x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pailit, Siasat atau Solusi? ~ Bobby R. Manalu

Justru sebaliknya, bank tak mungkin memberikan kredit kepada debitor yang berstatus pailit.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bobby R. Manalu

Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tulisan "Siasat Pailit Pembobol Kredit" di majalah Tempo edisi 27 Maret-2 April 2017 enak dibaca dan perlu. Berita itu memberikan peringatan keras bahwa, di era secanggih ini, bank bisa ditipu dengan menggunakan dokumen fiktif (fraud) plus kolusi dengan orang dalam. Tak lama berselang setelah menerima kredit, sang debitor jatuh pailit. Yang merepotkan dari berita itu dan karenanya perlu dijelaskan adalah pembobolan bank itu disangkutpautkan dengan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pranata hukum tersebut ditengarai menjadi modus menggasak dana bank.

Penyimpulan demikian berpotensi menghasilkan efek tak diduga. Pertama, ia berpotensi melahirkan persepsi salah terhadap pranata hukum kepailitan maupun PKPU. Kedua, ia berpotensi menggeser fokus permasalahan yang seharusnya lebih penting, yakni soal integritas industri dan pekerja perbankan.

Soal bank dibobol debitor berdasarkan fraud sama sekali tak ada urusannya dengan pailit dan PKPU. Dana bank tak bisa cair karena proses itu. Justru sebaliknya, bank tak mungkin memberikan kredit kepada debitor yang berstatus pailit. Kalau dana bank cair karena ada main mata antara debitor dan pegawai bank, itu menjadi tindak pidana perbankan, bukan karena PKPU atau pailit.

Kepailitan dan PKPU tak mungkin bisa bersalin menjadi mekanisme penyelamat debitor nakal yang berbuat kriminal. Mekanisme pailit dan PKPU dilakukan secara terbuka di pengadilan niaga. Tata cara dan prosedurnya sangat kaku dan jelas. Dokumen fiktif yang dipakai tak mungkin tiba-tiba menjadi dokumen asli dan riil ketika prosedur PKPU dan pailit berjalan.

Alih-alih menjadi modus kejahatan, PKPU dan kepailitan modern di Indonesia justru lahir sebagai solusi. Sejarah krisis perbankan yang kemudian bergulir menjadi krisis moneter dua dekade silam menjadi saksi kelahirannya. Kala itu tumpukan kredit macet menggila. Mekanisme keperdataan yang lamban tak bisa mengurainya. Pihak yang semestinya bertanggung jawab malah menghindar. IMF kemudian memaksa Indonesia segera mengundangkan aturan kepailitan yang merevisi aturan kolonial Failissementverordening. Kepailitan kemudian dipakai untuk membereskan itu semua. Seluruh aset debitor nakal yang tak kooperatif segera dilikuidasi. Untuk yang potensial dan kooperatif, direstrukturisasi. Perlahan bisnis menggeliat, ekonomi bergerak kembali.

Kepailitan menghindarkan kreditor membuang energi melakukan perang tak berkesudahan dengan debitor dan kreditor lain untuk memperebutkan harta debitor yang tak lagi mampu atau mau memenuhi kewajibannya. Kepailitan menjadi senjata kreditor untuk menjerakan debitor. Di sisi lain, kepailitan bagi debitor pun menjadi jalan keluar untuk menghindarkan dirinya dari lilitan utang bertumpuk.

Begitu pula dengan PKPU. Pranata ini memberikan ruang dan napas bagi debitor yang kekeringan likuiditas untuk sementara. Jangan sampai karena persepsi yang salah, PKPU dan pailit dijauhi debitor yang kondisinya sudah mulai megap-megap menjalankan bisnis. Meski demikian, PKPU tidak pernah dibuat untuk menyelamatkan semua debitor. Hanya yang potensial. PKPU memberikan ruang penyelamatan agar debitor tetap menjalankan bisnis. Prinsipnya, tak ada pebisnis yang mendesain bisnisnya untuk rugi, lalu mati.

Setiap tahun proses penyelesaian kepailitan menjadi salah satu parameter Bank Dunia dalam memberikan peringkat kemudahan berusaha suatu negara. Pada 2017, ihwal penyelesaian kepailitan, peringkat Indonesia melorot dua peringkat, dari posisi ke-74 menjadi ke-76. Posisi ini turun tiga peringkat dibandingkan periode 2015. Pemerintah pun bergerak cepat melakukan pembenahan sekaligus revisi terhadap seluruh aturan kepailitan, termasuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Di tengah kondisi belum membaiknya situasi ekonomi dan meningkatnya rasio kredit macet, instrumen PKPU dan pailit sangatlah dibutuhkan. Otoritas Jasa Keuangan mencatat rasio kredit macet perbankan per 2017 telah menyentuh angka 3,1 persen. Bahkan, ditengarai angka rasio kredit bermasalah bisa dua kali lipat dari sekarang karena selama ini tertahan oleh Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian bagi Bank Umum yang akan berakhir pada Agustus ini. Di sinilah kualitas kredit sesungguhnya diuji.

PKPU dan pailit tak menyebabkan perbankan selaku kreditor tiba-tiba kehilangan hak tagih, hak eksekusi, dan hak-hak keperdataan lainnya untuk memaksa debitor bertanggung jawab atas utang-utangnya. Apalagi sejatinya PKPU dan pailit diperuntukkan bagi kreditor konkuren yang tak memegang jaminan kebendaan apa pun.

Keberadaan debitor nakal merupakan suatu keniscayaan. Namun, melepaskan tanggung jawab pelaku perbankan dan menyalahkan pranata PKPU dan pailit adalah sebuah kesalahan. Kalau ada debitor yang melakukan tindak pidana, memang sudah seharusnya segera dieliminasi. Antisipasi untuk terulangnya kejadian serupa pun perlu dipikirkan, bukan melempar kesalahan untuk sekadar menutupi kelemahan yang menganga.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler