? Sebagaimana diungkapkan oleh Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, di laman Facebook-nya pada 6 April 2016, semua nama yang ada di Berkas Panama barulah data awal. Nama-nama yang tertera di sana tidak otomatis orang jahat, tapi patut dicurigai memiliki niat tidak baik. Perbuatan jahat di balik penyembunyian data itulah yang perlu diungkap. Dan ini membutuhkan pengecekan dan proses panjang yang membutuhkan kesabaran.

Berkaca pada sejarah pembongkaran korupsi pengusaha dan penguasa di Indonesia, media akan mudah untuk diserang balik jika tidak memiliki bukti-bukti yang kuat dalam mengungkap fakta. Apalagi dalam sistem hukum kita, para pengusaha diperbolehkan untuk menggunakan mekanisme pidana melalui pasal pencemaran nama baik atau gugatan perdata, alih-alih penyelesaian perkara dengan hak jawab dan mekanisme sejenisnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Kenyataan bahwa nama-nama yang muncul dalam berkas tersebut adalah nama-nama yang saat ini masih merupakan bagian dari rezim kekuasaan membuat tantangan itu semakin berat. Kehati-hatian harus dilakukan atau petaka justru menimpa media itu sendiri.

Di sisi lain, sebagaimana kita lihat dalam film Spotlight, yang berkisah tentang pembongkaran pelecehan seksual di gereja Katolik, investigasi membutuhkan tak hanya kerja keras dan dedikasi, tapi juga waktu yang tak sedikit. Sekumpulan wartawan dibebastugaskanuntuk tidak menulis berita dalam rentang yang lama untuk mengungkap skandal yang entah akan di mana ujungnya. Ini adalah laku sunyi dalam waktu yang terus memburu. Bisa berlangsung dalam hitungan minggu, bulan, hingga tahun.

Bayangkan jika satu nama membutuhkan rentang bulan, bagaimana dengan ratusan nama? Tepat di sinilah kita membutuhkan lebih banyak media untuk melakukan investigasi seperti Tempo. Bahwa hanya Tempo yang terlibat dalam ICIJ merupakan kerugian bagi dunia jurnalisme kita dan gerakan pemberantasan korupsi pada umumnya. Proses investigasi akan sangat lambat, ibarat mengandalkan sebatang kail untuk menangkap jutaan ikan di samudra. Semoga skandal Panama menyentak kesadaran para jurnalis Indonesia, dan juga perusahaan media, untuk memulai tradisi baru jurnalisme investigasi.

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 18 April 2016.

Ikuti tulisan menarik wijayanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu