x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siapa Sih yang Paling Berharap Ahok Divonis Bebas?

Setiap kasus hukum umumnya bisa dibaca sebagai kasus politik. Karena tiap pasal pada setiap rumusan UU sejatinya adalah hasil proses politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika dicermati, hampir semua rentetan dinamika yang terkait dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok adalah persoalan politik secara par excellant. Dan tentu tidak keliru jika sebuah kasus hukum sesekali harus “dibaca terbalik”.

Pertanyaannya, siapa sih yang paling diuntungkan jika Ahok divonis bebas? Jika dicoba dianalisis dan dibaca dengan logika terbalik, kesimpulannya jelas: kelompok yang bersuara keras menuntut Ahok diperiksa, dinyatakan tersangka, ditahan, diadili dan lalu divonis bersalah – boleh jadi justru berharap agar Ahok divonis bebas. Kenapa?

Sebab, jika Ahok divonis bersalah lalu dipenjara, kasusnya akan langsung padam. Kita masih ingat kasus Arswendo Atmowiloto, yang setelah divonis, kasusnya langsung menghilang di wacana publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan begitu, seluruh dedengkot kelompok kontra Ahok, terutama dari kalangan politisi, sebenarnya justru dapat diposisikan sebagai pihak yang paling diuntungkan jika Ahok dibebaskan. Tujuannya agar bisa memelihara momentum kasus Ahok tetap menjadi wacana publik. Dari situ kemudian mereka akan leluasa untuk memoles dan “memainkan” kasus itu guna mengadvokasi berbagai aksi, dengan bidikan tembak yang bisa nyasar kemana-mana.

Artinya, jika Ahok divonis bebas, maka Ahok tetap bisa dijadikan musuh bersama. Dan seperti diketahui, selama sejarah Republik, selain kasus penistaan agama, memang tidak pernah ada isu yang bisa dimainkan untuk menyatukan, misalnya, seluruh faksi kelompok-kelompok Islam Indonesia untuk melakukan serangkaian aksi secara besar-besaran dan bersamaan.

Selain itu, jika Ahok divonis bebas, para penentang Ahok memiliki amunisi untuk menyudutkan lembaga peradilan sebagai institusi yang tidak independen dan berpihak kepada kekuasaan dan kepentingan pemodal;

Sementara jika Ahok divonis bersalah, para penentangnya tidak punya amunisi lagi menyudutkan aparat keamanan cq Polri dan aparat intelijen sebagai kelompok yang berpihak pada kepentingan pemodal;

Jika Ahok divonis bersalah, publik kontra Ahok akan kehilangan amunisi untuk memposisikan kelompok sekuler dan pro demokrasi sebagai ancaman riil terhadap keyakinan kelompok mayoritas;

Jika Ahok divonis bersalah, para penentangnya akan kehilangan argumentasi untuk terus mengadovakasi wacana tentang ambisi hegemoni komunitas China Indonesia di jantung kekuasaan nasional.

Jika Ahok divonis bersalah, para penentang Ahok akan kehilangan justifikasi untuk mewacanakan agenda asing (baca: negara China) yang ingin menguasai Indonesia secara ekonomi dan politik.

Dan tentu saja, jika Ahok divonis bersalah, para pentolan dibalik massa kontra Ahok akan kehilangan kredibilitas di mata publik ketika mendiskreditkan pemerintahan Jokowi-JK sebagai rezim yang menyokong penista agama, atau rezim yang anti pada agama tertentu.

Lantas bagaimana posisi dua kubu penentang Ahok dalam Pilgub DKI (Kubu Cikeas dan Hambalang)? Masing-masing kedua kubu itu tentu berharap Ahok keok di Pilgub DKI, untuk menutup rapat kesempatan Ahok di Pilpres d019, sekaligus memuluskan jalan bagi salah satu Paslon dari dua kubu itu bisa melenggang ke DKI-1. Tapi, sekali lagi bila dibaca terbalik, argumen ini agak sulit dipahami.

Lain soal bila tokoh sekaliber SBY atau Prabowo atau Amien Rais sudah mengalami ketumpulan analisis politisnya. Dan terus terang, saya kok agak sangsi bila tiga figur itu akan menyetel perang bubat hanya untuk Pilgub DKI 2017. Benar bahwa SBY berkepentingan meloloskan Paslon Agus-Sylvi. Benar pula bila Prabowo (Gerindra + PKS) berambisi memelihara soliditas konstituennya di DKI. Betul juga bahwa Amien Rais harus bermain cantik dalam memelihara komunikasi dan posisi PAN sebagai anggota Koalisi Cikeas dalam Pilgub DKI.

Tapi seluruh langkah tindak atau manuver yang dimainkan oleh berbagai komponen strategis politik nasional tampaknya lebih beroritensi ke Pemilu dan Pilpres 2019. Bagi mereka, kasus penistaan agama oleh Ahok dan Pilgub DKI hanya “sasaran antara”. Dan idealnya, setiap “sasaran antara” harus dipelihara momentumnya. Tidak boleh dibiarkan redup, apalagi dipadamkan. Tapi bila Ahok divonis bersalah lalu dibui, bukan hanya meredupkan momentum, tapi juga akan segera mematikan dinamika.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 01 Februari 2017 / 05 Jumadil-ula 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu