x

Seorang peselancar wanita mengenakan kebaya dan kain batik usai berselancar di Pantai Kuta, Bali, 21 April 2016. Aksi para peselancar dari komunitas Putri Ombak Bali tersebut dalam rangka memperingati Hari Kartini. TEMPO/Johannes P. Christo

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Susahnya Menjadi Perempuan

Apakah perempuan punya kebebasan atas tubuhnya sendiri. Tulisan ini menyoroti masalah pilihan busana yang dipakai perempuan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri.

The Second Sex-Simone de Beauvoir 1949

Raden Ajeng Kartini sudah wafat 112 tahun lalu. Tapi kelahirannya, tiap tanggal 21 April masih diperingati sebagai hari emansipasi perempuan yang sayangnya lebih dimaknai dengan berlomba mengenakan busana tradisional semata. Perjuangan seorang perempuan yang menentang poligami tapi ironisnya menjadi korban poligami. Selama berada di balik dinding pingitan sembari menunggu jodoh yang sudah ditentukan, Kartini menuangkan gagasannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

BACA:Memperjuangkan Poligami Sejak Masa Kartini

Gagasan seorang anak perempuan yang ditarik dari dunia luar dari usia 12 tahun hingga menjelang kematiannya pada 17 September 1904 itu terlampau maju untuk saat itu. Melalui korespondensinya dengan para feminis Belanda, Ny. Ovink Soer, Q. Nellie Van Kol Stella, dan pasangan J.H. Abendanon, Kartini berbicara tentang pendidikan perempuan, perkawinan, hingga soal kebebasan beragama.

Tulisan ini tidak hendak mengupas masalah perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan Kartini. Tulisan ini hendak menyoroti apakah perempuan sekarang benar-benar sudah merdeka bukan hanya dalam tindakan, tapi juga sejak dalam pikiran. Apakah perempuan punya kebebasan atas tubuhnya sendiri. Ini sekaligus untuk menandai benarkah perjuangan Kartini sudah benar-benar berhasil setelah milenium berganti di 2016 ini.

BACA:KARTINI MASA KINI: Nixia, Gamer Pendobrak Stigma

Terkhusus, saya ingin menyoroti masalah pilihan busana yang dipakai perempuan. Buat saya, hingga saat ini, perempuan makin tidak merdeka untuk menentukan sendiri baju yang pantas melekat pada tubuhnya. Semakin ke sini, masyarakat semakin merasa punya kuasa untuk menentukan busana yang sebaiknya dikenakan perempuan.  Walhasil, saat menentukan baju untuk dirinya sendiri, suara publik tak boleh diabaikan.

Ada stempel baik-baik dan tidak baik-baik saat perempuan mengenakan busana. Perempuan yang memakai celana super mini dan kaus kutang, apalagi yang memperlihatkan buah dadanya, langsung dicap bukan perempuan baik-baik. Sebaliknya, perempuan berbusana muslim, menggunakan jilbab, masyarakat langsung memuja dan memberikan stempel perempuan taat, sholehah, dan  calon penghuni surga.

Contoh paling jelas saat artis Marshanda memutuskan melepas hijabnya bertepatan saat ia mengakhiri pernikahannya dengan Ben Kasyafani. Hujatan publik meluncur deras. Marshanda yang mengupload foto tengah olah raga sambil menari bersama teman perempuan, langsung diminta bertobat. Ia juga disebut tengah kumat dan mengalami masalah mental. Tak ada yang berpikir bahwa ia pasti punya alasan melepasnya.

BACA:Semoga Ini Benar-Benar Akhir yang Happy untuk Marshanda

“Masya Allah itu aurat dibuka,” “perubahannya kok jadi jelek,” “duh, kenapa ga murtad aja sekalian.” itu komentar netizen menanggapi unggahannya di Instagram. Hujatan dan cercaan tak pantas dan melemahkan mental pun keluar. Padahal kalau dipikir, itu adalah akun media sosial artis berparas selalu segar sentosa itu. Sebodo teuing Marshanda mau posting apa. Kalau merasa terganggu, kenapa tidak unfollow atau lewati saja postingannya.

Saya sendiri pernah mengalami hujatan dan seribu pertanyaan ketika memutuskan melepas hijab saat pertama kali merantau di Jakarta. Keputusan itu didasarkan karena saya berkeyakinan pemilik atas tubuh ini ya saya sendiri. Saat orang bertanya apa alasannya, saya selalu menjawab, “oh, saya mengalami pencerahan dengan melepasnya.” Ketika saya memutuskan memakainya lagi karena memang ingin melakukannya, kembali pertanyaan muncul apakah saya sudah sadar. Saya merasa lucu. Ini tubuh saya kok orang lain ikut pusing. Setelah berjilbab, saya pun tak merasa menjadi lebih baik dari mereka yang tidak berhijab. Juga tak merasa telah  memegang kunci masuk surga.

Dan yang umum terjadi, jika terjadi pelecehan atau pemerkosaan, masyarakat sering terbelah untuk berpihak kepada korban atau enggan bersimpati.  Begitu ada kabar telah terjadi pemerkosaan, yang diburu masyarakat adalah, peristiwa itu terjadi dimana, jam berapa, korban memakai baju apa, seberapa auratnya ditutup, dan apa profesinya. Begitu mengetahui korban memakai rok mini, publik berujar, “pantas diperkosa, wong ngumbar aurat kemana-mana.” Artinya, pakaian korban menentukan alasan terjadi pemerkosaan itu dan apa respons masyarakat terhadap kasus tersebut.

BACA:Hari Kartini, Aktivis Perangi Intoleransi

Akhirnya, simpati tak lagi diberikan kepada korban. Padahal, yang namanya kasus pemerkosaan itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan dan jelas tidak diinginkan korban. Masyarakat seolah lupa, pemerkosanya telah bertindak luar biasa jahat. Pelaku langsung dimaafkan tanpa berpikir bahwa dialah yang bermasalah karena tidak bisa mengendalikan nafsunya. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Nah, masyarakat baru bersimpati jika korbannya menutup rapat tubuhnya.

Rasanya publik tidak pernah menghakimi pria yang keluar dengan celana super pendek dan ketat hingga menonjolkan kemaluannya. Mereka menganggap biasa. Kalau kemudian ekses dari situ, ada perempuan yang hatinya meleleh melihat tubuh yang kotak-kotak, seperti saat ABG dan ibu muda termehek-mehek melihat tubuh artis Korea, Song Joong-ki, maka tindakan pria itu dimaklumi. “Siapa suruh ga bisa jaga mata dan hati.” Hujatan seksis kembali kepada perempuan itu lagi. “Dasar lemah iman, gak bisa mengendalikan mata,” “perempuan gatal,” dan “dasar jablay.” Nah, kalau sudah begitu, repot kan?

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler