x

Jaksa Sudung Kenal Perantara Suap

Iklan

Antoni Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tertangkap Tangan Lagi

Kali ini negara digegerkan dengan keberhasilan KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dua kali dalam sehari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memberikan angin segar kepada Indonesia. Kali ini negara digegerkan dengan keberhasilannya melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dua kali dalam sehari, Kamis (31/3). Hal ini merupakan pertanda bahwa korupsi masih tumbuh bermekaran di negeri ini.

Pertama, Kasus korupsi PT Brantas Abipraya. Dimana KPK berhasil mengamankan uang sekitar Rp 1,96 milyar dari pejabat PT Brantas Abipraya yang diduga akan diberikan kepada Kejati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.

Kedua, Kasus Reklamasi Teluk Jakarta.  Kasus ini melibatkan ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta yang menjabat ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi. Ia tertangkap tangan menerima suap Rp 1,14 milyar dari pihak swasta PT Agung Podomoro Land (APL). Selain Sanusi, KPK juga menangkap 4 orang lainya yaitu; Geri (Swasta), Trinanda Prihantoro ( Karyawan PT APL), Berlian (Sekretaris Direktur PT APL) dan Ariesman Widjaya (Presiden Direktur PT APL).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terungkapnya dua kasus tersebut menambah panjang daftar korupsi yang tertangkap melalui OTT. Sebagaimana Dwimayanti Wisnu Putranti, anggota DPR fraksi PDIP terkait dugaan suap pembangunan infrastruktur kawasan Indonesia timur (13/1), sebulan kemudian KPK menangkap Kasubdit PK Kasasi perdata dan khusus MA Andri Tristianto Sutrisna seusai menerima suap Rp 400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) Ichsan Suaidi. Tertangkapnya beberapa orang koruptor tersebut tidak lepas dari kerja keras yang dilakukan oleh KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Akar Penyuapan

Menilik dari benang merah historis, penyuapan di Indonesia merupakan warisan (legacy) kaum kolonial belanda. Perilaku koruptif itu telah bermetamarfosis sejak zaman kerajaan Indonesia, yakni kita mengenal istilah upeti yang harus dibayar masyarakat kepada raja demi kelancaran usaha. Kemudian kita tentu juga mengenal dengan istilah uang pelicin dan uang rokok dalam bahasa keseharian masyarakat. Istilah tersebut merupakan uang ‘wajib’ yang harus dibayarkan msyarakat bila berurusan dengan ranah administrasi. Bila tidak dibayarkan, maka siap-siap saja segala urusan di nomor sekiankan. Dan tradisi ini terus terjaga dari generasi-ke generasi. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal penyuapan di negeri ini.

Kemudian Bung Hatta pernah mengatakan ‘ Korupsi telah membudaya di Indonesia’. Pernyataan tersebut diucapkan Bung Hatta dalam kapasitasnya menjadi seorang penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi tahun 1970 silam. Hal ini memberikan gambaran bahwa praktek Korupsi bukanlah hal baru, melainkan telah tumbuh dan berkembang sejak dulu.

Namun meski telah berlangsung lama, obat untuk memberantas praktek korupsi ini belum juga ditemukan. Dahulu suap ditujukan kepada raja guna untuk kelancaran usaha, sekarang deberikan kepada pejabat yang bisa memberikan kemudahan, begitulah praktek yang terus terjadi.

Kehilangan Marwah

Perdebatan mengenai korupsi memang selalu menarik untuk dikaji. Meski telah banyak koruptor yang tertangkap, namun korupsi di Indonesia tetap saja berada pada angka yang tinggi. Hukum pun seperti kehilangan marwahnya dalam upaya menjalankan fungsi bila dihadapkan dengan korupsi.

Hal ini ditenggarai oleh vonis ringan yang selalu diberikan kepada pelaku korupsi. bahkan parahnya lagi, vonis yang diberikan sering kali menciderai rasa keadilan yang tertanam dalam hati nurani masyarakat. Bukankah korupsi itu merupakan kejahatan luar biasa? Namun mengapa hukuman yang berat masih saja sebatas mimpi.

Sejatinya dengan vonis ringan tersebut, Korupsi akan selalu dianggap sebagai perbuatan yang menjanjikan untuk meraih kesejahteraan dalam waktu singkat. Bila tertangkap, maka itu akan dianggap sebagai kecelakaan dan merupakan resiko ringan yang harus ditanggung. Korupsi pun senantiasa dianggap sebagai kejahatan biasa yang memiliki ancaman pidana ringan.

Mengingat korupsi merupakan kejahatan luar biasa ( extraordinary crime), maka seharusnya diberantas dengan upaya yang luar biasa pula (special treatment). Yaitu dengan menciptakan hukum yang kejam bagi para koruptor, seperti hukuman mati atau memiskinkannya sampai ke sanak famili sehingga dia merasakan bagaimana hidup dibawah kemiskinan. Hal ini dikarenakan korupsi mempunyai dampak besar berupa tertundanya perwujutan dari kesejahteraan rakyat shingga yang terjadi hanyalah kemelaratan dan kesengsaraan bagi rakyat.

Sebagai solusi yang penulis tawarkan untuk memberantas korupsi, hukuman yang berat merupakan pilar utama. Sementara untuk membunuh bibit korupsi, pencerdasan masyarakat merupakan solusi yang wajib dilakukan. Pencerdasan masyarakat merupakan upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat betapa bahayanya korupsi. Sebab korupsi tidak hanya berkembang dikalangan elit saja, tetapi jauh sebelum itu, korupsi telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Oleh sebab itu, negara harus mampu menjinakan sosial budaya korupsi yang berkembang dalam masyarakat ( social and cultural domestication). Karena sejatinya korupsi tidak akan pernah bisa diberantas bila budaya yang merupakan akar utama dari permasalahan korupsi ini diperbaiki.

Ikuti tulisan menarik Antoni Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu