Bung Karno dan Lahirnya Pancasila ~ Yustinus Prastowo

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Betul bahwa bukan Soekarno yang pertama kali berpidato dan mengajukan gagasan tentang dasar negara di Sidang BPUPKI.

Yustinus Prastowo

 

Pada tanggal 1 Juni 2017 kemarin kita memperingati Hari Lahir Pancasila, yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui Perpres Nomor 24 Tahun 2016. Namun ada pihak yang mempersoalkan hari lahirnya Pancasila ini, salah satu diantaranya Prof Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan bahwa Hari Lahir Pancasila lebih tepat tanggal 18 Agustus 1945, sesuai dengan rumusan Pancasila dasar negara di dalam konstitusi Republik Indonesia. Pendapat ini tentu sah-sah saja, terlebih jika digunakan pendekatan legal-formal, bahwa rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini secara resmi muncul di dalam Pembukaan UUD 1945. Meski dapat dipersoalkan pula, Pembukaan UUD 1945 sama sekali tidak menyebutkan istilah ‘Pancasila’.

 

Namun pendekatan lain yang mempertimbangkan historisitas ide Pancasila sebagai konsep yang hidup (living concept) dari dicetuskan pertama kali hingga dirumuskan dan ditetapkan secara resmi sebagai dasar negara, perlu ditelusuri dari relung sejarah yang bersemayam di dalam dokumen-dokumen negara yang mendokumentasikan seluruh naskah dan diskusi, serta  pendapat para saksi sejarah yang terlibat.

 

Betul bahwa bukan Soekarno yang pertama kali berpidato dan mengajukan gagasan tentang dasar negara di Sidang BPUPKI. Sebelumnya, 28 Mei 1945, Muhammad Yamin telah menyampaikan pidato di hadapan BPUPKI, juga Prof Soepomo pada 31 Mei 1945. Cukup pasti kedua tokoh ini tidak secara eksplisit dan sistematik menyampaikan konsep-konsep tentang dasar negara, meskipun keduanya menyebutkan pokok-pokok sebagai dasar negara.

 

Baru pada 1 Juni 1945, dalam pidato Soekarno ide tentang dasar negara disampaikan secara eksplisit. Bung Karno memulai pidato dengan mengkritik pidato tokoh sebelumnya yang disebutnya ‘diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka’. Philosofische grondslag yang merupakan fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

 

Bung Karno pula yang mengelaborasi konsep ‘weltanschauung’ atau sebuah dasar di atas mana kita mendirikan Indonesia Merdeka. Ditegaskannya, para peserta sidang mencari persetujuan, persetujuan faham yang disetujui oleh semua. Persetujuan oleh semua dan bukan kompromi, yang menurut Soekarno disebut ‘mendirikan suatu negara “semua buat semua”, yakni kebangsaan – kehendak akan bersatu (le desir d’etre ensemble). Soekarno mengutarakan lima prinsip: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

 

Soekarno tidak menyebut lima prinsip itu sebagai Panca Dharma (muncul di pidato Soepomo), karena dharma berarti kewajiban. Dalam bahasa Soekarno:”Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apalagi yang lima bilangannya? Pendawapun lima orangnya....namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

 

Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, dalam sambutan terhadap penerbitan buku Lahirnja Pantja-Sila’ oleh Deppen RI tahun 1947 secara eksplisit mengakui bahwa pidato Soekarno 1 Juni 1945 merupakan ‘Lahirnya Pancasila’ sebagai Demokratisch Beginsel (dasar negara Indonesia). Muhammad Yamin, dalam makalahnya pada Seminar Pancasila ke-I 16-20 Februari 1959 di Yogyakarta secara eksplisit juga menyatakan bahwa ‘Pantjasila adalah penggalian Bung Karno’!

 

Lalu kenapa Hari Lahir Pancasila bukan 18 Agustus 1945? Karena Pancasila sebagai konsep yang hidup, baik dari sisi istilah, konsep filosofis, maupun dasar negara Indonesia Merdeka, digali oleh Soekarno, bukan yang lain. Pasca pidato Soekarno, para anggota BPUPKI menyepakati dasar negara dan membentuk panitia kecil PPKI untuk merumuskan dasar negara.  Bung Hatta menggambarkan situasi waktu itu:"Pidato itu menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh. Sesudah itu sidang mengangkat suatu Panitia Kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Bung Karno itu.”  

 

Rumusan itulah yang hasil finalnya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Secara ontologis, rumusan Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 tidak mungkin ada tanpa penggalian oleh Soekarno. Atau lebih tajam lagi, jika Pancasila baru lahir pada 18 Agustus 1945, lalu di atas dasar apakah Indonesia Merdeka yang diproklamasikan 17 Agustus 1945?

 

Benar belaka bahwa rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 berbeda dengan usulan Bung Karno. Justru di sinilah nilai penting bahwa penggalian Pancasila oleh Bung Karno memungkinkan para pendiri bangsa memulai perumusan dasar negara secara kolektif-kolegial, melalui musyawarah yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai, dan terjadi dialektika yang menghasilkan sintesis. Dalam terang hermeneutika, fenomena ini kerap disebut ‘novelty in continuity’ atau ‘kebaruan dalam kesinambungan’. Dalam bahasa Muhammad Yamin, ajaran yang digali Bung Karno ini tidak dinamai “Sukarnoisme” karena Bung Karno adalah penyambung lidah, penerjemah perasaan dan pendapat perjuangan rakyat Indonesia. Penilaian yang dalam bahasa dr. Radjiman disebut sebagai ‘yang berurat akar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan….yang tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya.”

 

Jelaslah sudah, jangan hanya karena terkungkung cara menafsirkan dan memahami yang kaku, harfiah, dan legal-formal, kita mengesampingkan bobot dan nilai diskursus tentang dasar negara yang memungkinkan NKRI berdiri. Barangkali benarlah Bung Karno menamai pidato terakhirnya tahun 1966 dengan ‘Jasmerah’ (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Jangan pula hanya karena sentimen-sentimen sempit dan mencari sensasi, kita meninggalkan kebenaran sejarah sebagai ide yang hidup, yang hari-hari ini justru ingin dirawat dan dilanggengkan oleh manusia Indonesia kontemporer, sebagai penafsir Pancasila yang hidup.2

Bagikan Artikel Ini
img-content
Prastowo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Sri Mulyani dan Amnesti Pajak

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler