x

Ratusan pemudik berjalan menuju gerbong Kereta Api (KA) Ekonomi Progo rute Yogyakarta - Jakarta di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, 10 Juli 2016. Arus balik pemudik pengguna jasa transportasi Kereta Api diperkirakan mencapai puncaknya pada 10 Juli ka

Iklan

Paulus Mujiran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mudik, Tradisi dan Konsumerisme

Selama Ramadhan dan jelang Lebaran pemandangan yang tidak aneh pusat-pusat perbelanjaan menawarkan aneka produk untuk menarik minat konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perayaan Idul Fitri atau Lebaran identik dengan tradisi mudik. Kementerian Perhubungan memperkirakan sebanyak 17,99 juta orang akan melakukan perjalanan mudik pada Lebaran tahun 2016 ini. Jumlah itu naik dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebanyak 17,40 juta orang. Mudik tidak hanya tradisi pulang kampung halaman. Mudik juga berfungsi sebagai kartasis sosial dan transformasi spiritual kerinduan primordial manusia terhadap sanak famili di kampung halaman.

Ritual mudik menjelang Lebaran dianggap sebagai terapi modernitas bagi masyarakat kota yang mengalami keterasingan (alienasi) antara kebutuhan spiritual dengan pemenuhan kebutuhan status sosial, politik dan ekonomi. Mudik hanyalah aktivitas kaum urban yang bermukim di kota. Karena itu aktivitas mudik lebih sebagai tradisi masyarakat perantau di kota yang kembali kampung halaman. Menengok kampung mereka jadikan kebisaan setahun sekali dan waktu yang tepat jelang Lebaran.

Seperti sudah menjadi pemandangan rutin tradisi mudik lekat dengan konsumerisme. Selama Ramadhan dan jelang Lebaran pemandangan yang tidak aneh pusat-pusat perbelanjaan menawarkan aneka produk untuk menarik minat konsumen. Bombardir iklan dan tayangan bernuansa konsumeris di televisi ikut membentuk karakter masyarakat untuk membelanjakan barang jelang Lebaran. THR atau tunjangan hari raya tidak tidak dibelanjakan barang-barang produktif tapi habis pakai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anehnya perilaku konsumerisme dianggap sebagai kemenangan. Berbelanja berlebihan merupakan hal yang wajar karena hanya setahun sekali. Kita dibentuk sejak kecil dengan  pendidikan Lebaran identik dengan segala sesuatu serba baru. Lebaran tidak afdol jika tidak dirayakan dengan barang-barang serba baru. Respon konsumeris yang dibangun dalam tradisi mudik beserta pernak-pernik materialisme sering melupakan substansi silaturahmi yang dibangun dalam mudik.

Disamping pemborosan materi mudik juga menyisakan masalah klasik mahalnya biaya transportasi. Dapat dibayangkan berapa dana yang dikeluarkan untuk menempuh perjalanan mudik. Tabungan setahun dihabiskan dalam sekejap. Bagi pemudik bersepeda motor pengeluaran lebih murah meski mempertaruhkan nyawa dalam perjalanan. Sementara pemudik dengan pesawat, kereta api, kapal laut, bus mereka menghadapi mahalnya kenaikan ongkos transportasi.

Di era komunikasi modern termasuk berkembang pesatnya media-media sosial apakah tradisi mudik untuk tatap muka silaturahmi fisik di kampung halaman masih relevan dipertahkankan? Apalagi bagi masyarakat miskin dengan penghasilan subsisten dan pas-pasan. Apakah permintaan maaf dan sungkeman tidak cukup dilakukan di media sosial? Logika mudik sering dibenarkan untuk sanak saudara di kampung halaman haruslah berkorban termasuk mengeluarkan uang.   

Mudik juga  kerap menjadi ajang pamer keberhasilan hidup di kota besar. Lihat saja di desa-desa tempat pemudik berasal berjejer mobil keluaran terbaru dengan plat nomor kota besar. Tak jelas apakah itu mobil sendiri atau sewa di rental. Meski di kota hidup serba kekurangan atau pas-pasan ketika mudik harus tetap memberi barang atau uang kepada sanak saudara di kampung halaman.

Lebaran adalah wahana bagi umat beragama dengan dewasa menekankan substansi spiritual ketimbang fisik. Mudik harus dibebaskan dari gaya hidup boros dan konsumtif. Perputaran uang yang tidak sedikit mengalir ke kampung halaman di kantong-kantong pemudik harus dapat dibelanjakan untuk mengembangkan ekonomi desa. Sayangnya, uang sebesar itu kerap dibelanjakan untuk barang yang kurang produktif dan tidak berjangka panjang. Jarang yang dibelanjakan sapi, ayam, kambing untuk diternakkan penduduk desa.

Belanja sepeda motor, televisi, telepon genggam, VCD player hanya bermanfaat jangka pendek. Potret konsumsi selama mudik adalah panic buying dan impulsive buying yang belanja secara tidak terencana dan langsung membeli seketika karena ada uang. Mereka menguras tabungan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak bermanfaat. Dengan begitu konsumsi mudik hanyalah pencarian identitas sesaat.  

Identitas ditunjukkan seberapa banyak dan seberapa mahal barang yang dapat dibeli. Konsumsi ini menjadi potret seberapa sukses kemapanan seseorang. Oleh karena itu mudik harus dibebaskan dari budaya pamer dan konsumtif. Sebagai tradisi untuk membangun silaturahmi layak dipertahankan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa!

Paulus Mujiran, pemerhati sosial,  Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata

 

 

Ikuti tulisan menarik Paulus Mujiran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu