x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Analisa Geospasial Reklamasi Pantai Jakarta

Semua menyatakan bahwa semenjak tahun 1990-an teluk Jakarta sudah mulai rusak tatanan ekosistemnya, akibat efek pencemaran limbah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini Pemerintah Pusat telah memberikan pernyataan penghentian kegiatan reklamasi oleh Pengembang  di Pulau G Pantai Jakarta, dengan alasan pihak pengembang telah melakukan pelanggaran serius berupa pencemaran lingkungan, melanggar jalur peyaran Nelayan, serta mengganggu kabel listrik bawah laut dalam mengerjakan proyek reklamasi.  Pihak pengembang penyangkal tuduhan Pemerintah Pusat tersebut dan menyatakan keberatan atas penghentian kegiatan reklamasi mereka di Pulau G.  Masyarakat tentunya ada yang bertanya siapa yang benar dalam kasus ini, apakah Pemerintah Pusat apakah Pengembang.  Analisa geospasial dapat menjawab kasus ini secara objektif, jelas dan juga transparan.

Apabila kita melihat hasil penelitian yang dilakukan Suhendar dkk dari BPPT tahun 2007, penelitian dari JICA tahun 1990, penelitian Bappedal DKI Jakarta tahun 2004, semua menyatakan bahwa semenjak tahun 90-an teluk Jakarta sudah mulai rusak tatanan ekosistemnya, akibat efek pencemaran limbah.  Kualitas terburuk secara geospasial terdapat di perairan yang dekat dengan pantai yaitu sekitar 5 kilometer dari bibir Pantai yang diberi nama zona D.  Pada zona ini secara umum kondisi kadar oksigen terlarut DO dan BOD tidak layak untuk kehidupan ikan dan biota laut lainnya.  Tidak mengherankan apabila di zona ini sering terjadi kematian masal ikan-ikan.  Di zona A yang berada sekitar 15-20 kilometer dari bibir pantai, pencemarannya pun sudah cukup mengkhawatirkan di tahun 2004, dan diproyeksikan akan lebih parah setelah tahun 2010 ke atas, apabila tidak ada upaya rehabilitasi.  Nah, kita tahu bahwa rencana reklamasi 17 pulau di Pantai Utara Jakarta (termasuk pulau G) akan dilakukan di sekitar 500 meter setelah bibir pantai, hingga radius 1-2 kilometer dari bibir pantai.  Ini artinya, lokasi reklamasi akan berada di zona D dalam zonasi pencemaran teluk Jakarta ( < 5 kilometer).  Apa yang bisa dilihat dengan jelas disini, bahwa reklamasi akan dilakukan di lingkungan yang faktanya sudah rusak, sudah tercemar.  Dengan melihat fakta ini, maka secara isu lingkungan menjadi tidak relevan apabila dikatakan reklamasi Pantai Utara Jakarta (khususnya pulau G) merusak lingkungan, mengubah bentang alam, menghilangkan biota laut, dan sebagainya.

Apakah benar jalur pelayaran Nelayan menjadi terganggu?  Apabila kita lihat secara analisa geospasial, memang  dimungkinkan rute melaut akan lebih jauh 1-2 kilometer akibat efek reklamasi.  Namun faktanya ketika Nelayan harus melaut hingga 50 kilometer bahkan lebih, maka efek 1-2 kilometer seharusnya tidak menjadikan  perubahan jalur yang signifikan.  Dari mana nilai 50 kilometer ini didapat? Sebagai informasi, dampak penurunan kualitas perairan teluk Jakarta yang berbentuk semi tertutup telah terasa sampai di perairan kepulauan Seribu, yang jaraknya sekitar 50 kilometer, terutama untuk pencemaran logam berat.  Ini artinya para nelayan harus semakin jauh dari 50 kilometer dalam menangkap ikan dalam 10-20 tahun terakhir, untuk mendapatkan hasil ikan yang baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan analisa data-data geospasial lainnya kita dapat juga melihat apakah ada jalur listrik yang dilanggar oleh pihak pengembang atau tidak.  Secara sederhana kita tinggal melakukan tumpang susun peta jalur listrik dengan peta pulau G.  Dari penjelasan di atas ini kita bisa menilai sendiri sejauh mana objektifitas yang dibuat oleh Pemerintah Pusat terkait masalah reklamasi ini, khusunya yang menjadi isu di pulau G.  Faktanya data-data hasil analisa geospasial menunjukkan Pemerintah Pusat dalam hal ini belum sepenuhnya terlihat objektif, jelas, dan transparan dalam mengambil keputusan.

Marilah kita melihat program reklamasi ini dengan lebih bijaksana.  Apabila kita melihat dari kebutuhan lahan di DKI Jakarta 5,10, hingga 20 tahun kedepan, maka reklamasi bukan tidak mungkin adalah jawabannya.  Luas DKI Jakarta hanya sekitar 662 kilometer persegi.  Di tahun 2015-2016 penduduk Jakarta di siang hari sudah lebih dari 12 juta jiwa,  di malam hari kira-kira lebih dari 9 juta jiwa.  Apabila kita berbicara 5,10, 20 tahun kedepan jumlahnya bisa berkali lipat.  Tentunya daya dukung wilayah terhadap penduduk menjadi masalah.  Kedepannya DKI Jakarta dipastikan butuh wilayah tambahan untuk pengimbangan jumlah penduduk terhadap wilayahnya.  Kemana harus melakukan ekspansi daerah? Tentunya apabila bicara ke selatan sudah tidak mungkin, karena disamping sebagai wilayah konservasi, juga sudah masuk wilayah otonomi daerah lain seperti Depok dan Bogor.  Otomatis yang bisa dilakukan adalah menambah wilayah ke utara dengan jalan reklamasi.

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu