Jika Pompa Pluit Mati

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimana tidak, jika pompa Pluit mati maka Jakarta bisa tenggelam kebanjiran bila datang hujan dengan intensitas tinggi, ujar Ahok di beberapa kesempatan

Beberapa waktu yang lalu diberitakan empat pompa waduk Pluit Jakarta mati.  Penyebabnya diduga ada korsleting kabel listrik di bawah tanah yang men-suplai daya listrik bagi beroperasinya pompa-pompa tersebut.  Ahok, sang Gubernur DKI sempat meradang akan kejadian ini.  Beliau juga sempat menduga adanya sabotase akan hal ini.  Bagaimana tidak, apabila pompa Pluit mati maka Jakarta bisa tenggelam kebanjiran katanya kalau hujan datang dengan intensitas tinggi.  Apalagi sekarang sedang ada La Nina, ujarnya lagi.  Pernyataan ini tentunya tidak mengada-ada, ada dasar yang kuat, ada alasan ilmiahnya.  Mau tau alasan ilmiahnya seperti apa, disertai hitung-hitungan matematisnya, mari kita sama-sama simak penjelasannya berikut ini.

Kita mulai dengan bahasa analogi, atau bahasa pengganti yang mudah. Apabila Jakarta kita analogikan sebagai meja, kemudian cangkir dan Galon yang kita letakan di atas meja kita analogikan sebagai sungai dan waduk di Jakarta yang dapat menampung air, kemudian sedotan dengan seorang anak kecil dan sedotan dengan seorang dewasa dianalogikan sebagai pompa masing-masing dengan daya sedot rendah dan tinggi, sementara air kita analogikan tetep sebagai air, maka apa yang terjadi bisa seperti ini; Jika ada air dituangkan ke dalam cangkir maka cangkir lama kelamaan akan penuh dan air akan tumpah ke meja apabila volume air yang tuangkan melebihi volume cangkir. Jika ada anak kecil menyedot air di cangkir, sambil cangkirnya dituangi air, mungkin cangkir tetap tidak penuh, atau akhirnya tetap meluber ke meja apabila volumenya banyak, tuangannya cepat dan tinggi, sementara daya sedot si anak tidak terlalu cepat dan tidak terlalu tinggi.  Untuk orang dewasa, untuk galon, contoh analoginya sama saja.

Nah, apabila di Jakarta ada hujan yang lebat, maka cangkir-cangkir sungai-sungai dan galon-galon waduk-waduk adalah tempat-tempat tampungan air.  Namun apabila volume air hujan sangat besar, maka air hujan akan tumpah ke meja Jakarta, dinamakan banjir.  Apabila ada pompa-pompa dengan daya sedot rendah (pompa anak kecil) atau pompa-pompa dengan daya sedot tinggi (pompa orang dewasa) mungkin saja air tidak akan tumpah ke meja Jakarta, atau mungkin tetep tumpah kalau air hujannya memang banyak sekali, dengan debit yang besar dan deras sekali.  Bagaimana supaya air hujan tidak tumpah ke meja Jakarta?  Jawabannya tambah waduk-waduk, bikin kanal-kanal (rekayasa sungai), tambah pompa-pompa, kalau bisa tambah pompa yang besar-besar (orang dewasa ras Jerman).  Pertanyaannya apakah bisa seperti itu? Faktanya malah yang ada waduk-waduk makin berkurang jumlahnya, sama sungai-sungai juga banyak yang mengalami pendangkalan, kalau bikin baru ribet dengan penggusuran, dan lain-lain.  Itu yang menjadi dilema, dan menjadi kenyataan banjir di Jakarta belum bisa hilang hingga masa sekarang ini.

Kita coba bahas dengan bahasa yang lebih ilmiah;  Dulu di tahun 2007, tepatnya di awal bulan Februari, terjadi hujan dengan intensitas tinggi, secara terus menerus, hampir seharian bahkan lebih dibeberapa titik, tercatat ada volume air sekitar 321 440 052 meter kubik yang ditumpahkan ke Jakarta.  Alhasil sebagian wilayah Jakarta terendam banjir.  Apabila pada waktu itu Jakarta tidak ingin banjir, maka secara model harus ada syarat ruang penampungan air seluas 100 kilometer persegi (10 x 10 kilometer) atau setara dengan 10 ribu Hektar, ditambah harus ada pompa dengan daya sedot 200 meter kubik per-detik.  Bisa saja ruang penampungan air dikurangi seluas 50 kilometer persegi (5 x 10 kilometer) atau setara dengan 5 ribu Hektar, namun harus ditambah pompa dengan daya sedot 500 meter kubik per-detik.  Pertanyaannya apakah tersedia syarat-syarat tersebut?

DKI Jakarta saja luasnya hanya 662 kilometer persegi. Syarat luas 100 kilometer persegi (10.000 Hektar) atau 50 kilometer persegi (5000 Hektar) ya jelas tidak tersedia.  Luas waduk Pluit saja hanya sekitar 80 Hektar, waduk Sunter Utara hanya sekitar 32 Hektar,  waduk Sunter Selatan hanya sekitar 25.9 Hektar, waduk Sunter Timur hanya sekitar 8 Hektar, Waduk Muara Angke hanya sekitar 0.5 Hektar, apabila dijumlah-jumlah plus waduk lainnya apabila nemu, ya tetep ora ono kalo orang Jawa bilang.  Begitu hal nya dengan pompa, tidak tersedia di Jakarta pompa dengan daya sedot seperti yang disyaratkan di atas.  Pompa terbesar di dunia itu tercatat 570 meter kubik per-detik berada di New Orleans Amerika.  Sementara itu terdapat juga pompa  dengan daya sedot 330 meter kubik per-detik ada di Toshka Project, Mubarak Pumping Station, Mesir.  Pompa di Waduk Pluit daya sedotnya paling sekitar 50 meter kubik per-detik, itu juga rame-rame sekitar 11 pompa, yang dipasang berbarengan. Makanya ketika 4 mati ya Pak Ahok sangat khawatir.

Kekhawatiran Ahok dapat kita fahami sekarang harusnya kan.  Apabila kejadian lagi situasi di tahun 2007 atau situasi yang lebih buruk, bukan tidak mungkin Jakarta dapat tenggelam.  Pernah disebuah media, Pak Ahok sempat bilang setiap kali hujan deras di malam hari, maka beliau tidak bisa tidur. Itu sangat-sangat beralasan.  Sebenarnya tingkat kekhawatiran kita mustinya malah nambah, karena gara-gara tanah di Jakarta terus turun, disatu sisi muka air laut terus naik, kini air laut juga ingin tumpah ke daratan.  Jadi bisa dibayangkan apabila air laut sedang pasang tinggi-tingginya, tumpah ke daratan (Rob), dan hujan deras sekali muncul, terus pompa-pompa pada mati, ya berenang-renang ketepian jadinya kita, dan gak ada senang-senangnya.  Belum lagi ……..

Bersambung

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Bagikan Artikel Ini
img-content
Heri Andreas

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler