x

09-nas-bomKampungMelayu

Iklan

muhammad saifuddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menuju Indonesia Tanpa Bom

Ada empat alasan mengapa ruang gerak dan perkembangan aliran radikal ataupun garis keras harus dibatasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teror bom kian hari bukannya semakin reda dan menghilang dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi justru makin mengkhawatirkan. Kendati Densus 88 telah bekerja keras, namun teror bom terus saja terjadi. Tetapi apapun hasilnya, kita sebagai warga bangsa hendaknya selalu mendukung penuh kerja keras Densus 88 dalam membrantas teror. Tentu dengan  harapan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi bangsa Indonesia  benar-benar dapat terbebas dari aksi teror. Dan mengingat tugas berat itu tidak mungkin hanya dibebankan pada Densus 88, maka seluruh elemen bangsa harus memiliki kepedulian penuh terhadap masalah teror. Bila semua elemen bangsa mempunyai kepedulian seperti itu, niscaya bangsa Indonesia akan dapat bersih dari teror bom.

Mewujudkan masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap masalah teror serta mewujudkan  bumi pertiwi ini bebas dari teror tidaklah mudah, karena apabila di negara ini masih ada organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, pondok pesantren dan lembaga pendidikan berhaluan radikal yang bebas bergerak, niscaya teror bom tidak akan bisa musnah sampai kapanpun. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah, jika memang pemerintah benar-benar menginginkan bangsa Indonesia bersih dari teror bom, maka demi limaslahatil ‘aam (kebaikan bersama) pemerintahan Jokowi-Jk harus secara tegas berani memembatasi, mengatur ruang gerak, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, pondok pesantren dan  lembaga pendidikan yang berhaluan radikal tersebut.

Membatasi ruang gerak dan bahkan membubarkan organinsasi berhaluan radikal melalui proses hukum yang berlaku yang berlaku di Indonesia semata-mata untuk limas lahatil ‘aam itu sangatlah urgen, mengingat kiprah ataupun rekam jejak kalangan Islam berhaluanradikal atau garis keras tersebut selalu dipenuhi dengan aksi melanggar hukum dan kekerasan. Sehingga keberadaannya kerapkali dinilai oleh mayoritas masyarakat Indonesia banyak madharatnya dari pada maslahahnya. Terutama madharat bagi kepentingan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Adapun lebih gamblangnya, setidaknya ada empat alasan mengapa ruang gerak dan perkembangan aliran radikal ataupun garis keras harus dibatasi;

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, dalam rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia pasca Rezim Soeharto (era reformasi), eksistensi mereka (organisasi keagamaan, pondok pesantren dan lembaga pendidikan berhaluanradikal) telah terbukti melahirkan berbagai keresahan dan kekerasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana tidak meresahkan, bila cara hidup mereka saja sangat ekslusif, tidak toleran terhadap pemeluk agama lain serta keberagamaan yang dijalankan jauh dari budaya yang ada di Indonesia. Tamsil paling sederhana bisa dilihat dari cara berpakaian mereka yang kearab-araban. Jauh beda dengan penganut Islam moderat, seperti warga Nahdlatul Ulama dan warga Muhammadiyah yang cara keberagamaannya tidak meninggalkan budaya dan warisan lokal.

Kedua, mengingat semakin besar dan berkembangnya pengikut aliran radikal di Indonesia yang bukan justru menjadi perekat hubungan antar umat beragama, tetapi sebaliknya justru dapat memperenggang atau bahkan mengganggu keharmonisan bagi kerukunan umat beragama. Karena mereka dalam beragama lebih mengedepankan aspek yang  yang bersifat formalis daripada aspek yang bersifat subtansialis. Tentu, dengan ciri utamanya hidup secara ekslusif, tidak mudah diajak dialog, sangat mudah menyalahkan, tidak toleran, tidak ramah terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Keberagamaan semacam itu, pastinya sangat rawan akan terjadinya benturan antar umat beragama.

Ketiga, pada hakekatnya keberadaan aliran radikal itu justru lebih banyak merugikan bagi citra Islam. Khususnya citra Islam di Indonesia yang terkenal moderat. Kebanggaan sebagai Islam moderat yang telah mendapat pengakuan dan kepercayaan dari dunia internasional, hanya gara-gara ulah sekelompok kecil umat Islam di Indonesia yang ekslusif  dan berpaham radikal semuanya bisa menjadi musnah. Yang ada tinggal kenangan. Karena citra Islam yang terbangun berikutnya di Indonesia adalah Islam radikal dan fundamental. Pada hal sejujurnya citra Islam moderat justru lebih menguntungkan bagi keutuhan dan kemajuan NKRI serta kemajuan Islam di Indonesia itu sendiri  dari pada citra Islam radikal.

Keempat, melihat aliran Islam garis keras di Indonesia yang kian hari bertambah besar dan bertambah sangar, maka di masa yang akan datang pasti dapat menjadi ancaman yang paling membahayakan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena budaya yang dikembangkan mereka adalah budaya kekerasan yang melenceng dari akar budaya masyarakat Indonesia yang ramah. Disisi lain mereka juga kurang memiliki budaya pluralisme dan toleransi. Padahal syarat utama untuk mempertahankan NKRI,  satu satunya adalah adanya budaya pluralisme dan toleransi yang hidup subur dalam masyarakat. Bila budaya toleransi dan pluralisame sudah tercabut dari masyarakat dan digantikan dengan budaya-budaya yang tidak toleran, maka dapat dipastikan NKRI di masa yang akan datang terancam eksistensinya.

Apalagi sebagaimana diungkapkan KH. Hasyim Muzadi diberbagai kesempatan, bahwa aliran Islam garis keras atau Islam fundamentalis itu sebagai penganut dan sekaligus penyebar ideologi transnasional. Sebuah ideologi yang paling membahayakan bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena NKRI hendak diganti dengan Khilafah Islamiyah (Risalah, No.2/Th. I/ Jumadil Tsaniyah 1428 H).

Akhirnya, selain untuk membebaskan bangsa Indonesia dari ancaman teror bom, setidaknya untuk empat alasan penting di ataslah pemerintahan Jokowi-Jk harus berani memulai untuk membatasi dan mengatur  ruang gerak aliran radikal atau garis keras tersebut. Dan yang terpenting dan wajib kita pahami bersama adalah bahwa langkah membatasi ruang gerak aliran Islam garis keras itu adalah semata-mata untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta untuk kepentingan citra Islam di Indonesia itu sendiri. Wallahu A’lam.

 

Oleh: M Saifuddin Alia

Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Wilayah Jateng

Ikuti tulisan menarik muhammad saifuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler