x

Iklan

Renaldy Akbar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tax Amnesty, Pertaruhan Bagi Jokowi

Dengan mengurai data dan asumsi tentang kebijakan fiskal Jokowi, penulis berargumen bahwa kebijakan Tax Amnesty lebih mengarah pada motif politik anggaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak pada Selasa, 28 Juni 2016. Melalui UU tersebut, pemerintah memberikan insentif berupa penghapusan utang pajak dan pengampunan tindak pidana bagi wajib pajak dimasa lalu dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Akan tetapi, kebijakan tersebut sampai saat ini masih menjadi topik nasional yang hangat dibicarakan.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menilai bahwa dana warga negara Indonesia yang selama ini beredar diluar negeri mencapai lebih dari Rp. 11.400 Triliun lantaran mereka menghindari pajak. Angka tersebut berasal dari akumulasi atau perhitungan harta kekayaan pengusaha-pengusaha kaya Indonesia yang sudah memarkir uangnya diluar negeri sejak 1970-an. Oleh sebab itu, dengan menghapus utang wajib pajak dan tindak pidana dimasa lalu (Tax Amnesty), harapanya para wajib pajak akan melakukan repatriasi atau mengembalikan dana yang selama ini parkir diluar negeri sehingga pada giliranya akan meningkatkan penerimaan negara.

Namun, banyak kalangan mencatat bahwa dari banyaknya negara yang melakukan kebijakan Tax Amnesty, rata-rata dari mereka gagal. Bahkan International Monetary Fund (IMF) pada 2008 secara terang-terangan berargumen bahwa kesuksesan Tax Amnesty bagaikan anomali, karena sebuah kesuksesan akan dinilai tidak normal dan kegagalan menjadi sesuatu yang normal. Indonesia sendiri sudah pernah menerapkan kebijakan Tax Amnesty pada medio 1980-an tetapi realisasinya gagal mencapai target karena lemahnya mekanisme dan sosialisasi pengantarnya.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa kebijakan Tax Amnesty Joko Widodo (Jokowi) berpotensi gagal sebab kebijakan ini tidak realistis diterapkan ditengah perlambatan ekonomi Indonesia yang pada kuartal I 2016 hanya tumbuh 4,92 persen, turun 0,34 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Ia berpendapat bahwa seseorang atau sebuah perusahaan disaat pertumbuhan ekonomi melambat, logikanya memikirkan bagaimana mempertahankan labanya seperti tahun lalu, bagaimana supaya tidak memecat karyawan, bagaiamana mencapai target. Lalu disodori Tax Amnesty dimana konsekuensinya kalau ikut harus ada biaya (cost) yang dikeluarkan, maka partisipasi untuk ikut Tax Amnesty kecil dan kebijakan ini berpotensi gagal. Apalagi, pada 2018 bertepatan dengan Pertukaran Data Perpajakan Otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) secara global dimana seseorang akan sulit untuk menyimpan suatu dana yang tidak terlacak.

Menurut Le Borgne dan Baer (2008), kebijakan Tax Amnesty harus diawali dengan memastikan penyebab ketidakpatuhan wajib pajak, apakah karena sistem perpajakanya yang buruk atau karena penerapan administrasi perpajakan yang tidak efektif. Jika penyebab tersebut sudah diketahui maka masalah tersebut dulu yang seharusnya dibenahi sebelum Tax Amnesty diterapkan. Alih-alih melakukan pengkajian mendalam terlebih dahulu soal ketidakpatuhan pajak, Jokowi malah “ngotot” agar kebijakan Tax Amnesty sesegera mungkin direalisasikan. Bahkan sebelumnya ia mengancam mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) Tax Amnesty jika pembahasan RUU Tax Amnesty mandek di DPR. Setelah disahkan DPR, ia pun ingin Tax Amnesty berlaku secepat mungkin, yakni 1 Juli 2016, hanya selang tiga hari setelah UU disahkan DPR. Menjadi sebuah pertanyaan besar, apa motif pemerintahan Jokowi melakukan kebijakan Tax Amnesty?

Hukum Besi Fiskal

Tepat setelah disahkanya UU Tax Amnesty, DPR akhirnya mengesahkan APBN Perubahan 2016 menjadi UU. Postur APBN-P 2016 yakni pendapatan negara Rp. 1.766,255 Triliun dengan rincian penerimaan pajak Rp.1.539,166 Triliun dan penerimaan bukan pajak Rp.245,083 Triliun. Sedangkan belanja negara ditetapakan sebanyak Rp.2.082,948 Triliun sehingga dari pengurangan tersebut muncul defisit Rp. 296,723 Triliun atau 2,35 persen dari PDB.

Sayangnya, hingga pekan pertama Juni 2016 penerimaan negara baru mencapai Rp. 510,3 Triliun atau 28,3 persen dari APBN-P 2016. Rendahnya penerimaan negara disebabkan rendahnya realisasi penerimaan pajak. Hingga Mei 2016, penerimaan pajak baru mencapai Rp 364,1 Triliun atau 23 persen dari APBN-P 2016. Oleh sebab itu, sebenarnya tujuan dari Tax Amnesty untuk menaikan penerimaan negara dari sektor pajak.

Apabila kita hitung dan kita asumsikan besaran penerimaan negara dan realisasi anggaran belanja negara pada tahun 2015 dan 2016 sama. Jadi, anggaplah hingga Desember 2016 target realisasi pajak sama dengan realisasi pajak Desember 2015 yakni 81,5 persen dari target APBN-P 2015. Berarti, realisasi pajak hingga Desember 2016 tercapai 81,5 persen dari APBN-P 2016 yakni Rp. 1.254,42 Triliun. Sedangkan penerimaan negara dari sektor non pajak pada Desember 2015 yakni 93,8 persen berarti realisasi penerimaan negara non pajak hingga Desember 2016 yakni Rp. 229,88 Triliun. Hasilnya, penerimaan pajak hingga Desember 2016 sebesar Rp. 1.484,3 Triliun. Sedangkan realisasi anggaran belanja negara hingga Desember 2016 asumsikan sebesar 91,2 persen sama seperti Desember 2015, berarti sebesar Rp. 1.899,64 Triliun. Jadi, kita berasumsi pada dua  kondisi. Pertama penerimaan negara tanpa ditambah target dana Tax Amnesty. Kedua, ditambah target dana Tax Amnesty.

Pada kondisi pertama, penerimaan negara berarti Rp. 1.484,3 Triliun sehingga menimbulkan defisit Rp. 416,34 Triliun atau 3,29 persen dari PDB. Dalam kondisi yang demikian, UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatakan bahwa jika defisit anggaran mencapai 3 persen, maka presiden melanggar UU dan presiden bisa di-impeach (dilengserkan). Inilah yang sering disebut-sebut sebagai “Hukum Besi Fiskal”.

Pada kondisi kedua, penerimaan negara ditambah target dana Tax Amnesty sebesar Rp. 165 Triliun menjadi Rp. 1.649,3 Triliun dan oleh karenanya defisit negara hanya Rp. 250,34 Triliun atau 1.98 persen dari PDB. Jika berhasil, Jokowi aman dari “Hukum Besi Fiskal”. Maka tidak heran apabila pemerintahan Jokowi “ngotot” agar Tax Amnesty diberlakukan dengan asumsi bahwa dana tebusan Tax Amnesty dapat menambal defisit negara yang melebihi 3 persen dari PDB. Pertanyaanya kemudian, bagaimana jika target penerimaan pajak tidak tercapai? Bagaimana jika target dana dari Tax Amnesty pun tidak tercapai?

Akrobatik Fiskal

Sedari awal, pemerintah Jokowi tidak mempertimbangkan tren penurunan pencapaian target. Memang target-target pemerintah menunjukan sikap optimistik. Akan tetapi, semua variabel ada pakemnya. Tidak bisa melakukan akrobatik fiskal terus menerus, harus ada perhitungan. Bisa kita lihat, short fall pajak atau kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam APBN atau APBN-P terjadi terus menerus secara berturut-turut. Pada tahun 2012 (96,5 persen), 2013 (94,6 persen), 2014 (92,3 persen) dan pada 2015 turun drastis (81,5 persen). Turun drastis ini disebabkan pemerintah mematok target penerimaan pajak terlalu tinggi (Rp. 1.489,3 Triliun) dari realisasi penerimaan pajak tahun 2015 (Rp. 1,143,3 Triliun) naik 30 persen. Seakan tidak belajar dari masa lalu, pemerintah justru lagi-lagi berakrobat untuk menaikan penerimaan pajak dalam APBN-P 2016 (Rp. 1.539,166 Triliun) hingga lebih dari 30 persen dari dari realisasi penerimaan pajak tahun 2015 (Rp. 1.055 Triliun)

Padahal, bila mengacu perhitungan direktorat pajak, setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan ada kenaikan penerimaan pajak 1,5 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah tumbuh 5 persen, seharusnya target penerimaan pajak 7,5 persen. Kenapa saat ini target penerimaan pajak sampai lebih dari 30 persen? Oleh sebab itu, banyak kalangan menilai target penerimaan pajak dalam APBN-P tidak realistis dan masih berat. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyatakan target pajak 2016 sangat berat, apalagi tahun ini konteksnya masih pemulihan ekonomi, kita pasti akan “berdarah-darah”.

Entah jurus sakti apa yang akan dilakukan pemerintah Jokowi kedepan. Namun yang jelas, “Hukum Besi Fiskal” menanti Jokowi. Apabila target penerimaan pajak tidak terlaksana, maka Jokowi harus hati-hati. Kita berasumsi bahwa penerimaan pajak 2016 sekitar 81,5 persen sama dengan tahun 2015. Namun, tidak bisa dijamin bahwa tren short fall terjadi kembali apabila kita melihat tahun-tahun sebelumnya.

Kondisi yang kita asumsikan diatas bahwa pendapatan yang sudah termasuk Tax Amnesty sebesar Rp. 1.484,3 Triliun. Menurut Yustinus, angka realistis yang mungkin akan dicapai dari penerimaan pajak 2016 sebesar Rp. 1.220 Triliun sudah termasuk dari dana Tax Amnesty. Ini berarti, penerimaan negara sebesar Rp. 1.220 Triliun dari sektor pajak dan Rp. 229,88 dari sektor non pajak hasilnya Rp. 1.449,8 Triliun. Disamping itu, anggaran belanja negara sebesar Rp. 1.899,64 Triliun seperti yang diasumsikan diatas. Dengan begitu, maka defisit yang akan lahir sebesar Rp. 439,84 Triliun atau 3,48 persen dari PDB. Ingat, ketika defisit anggaran mencapai 3 persen, maka presiden melanggar UU dan presiden bisa di-impeach (dilengserkan). Padahal, angka Rp. 1.220 Triliun tersebut sudah ditambah asumsi Menteri Keuangan dengan dana Tax Amnesty sebesar Rp. 165 Triliun. Kalau kita menggunakan data Bank Indonesia (BI), dana Tax Amnesty hanya akan menambah penerimaan negara sebesar Rp. 45,7 Triliun, maka defisit negara akan lebih tinggi.

Oleh sebab itu, motif kebijakan Tax Amnesty ini lebih mengarah pada politik anggaran untuk mengamankan APBN Tahun 2016 agar tidak defisit dan terkena “Hukum Besi Fiskal”. Akan tetapi, melihat gaya akrobatik fiskal yang dilakukan pemerintahan Jokowi menjadi pertaruhan bagi jabatanya sebagai presiden. Akrobat itu jika berhasil orang akan berdecak kagum, namun jika gagal sering jadi petaka.

 

Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) Indonesia Periode 2016 - 2017

Ikuti tulisan menarik Renaldy Akbar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler