x

Iklan

Parliza Hendrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Salangan Puntung dan Cara Warga Lingge Merawat Tradisi

Salangan puntung berfungsi sebagai tempat menyimpan kayu bakar. Salangan puntung dibuat biasanya tanpa menggunakan rak ataupun sekat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

LINGGE sebuah desa terletak di kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Jaraknya sekitar 8 jam dari kota Palembang atau sekitar 3 jam dari kota Bengkulu. Berada persis dipinggiran Sungai Musi yang mengalir dari hulu, menjadikan desa ini semakin eksotis. Pada bagian hulu,desa ini berbatasan dengan desa Rantau Dodor sedangkan di hilir merupakan desa Tanjung Raya. Sebagian besar warga di sana hidup dengan mengandalkan hasil pertanian seperti kopi, lada, dan hanya sedikit yang berprofesi sebagai PNS, TNI/Polri.

Belum lama ini, bersama anak istri sempat bermalam di desa kelahiran. Waktu itu, kami merayakan resepsi pernikahan adik bungsu Radikal Febriansyah. Tidak banyak berubah dari keadaan sebelumnya ketika kami meninggalkan desa itu sekitar tahun 1991 untuk hijrah ke Bumi Raflesia, Bengkulu. Penduduknya masih tetap bersahaja, ramah dan berkomitmen menjaga sejumlah tradisi leluhur 'puyang rianom'. Secara fisik memang ada perubahan seperti rumah berdiri semakin padat dan jumlah warganya semakin banyak.

Gas Melon dan 'Salangan Puntung'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa hal yang menarik sempat saya rekam selama 3 hari bermalam di desa yang berada di kecamatan Pendopo Barat. Ketika berjalan mandi ke Sungai Musi misalnya mata saya melihat beberapa bangunan mirip pondok yang terbuat dari kayu beratap seng bekas. Ukurannya berpariasi mulai dari 3x3m hingga tergantung dengan kebutuhan dan luas lahan yang dimiliki. Salangan puntung nama 'latin'nya yang berfungsi sebagai tempat menyimpan kayu bakar. Salangan puntung dibuat biasanya tanpa menggunakan rak ataupun sekat. Tentu hal itu berbeda dengan salangan yang ada ditempat lain yang menyerupai gudang dengan rak-rak berbaris.

Krek.. pagi itu Nabil, anak sulung saya ternyata tertarik mengambil gambar salangan puntung yang berada persis di belakang rumah penduduk dan di atas tempat pemandian yang oleh warga setempat disebut tepian. Sebagian salangan sudah tampak reot, rapuh dengan atap yang telah memerah karena berkarat. Sebenarnya Nabil agak ragu melintas diantara salangan yang didirikan tak beraturan itu. "Takut ditimpah kayu-kayu itu," kata Nabil khawatir.

Kayu bakar atau bagi warga setempat disebut sebagai puntung ini biasa didapat dari pohon-pohon tua yang sudah tidak produktif lagi seperti batang kopi, kayu duren, kayu manis, kayu pete dan sengon. Selain bersumber dari hutan maupun ladang, kayu bakar bisa didapat dari sungai. Sebagaimana lazimnya pada saat air pasang dimusim hujan, banyak kayu-kayu bekas terbawa arus. Sampah-sampah itulah yang diambil selanjutnya dikeringkan oleh warga di desa Lingge dan desa-desa lain disepanjang sungai Musi. Setelah kering, kayu tadi disusun rapi di dalam salangan.

Muhammad Rum, nenek Nabil menyebut menyimpan kayu bakar di salangan masih dilakukan oleh sebagian warga d isana meskipun proyek Gas Melon telah berjalan semenjak beberapa tahun silam. Biasanya, kayu bakar dibawah dengan cara dipanggul dari kebun kopi yang berada di atas ataupun di seberang desa. Kayu bakar yang disimpan di salangan biasanya disiapkan untuk memasak dalam jumlah besar semisal hajatan ataupun musibah. Hanya sebagian kecil 'jemo lingge' (warga setempat) masih mengandalkan kayu bakar. "Gas melon belum sepenuhnya bisa menggantikan kayu bakar," ujar nekanang, panggilan kakek belasanse cucu itu.

[pharliza@gmail.com]

Ikuti tulisan menarik Parliza Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler