x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pulau H L M Urung 'Dikepret' Rizal

Rencana Pulau Reklamasi H L M di Utara Jakarta berdekatan dengan Jaringan Pipa Gas dan Minyak seperti halnya Pulau G yang telah di “kepret” Rizal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pulau H L M berdampingan dengan Pipa Migas

Menko Maritim sebelum Resuffle yaitu Rizal Ramli telah mengumumkan penghentian pelaksanaan reklamasi Pulau G Pantai Jakarta dengan salah satu alasannya membahayakan obyek vital jaringan pipa gas dan pipa minyak BBM lepas pantai.  Kalau dilihat pada peta di gambar, jaringan pipa gas yang berwarna merah kemudian jaringan pipa BBM yang berwarna hitam memang berada tidak jauh dari pembangunan reklamasi Pulau G.  Seperti diketahui Jaringan pipa gas dan BBM tersebut merupakan Jaringan Pipa dari anjungan Migas PHE ONWJ ke PLGTU Muara Karang, dan dari Muara Karang ke PLTGU Priok, kemudian jaringan pipa milik Nusantara Regas, anak usaha Pertamina yang mengelola FSRU Jawa Barat.  Dapat dibayangkan apabila pasokan gas melalui pipa gas PHE ONWJ ke PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok terganggu akibat reklamasi di Pulau G, maka gangguan listrik sangat dimungkinkan bisa terjadi di sebagian besar DKI Jakarta bahkan sebagian Pulau Jawa.

Kalau kita lihat di peta gambar informasi geospasial di atas, kita bisa sama-sama lihat bahwa sebenarnya jaringan pipa gas dan minyak (migas) juga akan berdekatan dengan rencana reklamasi Pulau H, L, dan M. Ini artinya jika dikatakan Pulau G dianggap membahayakan jaringan pipa migas, pun demikian halnya akan dikatakan sama untuk Pulau H, L, dan M.  Mungkin jikalau Rizal Ramli tidak kena resuffle maka bisa jadi ketiganya akan menunggu giliran untuk di “kepret”.  Sejatinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010, jika ada instalasi seperti pipa gas maka dalam jarak 500 meter baik ke kiri maupun ke kanannya tidak boleh ada objek seperti bangunan, lahan, atau sarana prasarana yang dikhawatirkan akan mengganggu obyek vital tersebut.  Jarak jaringan pipa ke Pulau G berdasarkan desain akan sekitar kurang dari 50 meter, begitu pula yang melewati Pulau H, L, dan M.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun demikian, kalau kita lihat fakta-fakta, sangat banyak jaringan pipa migas yang membentang kesana kesini baik di Jakarta, di Bekasi, di Surabaya, di Palembang, maupun di daerah lainnya, melewati depan rumah orang, pinggir jalan raya, jalan Tol, pinggir sawah, pinggir sungai, dan lain-lain.  Kalau kita dapat mengingat kembali kasus meledaknya jaringan pipa gas di daerah Porong Sidoarjo pada tanggal 18 November tahun 2006, disitu jaringan pipa gas hanya terletak beberapa puluh meter saja di pinggir jalan Tol Sidoarjo Gempol.  Hal ini mencerminkan bahwa penerapan jarak 500 meter baik ke kiri maupun ke kanan tidak boleh ada objek seperti bangunan, atau sarana prasarana seperti dalam aturan, nyatanya tidak pernah terpenuhi hingga hari ini di Negara kita.  Tentunya kita tidak serta merta menyalahkan hal tersebut dengan segala pertimbangannya, yang seharusnya berlaku pula dengan Pulau G.  Dengan kata lain tidak fair juga apabila dengan serta merta menyalahkan hanya semata urusan jarak koridor.

Masih ada kaitannya dengan reklamasi terhadap keberadaan objek vital, PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok mengkhawatirkan gangguan dari reklamasi bagi air pendingin kondensor yang diperoleh dari air laut.  Namun berdasarkan hasil penelitian analisis dampak lingkungan disimpulkan bahwa lahan reklamasi malah dapat menurunkan suhu 0.8 derajat.  Jadi disini mana yang benar akan menjadi pertanyan-pertanyaan selanjutnya.  Pesan yang ingin disampaikan, marilah kita gunakan data-data yang jelas dan dapat dipertanggung-jawabkan, yang dapat menyimpulkan jawaban dari suatu masalah dangan dasar alasan-alasan ilmiah, alasan-alasan yang sifatnya obyektif.  Jangan hanya karena empati terhadap Nelayan semisalnya, kemudian data diabaikan dan obyektifitas jadi berkurang. Mari gunakan data-data empiris.  Pengggunaan data geospasial seperti diilustrasikan di atas akan sangat-sangat membantu dalam proses analisa keputusan reklamasi Pantai Jakarta.  Kekuatan keruangan atau spasial dapat memperjelas obyektifitas dari suatu masalah.

Mari pula melihat reklamasi dari sudut pandang yang lebih luas dan lebih jauh.  Data-data menunjukkan potensi ancaman yang nyata tenggelamnya pantai Utara Jakarta akibat efek penurunan tanah.  NCICD (National Committee Integrated Coastal Development) yang dibentuk oleh Pemerintah saat ini sedang membuat konsep serta mengimplementasikan upaya penyelamatan Pantai Utara Jakarta dari potensi tenggelam, dari potensi kehilangan berpuluh ribu hektar wilayahnya, melalui sinergi antara tanggul laut Pantai Utara Jakarta dengan reklamasi.  Sinergi ini diberi nama “Great Garuda”.  Bukti ini menunjukkan bahwa ancaman kehilangan wilayah di Pantai Utara Jakarta tidak mengada-ada,  kemudian dapat dilihat disini juga bahwa secara tidak langsung peranan reklamasi juga tidak bisa diabaikan begitu saja dalam upaya penyelamatan Pantai Utara Jakarta.  Mungkin ada baiknya untuk menyikapi ketakutan akan dampak negatif dari reklamasi dengan energi positif dan kepentingan yang lebih positif, kepentingan di masa depan yang lebih besar.

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu