x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Media Sosial Menantang Demokrasi

Perkembangan media sosial jadi tantangan tersendiri bagi proses demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di negeri ini, Facebook pernah menjadi sarana penggalangan opini publik yang ampuh terhadap isu-isu sosial. Di tahun 2008-09, melalui Facebook, berlangsung penggalangan solidaritas untuk mendukung Prita Mulyasari yang saat itu menghadapi persoalan dengan RS Omni International. Praktis, suara masyarakat begitu kompak ketika itu.

Saat itu Twitter, yang perusahaannya baru resmi berdiri pada 2007, belum populer di sini. Dukungan masyarakat kepada Prita mengalir melalui Facebook. Meskipun perguliran isu dan dukungan tidak secepat bila memakai Twitter, namun ketika itu tampak kekuatan Facebook dalam mengamplifikasi pesan-pesan yang disampaikan penggunakan maupun kecepatannya dalam menciptakan koneksi-koneksi baru sehingga dukungan makin meluas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum kehadiran Facebook, diskursus mengenai demokrasi digital atau demokrasi elektronik sudah berlangsung di negara-negara Barat. Bertumpu pada kemajuan teknologi Internet, unsur-unsur masyarakat yang terkoneksi berharap dapat berkontribusi dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik. Di tingkat kota, misalnya, warga berharap dapat bersuara untuk mengimbangi suara wakil-wakil resmi mereka yang duduk di parlemen kota maupun pemerintah.

Kemajuan teknologi Internet memungkinkan warga ambil bagian dalam dialog yang menentukan nasib mereka. Ini membuka jalan bagi masuknya gagasan baru dalam pemecahan masalah kota, yang semula berputar di antara anggota parlemen dan pemerintah. Suara-suara segar masuk ke dalam proses dialog dan memperdalam pemahaman apa artinya menjadi warga kota.

Di sini, perkembangan tersebut belum berlangsung. Banyak dari kita barangkali masih ingat tentang tidak tahunya anggota parlemen ketika dalam suatu dialog di Australia ditanya oleh warga masyarakat apa alamat email institusi DPR. Ada anggota parlemen yang menyebut pakai yahoo.com—entah bercanda atau asal nyeletuk. Komunikasi tidak pernah berlangsung antara rakyat dan wakilnya di parlemen meski tersedia email maupun Facebook.

Tak lama setelah itu, masuklah Twitter; orang ramai-ramai membikin akun Twitter. Lalu lintas Twitter sangat ramai ketika berlangsung Piala Dunia 2010 di Tokyo, bukan hanya di sini, tapi di seluruh dunia. Meskipun mungkin bersaing dan mendukung tim sepakbola yang berlainan, tapi penggemar sepakbola sedunia disatukan oleh Twitter. Bukan hanya pendukung yang berkomentar, tapi juga para pemain, pelatih, bahkan juga Presiden FIFA Sepp Blatter. Cuitan mereka sempat membikin server Twitter tak mampu melayani: macet.

Keringkasan dan kecepatan Twitter menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat kita untuk membuka akun. Twitter lantas tumbuh jadi jejaring favorit tempat mengeluarkan komentar apapun. Benih-benih perselisihan muncul ketika isu-isu politik memasuki arena Twitter di masa pemilihan presiden 2014 dan semakin menggejala saat Pilgub DKI yang baru lalu. Perang cuitan berlangsung terus-menerus. Panas.

Kepentingan politik maupun kecondongan atau preferensi politik agaknya telah berkontribusi dalam mengubah nuansa dialog yang berlangsung di Twitter. Memang cukup banyak cuitan yang argumentatif diutarakan, tapi sangat mungkin jauh lebih banyak cuitan yang emosional. Keringkasan dan kecepatan Twitter menampung emosi-emosi itu, dan karena ringkas serta cepat maka kesalahpahaman lebih mudah terjadi. Terlebih lagi, karena pesan di dalamnya hanya teks, tanda baca, emoticon, tanpa ada nada suara. Belum lagi, begitu mudahnya kekacauan terjadi karena informasi yang berlalu-lalang dengan cepat ditelan sebelum terverifikasi kebenarannya.

Pergeseran yang sosial menuju yang politik telah meningkatkan polarisasi di antara warga. Ada yang menyebut bahwa polarisasi itu hanya di ruang virtual, mudah-mudahan begitu, walaupun sukar menampik kenyataan bahwa ruang virtual itu bocor dan isinya meluber ke ruang riil. Sejauh ini, media sosial berperan melampaui apa yang semula kita duga bahwa ‘kita akan memperoleh informasi dengan lebih baik’. Berita palsu berseliweran, juga komentar-komentar buruk maupun nada kemarahan. Ini menyulitkan sebagian warga dalam memahami isu-isu yang kompleks, jika bukan malah membuat warga tersesat jalan.

Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan: apakah internet dan media sosial akan mampu dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat untuk memperkuat perannya dalam proses demokrasi dan mengimbangi peran partai politik, kaum elite bisnis, serta negara bila warga tidak mampu menjaga jarak dari ketiga pemain tersebut dan justru menjadi kepanjangan tangan mereka? Sungguh sayang bila dialog publik tidak dapat berlangsung sehat ketika media sosial malah menjadi tantangan bagi demokrasi. (Sumber ilustrasi: mediabristo.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler