x

Iklan

Kekek Apriana Dwi Harjanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sudut Lain: Kisah Kramat tunggak, Saritem, Dolly &Tanjung Elmo

praktek pelacuran mustahil untuk berhenti jika hanya menutup lokalisasi tanpa mengatasi kemiskinan perkotaan (Irwan Julianto, 2010).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudut lain: Kisah Kramat tunggak, Saritem, Dolly &Tanjung Elmo

Ketika berkunjung ke Dolly beberapa bulan lalu masih terlihat sebuah gang dengan deretan rumah sekitar 60-70an jumlahnya yang saling berhadapan. Rumah-rumah yang mengkisahkan sebuah ex lokalisasi yang ramai dengan tamu-tamu yang tidak berhenti untuk membeli seks, penduduk  yang memanfaatkan lokalisasi sebagai sumber ekonomi dan aktivitas warga yang tergolong sangat lengkap dari kegiatan berpasrah kepada Ilahi hingga maksiat. Dolly seperti kita kenal adalah sebuah lokalisasi terbesar di Jawa Timur yang merupakan salah satu daya tarik Surabaya. Selain Dolly, membahas Kramat Tunggak Jakarta, Saritem Bandung dan Tanjung Elmo Papua tidak bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah bahwa Indonesia pernah memiliki lokalisasi-lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Menurut dokumen sejarah praktek prostitusi yang kini dikenal sebagai kegiatan di lokalisasi/lokasi di Indonesia sudah dimulai sejak masa awal penjajahan Belanda. Singkat kata, prostitusi di Indonesia ini dimulai pada masa sebelum kemerdekaan dengan adanya kebutuhan untuk memperoleh kepuasaan dari pria pribumi, pria-pria Belanda kala itu, tentara jepang, dan pria-pria pendatang lainnya. Terbaca dalam arsip nasional bahwa situasi ini  lebih  dikarenakan  jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia (DKI Jakarta) lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya (Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial, Jakarta: ANRI, 2001).  Dibandingkan lokalisasi/lokasi yang lain, Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah tempat pertama bersejarah yang melegalkan lokalisasi/lokasi di Indonesia. Tepatnya tahun 1970 setelah 25 tahun kemerdekaan RI. Sebuah gebrakan yang berani dari Gubernur Ali Sadikin kala itu dengan melegalkan melegalkan lokalisasi /lokasi  Kramat Tunggak  yang  terdiri  dari  300 pekerja seks  dan 76 orang germo.

Praktek  prostitusi  ini benar-benar tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia pada  jaman pembangunan atau dikenal dengan istilah jaman rezim orde baru. Pemerintah cenderung “membiarkan” praktek prostitusi ini tersebar dan memanfaatkan perolehan pajak dari usaha prostitusi secara rutin.  Hebatnya kala itu hampir  tidak  ada  kota di Indonesia  yang  tidak  mengenal  praktek  prostitusi  pada  masa  pemerintahan  orde  baru. Satu orang informan di Kramat Tunggu menuturkan bahwa lokalisasi/lokasi ini sangat ramai di jaman Pak Harto dan tidak terdengar penolakan oleh masyawakat Jakarta. Kramat tunggak ini dilindungi pemerintah. Memperhatikan dan membaca dokumen-dokumen yang ada tentang lokalisasi/lokasi di masa pra kemerdekaan, masa kemerdekaan, masa orde baru  dan masa reformasi, harus diketahui bahwa lokalisasi/lokasi adalah  fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang disetiap putaran jaman dan keadaan. Keberadaan prostitusi dengan berbagai bentuknya secara langsung atau tidak langsung tidak pernah selesai dibahas apalagi dihapuskan. Membayangkan kramat tunggak saja, sebuah daerah ex persawahan yang berubah menjadi prostitusi dalam tiga lintas masa yaitu masa dari masa Kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang  dan  setelah kemerdekaan. Lokasi Kramat Tunggak yang strategis dan mudah diakses dari pelabuhan Tanjung Priok dengan kendaraan apa saja di wilayah Jakarta Utara. Kala itu kramat tunggak merupakan tempat tujuan utama para tamu atau pekerja yang berlabuh atau bekerja di areal pelabuhan tanjung priok untuk mendapatkan hiburan dan kesenangan. Tamu atau pembeli seks bahkan para pelanggan berasal dari berbagai wilayah di tanah air, asia atau dari negara barat. Secara fisik Kramat Tunggak semacan lorong atau gang yang namanya bermacam-macam misalnya black rose, pondok santai dan lainnya.  Rumah kerlap-kerlip atau remang-remang, saling berhadapan dengan music yang keras setiap rumah mirip dengan pasar senggol. Disitulah ada kamar dengan sekat-sekat dan tamu masuk kedalamnya. Semua kamar berisi pegawai dengan ruangan untuk minum. Yang berada di jalan besar tertutup tembok tingga seperti Jakarta Islamic Center. Semua tertutup namun setiap gang ada tembus dan dapat berjalan muter. Sungguh suatu surga sendiri bagi penikmatnya. Namun kisah Kramat Tunggak berakhir seiring dengan pergantian pemimpin negara, perubahan politik memasuki  jaman reformasi dan krisis monoter melanda di tahun 1998. Situasi kala itu berpengaruh juga pada keberadaan Kramat Tunggak sebagai barometer lokalisasi/lokasi di Indonesia. Sebagian besar kelompok masyarakat terutama kelompok fundamentalis agama, organisasi masyarakat atau kelompok yang kontra lokalisasi/lokasi menuntut Sutiyoso selaku Gubernur DKI Jakarta kali itu untuk menutup lokalisasi/lokasi kramat tunggak. Jakarta adalah wajah ibukota negara  yang sudah bersih dari maksiat, tidak pantas ada prostitusi dan perjudian. Mereka juga menuduh bahwa pendapatan daerah tidak halal karena berasal dari kegiatan masiat. Karena desakan yang sedemikian besar, pemerintah DKI Jakarta akhirnya mengalah dan mengeluarkan SK Gubernur nomer 6485/1998 tentang penutupan lokasi/lokalisasi  dan  pada tahun 2001 menggantinya  dengan  mendirikan Jakarta Islamic Centre.  Tidak ada analisis sosial yang mendasarinya, analisis kesehatan pada lokalisasi/lokasi, tidak ada pertimbangan ekonomi yang mempengaruhinya dan tidak ada yang melihat aspek hukum dari SK gubernur DKI Jakarta tahun 1970. SK berdirinya dibalas dengan SK penutupan pada era yang lain. Tidak terpikirkan bahwa praktek  pelacuran atau prostitusi ini berangkat dari kemiskinan  perkotaan  maupun  pedesaan  yang  menjadi  asal mula  para  pekerja seks. Semua dilihat dari satu sisi, menegakkan moralitas. Studi-studi yang ada tentang pelacuran di Indonesia yang  menyebutkan bahwa ekonomi penduduk meningkat, keamanan relative terjaga dan pelacuran  di seluruh  Indonesia berasal dari daerah miskin di pedesaan, seperti Indramayu dan lain-lain sebagai sumber areal pekerja seks sama sekali tidak dipertimbangkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semangat penutupan demi moral bangsa juga terjadi di lokasi/lokalisasi Saritem, Bandung yang memiliki kesamaan sejarah dengan Kramat Tunggak. Saritem lahir sebelum kemerdekaan dan merupakan warisan sejarah dari masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang yang tidak pernah lepas dari segala kontroversinya. Para serdadu Belanda, warga negara Belanda, tentara Jepang dan masyarakat pribumi datang  ke  Saritem  untuk  memperoleh  kepuasan  seksual.  Cerita tentang  nama Saritem, sangat beragam versi. Yang katanya nama penjual jamu, Nyai favorit gundik belanda sampai dengan legenda-legenda lainnya.  Lokasi Saritem dahulu kala berdekatan dengan stasiun kereta sehingga memudahkan mobilitas penumpang untuk menurunkan barang ataupun singgah di Bandung untuk mencari hiburan.  Uniknya, hubungan yang akrab dan saling mendukung antara pekerja seks, pemilik wisma dan masyarakat sekitar menyertai perjalanan lokasi/lokalisasi Saritem. Warga masyarakat di Saritem berbaur dengan kehidupan lokasi/lokalisasi sebagai bagian yang saling mendukung agar lokasi/lokalisasi dapat terus berjalan. Informasi ini diperoleh dari informan yang lahir dan besar di wilayah Saritem. Mereka yang tinggal di Saritem memiliki nasib yang sama dalam keterbatasan mendapatkan  pekerjaan dan kemiskinan membuat warga baik penduduk, pekerja seks dan pemilik wisma di lokasi/lokalisasi terus bertahan untuk hidup walaupun penuh tantangan seperti, penutupan oleh pemerintah kota Bandung. Sebagian penduduk sebelum penutupan lokasi/lokalisasi memiliki mata pencarian dengan mengandalkan Saritem seperti menyewakan 2-3 kamar di rumahnya untuk kegiatan prostitusi, ada yang membuka warung makan, menerima layanan cuci pakaian, dan kegiatan lainnya untuk mendapatkan tambahan penghasilan ataupun sebagai penghasilan utama.  Warga dan kelompok pekerja seks saling membutuhkan dan mendukung termasuk untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dari rukun tetangga (RT) hingga rukun warga (RW). Kegiatan-kegiatan sosial seperti jika ada anggota warga yang sakit maka ikut nyumbang, pembangunan gedung pertemuan RW, acara-acara warga dan sebagainya. Kisah Saritem berakhir pada tanggal 18 April tahun 2007  atas  perintah  walikota  Bandung  H Dada Rosada yang  berjanji  menutup  Saritem  selamanya atas desakan kelompok yang menjunjung tinggi moral dan agama.

Setelah Saritem, 7-8  tahun kemudian komitmen politik walikota Surabaya mengoyang Dolly. Wacana penutupan dolly sudah sering dibahas pada dan berlangsung lama dari satu generasi pemerintahan ke generasi berikutnya, dari satu dekade ke dekade berikutnya hingga akhirnya melalui walikotanya, ibu risma menghendaki Surabaya memiliki citra kota yang modern dan agamis dengan salah satunya menutup Dolly. Siapa tidak kenal Dolly? Nama Dolly sendiri menurut informasi salah satu narasumber berasal dari nama  Dolly Van Der Mart seorang mucikari yang mengawali dengan 1-2 rumah hiburan dan kemudian orang-orang datang dan membangun rumah-rumah disekitarnya untuk  tempat hiburan. Pada tahun 50an, Dolly dan Jarak  termasuk lokasi yang jauh dari pemukiman warga. Pada masa itu, menurut informasi di Puta Jaya,  orang takut masuk di wilayah putat jaya karena ada kuburan dan jarang penduduk tinggal di wilayah tersebut. Tidak banyak warga yang yang tinggal di sekitar Dolly dan Jarak.  Memasuki tahun 1980 ke atas Dolly dan Jarak makin padat dan belakangan ini tahun 1990 bertambah padat karena turun temurun tinggal di perkampungan putat jaya. Padatnya aktivitas prostitusi di gang Dolly atau areal Jarak sejak awal berdirinya membuat masyarakat  yang  tinggal di wilayah  tersebut atau orang-orang berdatangan  turut mencari nafkah dengan bekerja memenuhi kebutuhan para pekerja seks dan pemilik wisma di lokalisasi/lokasi. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar seperti jualan nasi, mencuci pakaian, parkir motor dan mobil, keamanan, tukang bangunan, penjahit keliling, pijat dan lulur, kredit barang dari pakaian hingga HP, jualan air galon dan gas, antar jemput tamu sekaligus penunjuk arah, jualan abu gosok, dagang makanan keliling dan sebagainya. Mengurai Dolly dan Jarak akan banyak cerita tentang interaksi masyarakat pada umumnya dengan pekerja seks dan pemilik wisma yang berlangsung lama puluhan tahun sehingga menciptakan ketergantungan dan saling membutuhkan. Masyarakat dan pekerja di lokasi/lokalisasi memperlihatkan keberagaman interaksi dari yang bersifat partisipasi aktif bermasyarakat seperti mengikuti pengajian, kegiatan senam sampai dengan memberikan iuran rutin keamanan dan sumbangan pada acara memperingati hari kemerdekaan RI serta Halal Bihalal dengan warga masyarakat Dolly dan Putat.  Ketika tahun 1945 dimana lokalisasi/lokasi  Dolly baru mulai hadir, para pekerja seks yang bekerja masih menggunakan jarit, setagen dan kebaya saat menemani pelanggan atau tamu pembeli seks. Kemudian gaya berbusana sudah berubah, para pekerja seks berdandan sangat seksi dengan menonjolkan lekuk tubuhnya untuk mendapatkan tamu atau pelanggan. Setiap wisma di malam hari akan menyalakan lampu terang pada bagian depan dan membiarkan gang di Dolly untuk tetap remang-remang. Pelanggan atau tamu dapat berjalan di sepanjang gang Dolly sambil melihat kearah kaca yang mirip etalase toko dan memilih pekerja seks yang berada di balik kaca tersebut. Tamu ataupun pelanggan berasal dari macam-macam profesi dan latar belakang pekerjaan. Dari orang lokal hingga manca negara seperti cina dan korea datang ke dolly dan jarak untuk mendapatkan kesenagan. Tamu dan pelanggan dapat terdiri dari orang muda, pelajar hingga orang tua.

Lokalisasi/lokalisasi makin tidak hadir secara fisik, setelah Kementerian Sosial menyatakan bahwa Indonesia harus bebas lokalisasi/lokasi tahun 2019. Tanjung Elmo adalah salah satu lokasi/lokalisasi di Kabupaten Jayapura yang ditutup secara resmi oleh Menteri Sosial, Bupati Jayapura dan para pejabat di papua pada tanggal 17 Agustus 2015. Menurut informan, Sebelum terjadi pemakaran kota dan kabupaten Jayapura, lokalisasi/lokasi Tanjung Elmo dahulu berada di pinggiran kota Jayapura, menjadi tempat pembuangan sampah dan jauh dari pemukiman penduduk.  Namun sekitar tahun 70 wilayah Sentani menjadi satu kecamatan dan masuk ke wilayah kabupaten Jayapura. Kemudian Bupati Jayapura pada tahun 1978 merubah fungsi lokasi pembuangan sampah menjadi wilayah kepemilikan pengelola lokasi/lokalisasi. Kemudian mulailah masyarakat yang memiliki sertifikat membuat kavling-kavling dan terbentuklah lokasi/lokalisasi. Satu tempat disini juga pernah menjadi pusat latihan tenaga kerja dan spiritual yang dikembangkan  oleh  Dinas Sosial untuk membina dan meningkatan ketrampilan para pekerja seks, dikenal dengan program rehabilitasi di Tanjung Elmo selama 20  tahun.  Lokasi/lokalisasi terdiri dari 25 wisma, 274 orang pekerja seks dan 13 orang pekerja yang mendukung operasional pelaksanaan Tanjung Elmo. Selain letak yang sangat indah dan romantis di pinggir danau Sentani, lokalisasi/lokasi ini juga memiliki sistim keamanan dan ketertiban secara mandiri sehingga memberikan rasa aman kepada tamu atau pelanggan yang mengunjungi Tanjung Elmo. Para tamu memiliki latarbelakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam dari anggota dewan, pemerintah daerah, TNI, Polri, Bos-bos, penguasa sampai dengan penduduk lokal dan lainnya. Masyarakat  setempat  termasuk  masyarakat papua asli  juga terlibat dalam kegiatan di lokalisasi/lokasi dengan bekerja sebagai keamanan, ibu rumah tangga membuka warung, tukang ojek, bersih-bersih wisma, tukang masak, kegiatan simpan pinjam koperasi, laundry, penjual makanan seperti bakul-bakul,  sate dan masih banyak lagi pedagang yang masuk ke dalam. Artinya yang bekerja di lokalisasi/lokasi Tanjung Elmo bukan hanya pekerja seks tetapi juga semua masyarakat mencari rejeki di lokasi/lokalisasi ini. Karena sangat bergantung masyarakat pada kegiatan lokalisasi/lokasi ini, masyarakat sempat menolak program penutupan Tanjung Elmo oleh Bupati Jayapura yang lama pada tahun 1991 dan lokalisasi/lokasi terus bertahan hingga tahun 2015 tahun lalu.

Jadi sekarang, kemana larinya para pekerja seks yang berasal dari 4 lokasi/lokalisasi itu? Tidak ada yang terang-terangan menyebutkan lokasi mereka praktek dan asal para tamu. Menurut mereka, beberapa informan yang dijumpai lokasi atau pekerja seks yang masih bisa ditemui, praktek prostitusi terus berlangsung menembus fisik lokasi yang telah dibubarkan atau dikembalikan fungsinya atau telah ditutup itu.  Kita masih terus bekerja sebagai pekerja seks selama kebutuhan ini ada, media komunikasi ada dan pemerintah tidak kongkret berbuat untuk kami yang miskin ini. Kami menolong hidup kami sendiri...hingga kebutuhan ini cukup dan tidak lebih.

Ikuti tulisan menarik Kekek Apriana Dwi Harjanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu