x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Pompa Pluit Mati (Episode 2)

Seharusnya air mengalir sampai jauh akhirnya kelaut tidak berlaku di Jakarta. Yang ada air laut tumpah ke darat dan harus dipompa balik ke laut

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Air mengalir sampai jauh tapi tak bisa ke laut

Pada episode pertama jika pompa Pluit mati disebutkan apabila pada waktu tahun 2007 itu Jakarta tidak ingin banjir, maka secara model harus ada syarat ruang penampungan air seluas 100 kilometer persegi (10 x 10 kilometer) atau setara dengan 10 ribu Hektar, ditambah harus ada pompa dengan daya sedot 200 meter kubik per-detik.  Bisa saja ruang penampungan air dikurangi seluas 50 kilometer persegi (5 x 10 kilometer) atau setara dengan 5 ribu Hektar, namun harus ditambah pompa dengan daya sedot 500 meter kubik per-detik. Pertanyaannya apakah terpenuhi syarat-syarat tersebut? Dan jawabannya sama-sama kita ketahui pada tulisan episode pertama bahwa syarat-syarat itu sebenarnya tidak terpenuhi. Hingga saat ini kita hanya bisa berdoa bahwa kondisi banjir 2007 tidak berulang. Nah sebenarnya ada satu syarat lagi yang terbilang penting yang belum disebutkan, yaitu asumsinya air hujan mengalir ke laut. Pertanyaannya sama apakah syarat yang satu ini terpenuhi?

Seperti diketahui di Jakarta ini mengalir dari Selatan sebanyak 13 sungai atau kali besar ke Teluk Jakarta.  Yang paling terkenal diantaranya Kali Ciliwung, Pesanggrahan, Krukut, Angke dan lain-lainnya. Menjawab pertanyaan di atas apakah air hujan yang jatuh ke sungai-sungai tersebut akhirnya mengalir ke laut?  Jawabannya ternyata tidak!  Kalau kita jalan-jalan ke Ancol, ke Pasar Ikan, ke Pluit, ke Kamal Muara, dan beberapa tempat lainnya akan ditemukan pintu air dimana di situ level muka air laut lebih tinggi dibandingkan dengan level muka air sungai atau kali. Ini artinya air tidak mengalir ke laut, malahan air laut yang faktanya dapat mengalir ke arah daratan.  Kalau tidak percaya buka saja semua pintu air tersebut, baru bisa bukti nanti air laut tumpah ke daratan.  Itu kenapa sekarang ini faktanya pintu-pintu air tersebut tidak pernah bisa dibuka kembali. Hasil pengukuran menunjukkan perbedaan level muka air laut dengan air kali di pintu pasar ikan mencapai 2.4 meter, lebih tinggi air laut, di Ancol sekitar 1 meter, di Kamal Muara sekitar 1.7 meter, dan di Pluit perbedaannnya cukup besar yaitu 4 meter.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa hal ini bisa terjadi, jawabannya karena tanah di Jakarta, khususnya di Jakarta Utara mengalami penurunan (land subsidence). Hasil penelitian menunjukkan penurunan tanah berkisar 15 hingga 20 sentimeter per tahun. Dapat kita kalikan total penurunan tanah setelah 10,20,30 tahun menjadi berapa. Silahkan ambil kalkulator. Itu bukti nyata kenapa level muka air laut sekarang ini lebih tinggi dari muka air kali, dan jadinya air kali tidak dapat mengalir lagi ke laut. Cerita tidak berhenti disini. Akibat tanah terus turun, dan juga air laut faktanya juga cenderung naik, dinamakan sea level rise, dan di Teluk Jakarta nilainya 5-6 milimeter per tahun, maka “rob” atau banjir pasang laut mulai lazim terjadi di Utara Jakarta.  Mangga dua, Gunung Sahari, RE Martadinata Ancol, dan beberapa tempat lainnya tercatat sempat menjadi langganan rob.  Kondisi ini memaksa Pemerintah untuk segera membuat tanggul-tanggul pencegah rob di sepanjang bibir pantai Jakarta, hingga masuk kedalam sisi-sisi aliran-aliran sungai.  Ini artinya apa bagi konsekuensi terhadap banjir Jakarta atau khususnya pompa Pluit?

Mari kita sama-sama bayangkan, di atas sudah dibilang bahwa kalau ada hujan yang begitu deras seperti di tahun 2007 maka DKI butuh 10 x 10 kilometer wilayah penampungan ditambah 200 meter kubik per-detik daya sedot pompa, supaya air mengalir ke laut, tersedot dan terbuang ke laut, dan selamatlah dari banjir.  Faktanya bahwa wilayah penampungan tidak ada yang sebesar itu, dan pompa juga apabila dijumlah-jumlahkan dari apa yang tersedia di DKI masih belum berkapasitas sebesar itu.  Di tambah, sekarang ini DKI Jakarta akan dan malah sedang menutupi bibir pantai dan sisi-sisi sungai dengan tanggul-tanggul yang bertujuan mencegah air laut masuk ke darat, konsekuensi kebalikannya akan menyebabkan air dari darat dari hujan tidak bisa juga ke mengalir laut, nah bisa dibayangkan air akan tumplek di Jakarta Utara termasuk di daerah Pluit dan tidak bisa kemana-mana kan?  Itu jawabannya kenapa jika pompa pluit mati Pak Ahok sampai marah-marah.  Fungsi pompa sekarang ini menjadi sangat-sangat penting di Jakarta, untuk memindahkan air di daratan ke laut yang lebih tinggi levelnya secara cepat apabila Jakarta Utara khususnya wilayah Pluit tidak mau berubah menjadi kolam raksasa.

Kekhawatiran Ahok seharunya dapat lebih kita fahami sekarang kan.  Pak Ahok acap kali tidak bisa tidur ketika terjadi hujan deras di malam hari di seluruh Jakarta, itu sangat-sangat dan sangat beralasan.  Apabila banyak dari masyarakat DKI yang malah tertidur lelap, ya mungkin karena terlalu cape bekerja.  Apabila kejadian lagi situasi di tahun 2007 atau situasi yang lebih buruk, bukan tidak mungkin Jakarta dapat tenggelam.  Jangan lupa ada siklus banjir 5 tahunan di Jakarta.  Tahun 2007 lumayan besar, selanjutnya 2007 tambah 5 sama dengan 2012 tercatat banjir lumayan besar juga, dan 2012 tambah 5 sama dengan 2017, nah kita lihat akan seperti apa saudara-saudara.

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu