Peta Politik Pilkada Jakarta ~ Ikhsan Darmawan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMenarik untuk mendiskusikan pasangan calon di luar inkumben. Mengapa Agus Harimurti-Sylviana Murni?
Baru saja pada Jumat lalu drama pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta menyelesaikan salah satu babak yang penting, yaitu pencalonan. Sejak itu, peta politik akhirnya menjadi terang-benderang. Pada injury time, ternyata ada tiga pasangan calon yang diusung oleh tiga poros.
Poros pertama, yang mendaftar paling awal, terdiri atas empat partai, yakni PDIP, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai NasDem. Poros ini mendukung calon inkumben: Ahok-Djarot.
Poros kedua, yang disebut-sebut sebagai poros Cikeas, terdiri atas Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN. Yang mengagetkan, calon yang diusung ialah anak Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti, yang dipasangkan dengan Sylviana Murni.
Poros ketiga ialah poros Partai Gerindra dan PKS. Menjelang penutupan pendaftaran, poros ini akhirnya mendaulat Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai calon yang mereka usung.
Menarik untuk mendiskusikan pasangan calon di luar inkumben. Mengapa Agus Harimurti-Sylviana Murni? Pertama, sulit untuk dielakkan bahwa sosok Agus merupakan bagian dari kepentingan politik keluarga Cikeas. Menyusul adiknya, Ibas, yang lebih dulu terjun di dunia politik praktis, Agus juga tak ketinggalan diikutkan sebagai pelanjut keluarga politik SBY. Adapun Sylviana adalah birokrat yang telah lama berkecimpung di birokrasi DKI Jakarta.
Karena belum pernah diperhitungkan dalam survei-survei sebelumnya, sulit untuk menebak-nebak bagaimana peluang pasangan ini. Apalagi dengan belum adanya pengalaman politik praktis dari keduanya, kemungkinan besar mereka akan sulit bersaing.
Lantas, apa untungnya "berspekulasi” mendorong keduanya maju? Apalagi kedua-duanya harus melepas jabatannya di militer dan pegawai negeri sipil. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin keduanya dipersiapkan untuk pemilihan-pemilihan umum yang akan datang. Kalaupun tidak berhasil di pilkada Jakarta 2017 yang akan datang, setidaknya keduanya mendapat ekspos dari media nasional selama kurun waktu tertentu. Ekspos media itu menjadi salah satu modal politik untuk bertarung dalam pemilihan umum legislatif 2019.
Kedua, karena juga didukung oleh PPP, PKB, dan PAN, pencalonan Agus-Sylviana dapat dilihat sebagai strategi memecah suara pendukung bukan Ahok. Sederhana saja, karena di luar Partai Demokrat, ketiga partai itu adalah partai pendukung Jokowi. Kemenangan inkumben erat kaitannya dengan memuluskan langkah Jokowi dalam pemilihan presiden 2019 nanti. Lagi pula, jika secara terang-terangan berdiri di barisan pendukung Ahok, hal itu akan berdampak pada tergerusnya basis pemilih tradisional ketiga partai tersebut.
Yang tak kalah menarik juga adalah mengapa Anies-Sandiaga? Pertama, figur Anies merupakan antitesis dari Ahok. Pembawaannya yang tenang dan santun akan membuat pemilih yang tidak suka gaya meluap-luap dari Ahok memilih pasangan ini. Apalagi dengan pernah menjadi menteri di kabinet Jokowi, sosok Anies telah memiliki "nilai jual” yang patut diperhitungkan. Adapun Sandiaga adalah pengusaha yang memiliki jejaring bisnis yang luas.
Kedua, kemunculan Anies akan memperluas segmen pemilih pasangan ini. Ceruk pemilih pasangan ini menjadi tidak hanya pemilih Gerindra dan PKS yang memiliki ideologi Islam yang kuat, tapi juga pemilih lain di luar itu.
Ketiga, komposisi keduanya, menurut hasil survei terakhir dari sebuah lembaga survei, dianggap paling sedikit selisihnya dengan persentase elektabilitas inkumben. Dengan sisa waktu yang cukup panjang, bukan hal yang mustahil kandidat ini dapat bersaing ketat dengan inkumben.
Lantas, akan seperti apa dan bagaimana pilkada DKI Jakarta ke depan? Yang jelas, pertarungan selama lima bulan ke depan akan sengit dan tentu saja mengundang rasa penasaran banyak orang. Mengapa demikian? Pertama, tak seperti pilkada di daerah lain, untuk dapat menang di pilkada Jakarta, satu pasangan calon harus meraih minimal 50 persen plus satu. Dengan tiga pasangan kandidat seperti ini, tidak menutup kemungkinan akan terjadi lebih dari satu putaran pemilihan.
Kedua, meski disebut-sebut elektabilitas inkumben selama ini masih lebih tinggi dibanding calon lain, kecenderungan merosotnya raihan persentase elektabilitas Ahok belakangan ini menjadi pertanda bahwa persaingan masih terbuka lebar. Apalagi selama ini Ahok tidak pernah meraih persentase sangat besar (lebih dari 70 persen) secara konsisten seperti halnya Jokowi saat di pilkada Solo dan Risma di pilkada Surabaya. Selain itu, terdapat data masih ada 25,7 persen pemilih yang belum menentukan pilihan.
Ikhsan Darmawan, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 26 September 2016
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Berebut Tahta di Jawa
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMembangun Jakarta Minus Konsep
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler