x

Sejumlah pekerja mulai mempersiapkan kotak suara yang akan didistribusikan ke sejumlah Tempat Pemungutan Suara Pemilihan Kepala Daerah, di Pengadegan, Jakarta Timur, 2 Januari 2017. KPUD DKI Jakarta memprediksi Pilkada DKI Jakarta 2017 akan dilakukan

Iklan

Kanjeng Darwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi Anggaran Pilkada

Ada dua hal yang berpotensi korupsi: pengadaan logistik pilkada dan pengadaan logistik kampanye

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

    Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap dua akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 di 7 provinsi, 18 Kota  dan 76 kabupaten. Pesta demokrasi ini memakan biaya sebesar Rp2,9 triliun yang dibebankan kepada APBD. Dana sebesar itu dialokasikan untuk KPUD, Bawaslu daerah dan biaya pengamanannya. Rata-rata untuk pelaksanaan pilkada menghabiskan Rp28,7 miliar per daerah. Angka ini lebih besar alokasinya dibandingkan pelaksanaan pilkada serentak sebelumnya yaitu sebesar Rp7 triliun untuk 268 daerah atau rata-rata sebesar Rp26,1 miliar per daerah.

    Alokasi anggaran Pilkada yang dibebankan kepada APBD mendasarkan pada Permendagri Nomor 44 tahun 2015 tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang diubah dengan Permendagri Nomor 51 tahun 2015. Pasal 2 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa pendanaan kegiatan pemilihan tersebut dibebankan kepada APBD masing-masing daerah. Ketentuan ini kemudian menjadi dasar dalam penyusunan APBD tahun 2016 dimana ditetapkan Permendagri Nomor 52 tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2016, dengan memasukkan tata cara pengalokasian anggaran pilkada melalui mekanisme hibah.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

    Korupsi Logistik

    Untuk melacak korupsi di proses Pilkada dengan mendeteksi aliran uang. Yaitu bermakna mengawasi penggunaan anggaran yang digunakan dalam penyelenggaraan Pilkada. Pengadaan logistik sebagai kegiatan yang banyak menyedot anggaran pilkada. Setidaknya ada dua pengadaan logistik dalam Pilkada yang menghabiskan anggaran negara dalam jumlah yang besar, berpotensi korupsi. Pertama, pengadaan logistik surat, formulir, kotak suara, tinta sidik jari, segel, dan perlengkapan pemilihan lainnya. Pengadaan logistik banyak "menyeret" pegawai KPUD menjadi tersangka korupsi. Modus korupsi yang bisa terjadi dalam pengadaan logistik adalah dengan melakukan rekayasa tender dan pengurangan kualitas logistik.

    Kedua, pengadaan logistik kampanye. Salah satu hal yang berbeda antara rezim Pilkada saat ini dengan Pilkada yang terdahulu adalah mengenai pendanaan kampanye. Beberapa bentuk kampanye Peserta Pemilihan (Calon Kepala Daerah) dibebankan kepada uang negara. Kampanye peserta yang dibiayai oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 65 ayat 2 UU Pilkada, yaitu debat publik antar Calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa baik cetak maupun elektronik. Sejatinya, ketentuan ini tentu memberikan "proyek" baru bagi KPUD dalam hal pengadaan logistik.

    Tindak pidana korupsi dapat terjadi dalam momentum apapun, bahkan menembus "tempus" Pilkada. Sebab momentum khusus seperti Pilkada tidaklah membunuh "hasrat" seseorang melakukan korupsi. Korupsi akan selalu "membuntuti" pada aktifitas penyelenggara negara, keuangan negara, ataupun penyalahgunaan wewenang.

    Bercermin dari pelaksanaan pilkada serentak sebelumnya (2015), terdapat beberapa kasus korupsi baik yang dilakukan oleh pejabat di KPUD maupun Panitia Pengawas Pemilihan Daerah. Di pihak KPUD, korupsi proyek pengadaan dan alat kelengkapan kampanye Pilkada di Kabupaten Karawang dengan kerugian Negara ditaksir Rp1,3 miliar. Kasus ini sudah ditetapkan dua tersangka yaitu Sekretaris KPUD Kabupaten Karawang dan satu  orang rekanan yang mendapatkan proyek tersebut. Sementara di pihak Panitia Pengawas Pemilu Daerah, korupsi anggaran Bawaslu Provinsi Maluku Utara pada pemilukada provinsi Maluku Utara tahun 2015 dengan kerugian Negara ditaksir sebesar Rp4 miliar. Penyimpangan anggaran ini untuk kegiatan pembelian ATK Petugas Pengawas Lapangan (PPL) yang diduga fiktif.

    Dua kasus korupsi ini mewakili dari sekian modus penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan anggaran pilkada di daerah. Masih banyak kasus-kasus penyimpangan anggaran pilkada yang belum terungkap, termasuk buruknya manajemen asset yang dimiliki. KPUD dan Panwaslih Daerah belum memiliki sistem pengelolaan asset yang baik dan tidak dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat. Dimana ketiadaan manajemen asset menyebabkan tidak efektifnya pengadaan logistik, yang berpengaruh terhadap pengelolaan anggaran.

 

    Sistem Integritas Logistik (SiLog) Pilkada

    Nampaknya berbagai upaya sudah dilakukan oleh beberapa pihak dalam menjaga pelaksanaan pilkada bersih. Salah satunya "zona integritas" sebagai wujud komitmen KPU dalam upaya mencegah terjadinya korupsi, meningkakan pelayanan publik dan melaksanakan reformasi birokrasi. Namun, hingga kini belum terlihat jelas perhatian khusus terhadap persoalan logisitik pilkada.

    Logistik Pilkada merupakan hal terpenting yang sangat berpengaruh terhadap seluruh proses pemilihan. Apalagi pengadaan logistik pilkada menjadi salah satu mata anggaran yang sangat besar dan rentan dikorupsi. Sehingga sistem pengadaan logistik pilkada perlu mendapatkan perhatian yang serius oleh beberapa pihak. Sistem pengawasan yang harus dilakukan sejak perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban. "integrity system" yang dimaksud harus dapat menihilkan kebocoran anggaran untuk pengadaan logistik sejak alokasi anggaran dibuat (pre audit) hingga pasca pelaksanaan pengadaannya (post audit).

    Kunci dalam integrity system ini adalah keterbukaan informasi dan dokumen-dokumen anggaran pilkada serta membuka ruang yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan pengelolaan anggaran pilkada. Memastikan pengawasan pengelolaan anggaran pilkada yang dapat dilakukan oleh semua pihak baik internal maupun eksternal. Tanpa keterbukaan dan patisipasi yang dimaksud, maka mustahil akuntabilitas pengelolaan anggaran pilkada, akan tercapai. Integritas penyelenggara menjadi bagian terpenting untuk melaksanakan mimpi ini. Sehingga, zona integritas yang sudah dicanangkan oleh KPU tidak hanya menjadi isapan jempol.

    ===

Ikuti tulisan menarik Kanjeng Darwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler